Adrian duduk di meja makan setelah turun dari kamarnya, meletakkan barang yang ia keluarkan dari mobil. Aku menatap setiap langkahnya dalam diam, ia membalas tatapanku dengan senyum namun langsung kualihkan wajahku.
"Siapa tadi?" tanya mama Adrian membuka pembicaraan, ia menatap ke arah Adrian penuh selidik membuat aku yang mendengarnya merasa canggung.
"Oh, temen kampus Ma. Tadi ke sini mau ngasih file tugas sama ngajakin revisi bareng," jawab Adrian dengan nada santai.
"Kenapa gak janjian dulu, malah pake tunggu-tungguan segala?" ucap mama Adrian masih dengan nada penuh selidik, entah mengapa mama Adrian seperti itu atau memang semua ibu bersikap seperti itu kepada anaknya.
"Adrian juga gak tahu kalau dia mau ngasihnya hari ini, soalnya baru dikerjain kemarin. Oh iya Ma, boleh gak Adrian ngajak dia buat makan bareng kita? Soalnya Adrian gak enak kalo nyuruh dia pulang, soalnya dia tadi nungguin Adrian juga 'kan?" tanya Adrian membuatku yang sedari tadi diam menghindari obrolan ibu dan anak ini langsung mendongakkan kepalaku, mataku menatap Adrian yang tengah menatap ke arah mamanya kemudian berganti menatap ke arahku, namun aku segera mengalihkan pandanganku.
Mama Adrian menatapku, aku hanya tersenyum singkat. Aku sebenarnya kesal, mengapa Adrian menanyakan hal itu. Apalagi, baru-baru tadi kami berbaikan.
"Kamu ini ada-ada aja," ucap mama Adrian dengan nada yang cukup ketus.
"Boleh ya Ma?" tanya Adrian dengan nada memohon.
Melihat itu aku menarik napasku panjang, otakku berpikir apakah Adrian tidak memikirkan perasaanku. Ia dengan mudahnya mengajak perempuan lain duduk di meja makan, apalagi tanpa bertanya kepadaku.
Entah mengapa, aku melihat Mama Adrian tidak menyukai Gita. Seperti ada kecemasan dimatanya, namun aku tidak mengerti apa maksud dari tatapan mama Adrian.
Adrian juga, harusnya meskipun, ia sudah menanyakan dengan mamanya. Tetap saja bukan, setidaknya ia menanyakan kepadaku. Apakah Adrian tidak memikirkan perasaanku atau pendapatku.
"Terserah kamu," balas Mama Adrian yang seakan mengerti perasaanku.
Adrian berjalan kembali ke depan, di meja makan mama Adrian mengenggam tanganku. Aku hanya tersenyum, mencoba menenangkan perasaan mama Adrian yang terus melontarkan pandangan khawatir padaku.
"Duduk, Git," ucap Adrian membiarkan Gita duduk di samping Rara.
"Maaf ya Tante, jadi ngerepotin."
Mama Adrian hanya tersenyum kecil, ia menyendokkan nasi ke dalam piring Rara memintaku untuk memberikannya pada Rara. Selanjutnya ia juga mengambil piringku dan memasukkan nasi ke dalamnya.
"Bi, tolong ambilin piring satu lagi buat tamunya Adrian."
Mama Adrian menyendokkan nasi ke dalam piringnya, lalu tak lama pembantu rumah tangga Adrian memberikan piring untuk Gita.
Saat Adrian menyerahkan piring tambahan, mama Adrian tidak menerima malah mengambil sendok yang berada di mangkuk lauk dan memberikannya ke piringku. Sedangkan Adrian langsung menerima piring itu, dan meletakkannya di hadapannya.
"Ambil aja gado-gadonya, kata Adrian kamu suka 'kan? Ayo ditambah aja, udah lama kamu gak main 'kan."
"Iya Tante, nanti kalo kurang Luna tambah lagi."
Kami makan dalam diam dan ketenangan, sesekali mama Adrian dan Rara mengajakku berbicara meski hanya untuk memastikan apakah laukku cukup atau kurang. Sedangkan Adrian dan Gita, mereka hanya makan dalam diam.
Kami semua menghabiskan makanan, aku membantu mama Adrian dan Rara membawa kembali piring kotor dan makanan ke dapur. Kulihat, Gita juga ikut membantu.
Rara berjalan menuju tempat mencuci piring setelah meletakkan piring kotor yang ia bawa tadi.
"Biar Kakak bantu," ucapku mengambil piring yang sudah disabuni oleh Rara, senyum kecil terlihat di bibir Rara.
"Eh gak usah Kak, istirahat aja. Nanti Mama marahin aku kalo kakak repot-repot gini," ucap Rara mencoba menghentikanku.
"Kamu ini, gak apa-apa. Kalo kamu diomelin nanti kakak yang bilang," ucapku menenangkan padahal aku yakin mama Adrian tidak akan marah.
