BAB 45

1556 Words
Aku menatap om Juna dari balik pintu yang berusaha mengatur napasnya. Wajahnya terlihat sangat panik, keringat mengalir melewati pipinya. Aku yang tadinya hendak tidur jadi lebih terkejut dengan kedatangan om Juna yang tiba - tiba, aku langsung duduk di atas ranjang. "Om kenapa? Kayak buru-buru banget," tanyaku yang bingung, wajah om Juna terlihat semakin bingung. "Luna, ayah kamu semakin kritis," ucap om Juna yang tentu saja membuatku terkejut. Bagai tersengat listrik aku langsung bangkit dari dudukku, aku sangat terkejut mendengar ucapan om Juna. Kakiku turun dengan cepat menginjak lantai, aku bahkan mencabut infus di tanganku. Sakit memang rasanya namun aku tidak mempedulikan itu, Adrian bahkan langsung memegangiku. Aku berjalan dengan langkah yang cepat mendekati om Juna, mataku menatapnya dalam. Om Juna terlihat sama cemasnya denganku aku memegang tangan om Juna, memintanya untuk mengulang perkataanya. "Apa Om?!" ucapku dengan nada meninggi. Om Juna mengusap kepalanya kasar, "Luna, ayah kamu sekarang kritis," ucap om Juna mengulangi lagi apa yang tadinya ia katakan. "Ayo Om, kita ke sana sekarang," ucapku panik. Kami semua berjalan dengan cepat, kini ayah ditindak lanjuti dan sudah dipindahkan ke ruang ICU. Melalui jendela aku melihat semua dokter tengah berupaya menyelamatkan ayah, air mataku turun melihat apa yang sedang terjadi. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada ayah, padahal kami saat ini sedang berusaha untuk bersama setelah beberapa waktu kami terpisah. Aku tidak ingin ayah meninggalkanku, aku merasa sedih karena menyesal tidak memperlakukan ayah dengan baik. "Tante, Ayah kenapa?" tanyaku pada tante Erly yang baru datang. Tante Erly datang bersama seorang dokter yang langsung masuk ke dalam ruang rawat ayah, aku tidak mengerti tadi ayah terlihat baik - baik saja namun sekarang semua dokter terlihat sibuk. "Ayah kamu tiba-tiba drop, sekarang sedang berikan tindakan. Kamu yang sabar ya," ucap tante Erly menenangkanku. Berita ini seakan sambaran petir bagiku, bahkan kakiku kini terasa semakin lemah. Aku yang sekuat tenaga berdiri untuk dapat melihat ayah dari kaca langsung terhuyung hampir terjatuh jika tidak ditangkap oleh Adrian. Aku didudukan di kursi tunggu, tangis tidak dapat kutahan melihat kondisi ayah. Berpikir bagaimana bisa aku hidup tanpa ayah, aku masih belum sanggup. Semua orang berusaha menenangkanku, karena kondisiku yang semakin tidak baik. Entah sudah berapa menit, tiba-tiba pintu terbuka dan seorang dokter keluar. "Bagaimana dokter?" tanya tante Erly cepat mewakilkanku. "Pak Raka kini dalam kondisi koma, kita hanya bisa mengharapkan keajaiban saja. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, kini semuanya berada di tangan Tuhan." Mendengar ucapan dokter tentu saja aku langsung menangis histeris, aku meronta meminta untuk masuk ke dalam. Untungnya, dokter membiarkanku masuk. Bersama tante Erly aku masuk ke dalam setelah mensterilkan diri, setelah itu aku langsung menggenggam tangan ayah yang terasa dingin, tidak seperti biasanya yang terasa hangat. Aku menatap wajah ayah, mata ayah yang tertutup ditubuh ayah bahkan aku melihat ada lebih banyak kabel yang terhubung ke sebuah alat lebih banyak dari sebelumnya. Aku menangis tanpa bersuara, dalam hati aku terus melafalkan doa-doa berharap ayah cepat sadar. Seorang dokter masuk, terlihat ia mengecek lagi kondisi ayah. "Kalau dalam 24 jam pasien tidak bangun, melepaskan semua alat adalah jalan terbaik agar pasien tidak merasakan sakit lagi." "Apa maksud dokter?Dokter mau membunuh ayah?" ucapku dengan keras, tante Erly langsung segera menenangkanku. "Ini pilihan terbaik, kamu bisa memikirkannya." Dokter itu keluar setelah berbicara dengan tante Erly, aku bahkan menangis tersedu tidak bisa mengontrol diriku. Aku tidak mengerti kenapa dokter memberikan pilihan seperti itu kepadaku, jelas saja aku tidak akan bisa memilih sama sekali. "Luna, sebaiknya kamu pikirkan perkataan dokter tadi. Kasihan ayah kamu, ia menahan sakit dalam tidurnya," ucap tante Erly berusaha menguatkanku. Aku menggelengkan kepalaku, mana bisa aku memikirkan hal sekejam itu. Sama saja seperti aku membunuh ayahku sendiri, aku mengacak - acak rambutku kasar. Kakiku seakan kehilangan kekuatan dan aku jatuh terduduk di lantai sebelum Adrian dan tante menarikku dan membawaku duduk di kursi. "Tapi Tante, itu sama aja kayak dokter mau membunuh ayah." "Luna, sabar nak. Ini semua menurut tante lebih baik, mungkin ayah kamu tertahan ingin pergi karena kamu." Aku menangis mendengar ucapan tante Erly, apa aku tidak pantas untuk bahagia. Baru saja aku dan ayah menjalani kehidupan sebagai keluarga tapi sekarang kami harus berpisah lagi. "Karena Luna? Tante, lebih baik kita sekarang berdoa." Tante Erly tidak berbicara lagi, aku terus mendoakan ayah. Pikiranku bergemuruh, memikirkan apa ayah memang sebenarnya ingin pergi tapi tertahan karenaku atau ayah ingin kembali dan tidak ingin aku sendirian. "Ayah, jangan tinggalin Luna." Aku terus melafalkan banyak doa di dalam hati, aku yakin jika ayah tidak akan meninggalkanku. "Luna, biar Tante yang jaga ayah kamu. Kamu istirahat dulu," ucap tante Erly lemah. "Aku mau di sini," jawabku. "Istirahat ya, kamu doain ayah kamu cepat sadar. Kamu tidur, besok kamu boleh di sini seharian." Aku mengangguk lemah, menuruti ucapan tante Erly. Aku menggengam tangan ayah untuk yang terakhir, lalu tante Erly menarik kursi rodaku mengantarkaku keluar. "Adrian antar Luna kembali ke kamarnya, kalian istirahat ya.". Tanpa banyak tanya, Adrian langsung mengikuti ucapan tante Erly dan membawaku kembali ke kamar rawat. *** Hari ini, untuk pertama kalinya keajaiban benar-benar terjadi. Tadi subuh, ayah mulai menerima respon meski dalam kondisi yang lemah. Dokter juga sudah berkata jika harapan hidup ayah semakin tinggi dan membuatku berharap banyak. Om Juna mengajakku hari ini untuk ke pengadilan, aku juga ingin melihat langsung keputusan hakim terhadap Anggi dan papanya. Tante Erly membawakanku pakaian yang cukup bagus, ia ingin aku menunjukkan jika aku tidak lemah dan aku lebih kuat darinya. Adrian juga ingin ikut menenani, namun langsung aku tolak karena ia tidak banyak istirahat semalam. Jadi, aku memintanya untuk pulang dan istirahat di rumah. Om Juna membukakan pintu mobil untukku, dari belakang kami tim kuasa hukum om Juna ikut masuk mendampingi kami. Aku memang gugup, tapi aku tahu semua akan baik - baik saja seperti yang dikatakan oleh om Juna. Ini pengalaman pertama aku memasuki ruang sidang, suasana di sini ternyata memang menegangkan menurutku, ditambah udara dingin dari penyejuk ruangan yang seakan membawaku ke pegunungan es. "Duduk di sini ya," ujar om Juna memintaku duduk dikursi barisak kedua bersama beberapa tim kuasa hukum kantornya. Om Juna langsung merapikan berkas-berkas dimeja, aku dapat melihat keseriusan dan kesungguhan yang baru pertama kali ini aku lihat dari om Juna. Tidak lama, para jaksa juga mulai memasuki ruangan dan sibuk menyusun berkas sama seperti yang dilakukan oleh om Juna. "Hadirin dimohon berdiri." Aku mengikuti