"Tante, lauknya mau disimpan di mana? Biar Gita yang rapiin, Gita gak enak soalnya udah dimasakin makanan."
"Taruh aja di meja, jangan ngerasa gak enak. Saya juga masaknya bukan buat kamu, kamu cuma kebetulan aja datang."
Aku dan Rara terdiam ketika tidak sengaja mendengar ucapan mama Adrian. Sebenarnya, baru ini aku melihat mama Adrian bersikap seperti itu pada orang lain, karena saat pertama bertemu dengannya ia adalah orang yang hangat dan perhatian.
Bahkan, mama Adrian dengan terbuka bicara sendiri padaku jika ia sudah menganggapku sebagai anaknya. Ia memperlakukanku sama seperti memperlakukan Rara, bahkan rasa sayangnya sama. Membuatku saat itu merasa sangat terharu karena mendapatkan kasih sayang dari mama Adrian.
Aku mengambil alih sebuah piring dan membasuhnya dengan air bersih, saat akan meletakkan ke rak pengering tanganku yang licin tidak mampu menahan piring yang tergelincir cepat dari tanganku. Membuat piring itu kini sudah pecah menjadi beberapa keping, aku termundur kaget.
"Tante maafin Luna," ucapku cepat langsung mencoba memunguti pecahan piring.
"Ya ampun Luna, kamu kok gak hati-hati?" ucap Gita yang seakan senang mengolokku karena aku membuat kesalahan.
"Kamu ngomong apa sih," balas mama Adrian dingin.
"Luna gak apa-apa, biar Tante beresin nanti tangan kamu luka."
Mama Adrian berjalan mendekatiku membawa sebuah sapu dan serok sampah, aku meminta maaf sekali lagi karena merasa tidak enak membuat kekacauan.
"Kamu mending ke depan aja, selesain urusan kampus sama Adrian. Saya takut kamu kemaleman, kamu pulang sendiri 'kan."
Mama Adrian berbicara sebelum berjalan meninggalkan dapur menuju pintu belakang membuang pecahan piring tadi.
"Iya, Tante."
Aku menatap Gita yang berjalan meninggalkan dapur, sedangkan Aku menyusul mama Adrian. Aku merasa tidak enak karena malah mama Adrian yang membereskan pecahan piring di lantai.
"Tante, biar Luna bantuin."
"Gak usah, udah Tante buang kok. Ayo masuk lagi," ujar mama Adrian yang berjalan disampingku dan merangkulku.
"Ma, udah selesai," ucap Rara membasuh tangannya dengan air.
"Ya udah, kamu ke kamar dulu Mama mau ajak kak Luna ke kamar Mama."
"Memangnya kenapa Ma?" tanya Rara yang bingung, sebenarnya aku juga ikut bingung tapi kebingunganku sudah diwakili oleh Rara yang bertanya.
"Pembahasan mertua sama menantu," ucap mama Adrian lalu tertawa kecil membuatku tersipu malu sedangkan Rara yang mengerti ikut tertawa juga.
"Hem mentang ada menantu, anaknya dianggurin. Rara juga udah gede Ma," balas Rara memprotes mamanya.
"Tapi 'kan jarang calon mantu Mama main ke sini," balas Mama Adrian membuatku semakin merasa tersipu malu.
"Iya deh, udah kalo gitu Rara main game aja di kamar."
"Belajar, main terus."
"Iya Mamaku," balas Rara lalu berjalan meninggalkan kami.
Entah mengapa aku menyukai interaksi keluarga seperti ini, aku rindu perhatian dari Mama dan kasih sayang dari Mama.
Aku mengikuti langkah Mama Adrian, yang ternyata mengajakku menuju kamarnya. Aku segan sebenarnya masuk ke dalam, apalagi aku orang asing bukan keluarga Adrian.
"Mama mau kasih kamu sesuatu," ucap Mama Adrian.
Aku terdiam, menuruti perintah Mama Adrian.
"Kamu baca ini," ucap Mama Adrian memberikanku sebuah kertas yang warnanya sudah kekuningan. Huruf sambung terlihat memenuhi kertas.
***
Teruntuk anakku, Tiara. Mama memberikanmu kalung ini, sebagai bukti cinta Mama kepadamu. Mama Berikan satu untukmu dan satu untuk Rara cucu mama tercinta. Mama memberikan kalung ini sebagai tanda cinta, bagi Mama kalian adalah dua wanita cantik yang Tuhan kirimkan kepada Mama.
***
"Sekarang, kalung milik Tante mau Tante berikan pada kamu."
"Tapi, ini ... Luna gak cukup pantas untuk kalung berharga ini."
"Siapa bilang?" tanya Mama Adrian. Senyum diwajahnya saja bahkan tidak menghilang.
"Kamu paling pantas buat nerima ini, itu sebabnya Mama dengan ikhlas dan percaya memberikan kalung ini pada kamu."