perintah dan berdiri dari dudukku, tidak lama hakim mulai masuk ke dalam ruangan dan mengambil posisi. Semua yang hadir duduk kembali setelah hakim duduk duluan. "Baiklah, sidang akan segera di mulai. Silahkan bawa terdakwa masuk," ucap hakim memberikan perintah. Tidak lama kemudian, pintu terbuka beberapa polisi masuk menyeret Anggi dan papanya. Tatapan kebencian Anggi terlihat semakin nemuncak padaku, sedangkan ayahnya hanya menunduk tanpa menaikan pandangannya. Persidangan dimulai, semua bukti-bukti dikeluarkan oleh om Juna. Menurutku, saat ini om Juna terlihat sangat keren. Pekerjaan ini terlihat sangat cocok untuknya. "Menurut semua bukti yang sudah ditunjukan dan tidak adanya pembelaan dari terdakwa, maka hakim menutuskan hukuman penjara selama seumur hidup dan denda sebesar 500 juta rupiah." Tok... Tok... Tok... Aku menangis setelsh mendengar palu yang diketuk, para hakim mulai keluar dari ruangan. Om Juna juga langsung datang mendekatiku dan memelukku. Aku membalas pelukan om Juna meski dengan tangis tapi kali ini adalah tangis haru. "Terima kasih, Om." Aku senang, karena akhirnya orang yang jahat sudah menerima hukumannya. "Kamu sudah cukup menderita," ucap om Juna bersyukur karena semua sudah berakhir untukku. "Luna, sialan! Saya akan membunuh kamu!" teriakan Anggi yang memenuhi ruang sidang membuat polisi yang mengawal Anggi langsung menyeret paksa ia keluar. "Ayo, kita pulang. Om baru dapat kabar kalo Ayah kamu udah sadar.". "Beneran, Om?" ucapku terkejut namun tidak bisa menghilangkan rasa bahagia dalam diriku. "Iya, ayo kita kembali." Kali ini aku dengan bersemangat kembali ke parkiran, om Juna berpamitan dengan pegawainya. Ia memberikan mereka kartu kreditnya untuk pegawainya makan bersama dan meminta maaf karena tidak bisa ikut. Setelah itu, om Juna masuk ke kursi pengemudi dan mulai membawa mobil. Senyum lebar tidak menghilang dari wajahku, aku benar-benar tidak sabar bertemu ayah. Setelah itu, om Juna masuk ke kursi pengemudi dan mulai membawa mobil. Senyum lebar tidak menghilang dari wajahku, aku benar-benar tidak sabar bertemu ayah. Bahkan, om Juna terus mengolokku karena tidak dapat menyembunyikan senyum bahagia dari wajahku. Meski begitu, aku juga tahu jika om Juna sama bahagianya denganku. Tidak butuh banyak waktu, om Juna sudah memarkirkan mobilnya di parkiran. Kami bersama-sama keluar dari mobil dan berjalan menuju ruang perawatan ayah. Aku mendorong daun pintu, setrlah mendorong pintu aku melihat ayah tengah menatap ke arahku. Senyum di wajahnya adalah hal yang sangat kurindukan selama ini. "Ayah, apa ayah baik-baik saja?" "Iya, jangan cemas." Aku tersenyum lebar, mataju mulai berkaca-kaca namun aku tetap bahagia. "Ayah tahu 'kan, Luna takut kehilangan Ayah." "Ayah gak akan ninggalin kamu,", ucap Ayah mencoba menenangkanku. Aku terus mengucap terima kasih kepada Tuhan, kupikir Tuhan telah memberikan keajaiban dengan membuat ayah menerima respon dokter. Tapi, aku tidak menyangka jika Tuhan begitu baik denganku dengan membuat ayah benar-benar sadar dan membuka kembali matanya. "Kamu udah makan, nak?" "Ayah, tenang aja. Ayah jangan pikirin Luna, sekarang ayah harus kembali sehat biar kita bisa terus bersama-sama." "Tenang saja, Ayah pasti akan sembuh demi kamu." Tante Erly mengambil alih membantu ayah, memintaku dan om Juna untuk makan terlebih dahulu. Aku sebenarnya tidak lapar, namun karena bujukan dari ayah dan om Juna akhirnya aku mengiyakan dan keluar untuk pergi makan siang bersama om Juna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD