BAB 8: Tawaran Pekerjaan

2038 Words
Atlanta mundur perlahan usai mencium pipi Rosea, pria itu beranjak dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Rosea yang kini terpaku kaget. Rosea mengerjap cepat begitu mendapatkan kembali kesadarannya yang sempat hilang beberapa saat. Rosea memutar kursi yang di dudukinya dan melihat ke belakang memperhatikan kepergian Atlanta yang pergi ke lantai atas bersama seorang wanita cantik yang sejak tadi menunggunya. Tangan Rosea terkepal kuat, “Bocah sialan itu, berani-beraninya dia, dasar b******k,” geram Rosea marah. Rosea langsung melompat turun dari kursinya dan mengambil tasnya dengan gerakan kasar, kakinya bergerak cepat melangkah sambil mengusap kasar pipinya yang sudah di cium Atlanta. Rosea memutuskan pergi menyusul kepergian Karina yang kini masih berada di toilet. Keberadaan toilet yang berada di ujung membuat Rosea membutuhkan banyak waktu untuk bisa sampai. Langkah tergesa Rosea terhenti begitu saja, wanita itu langsung menundukan kepalanya begitu tidak sengaja melihat dua orang pria melangkah dari arah yang berlawanan, Rosea membuang mukanya dan semakin tertunduk karena salah satu pria dari dua orang tersebut adalah Leonardo. “Sea,” panggil Leonardo yang langsung mengenalinya. Alih-alih membalas sapaan Leonardo, Rosea langsung menghalangi wajahnya dengan tas, dengan segala kekuatan yang di milikinya, Rosea berlari dengan kaki yang terantuk-antuk karena memakai heels. Tubuh Leonardo memutar, memperhatikan ke mana Rosea berlari pergi. Leonardo tidak salah melihat meski Rosea berpenampilan berbeda dan berpakaian lebih dewasa, Leonardo tetap mengenal wanita itu. Namun yang membuat Leonardo benar-benar tidak mengerti adalah Rosea berpura-pura tidak mengenal dirinya. *** Rosea menekan dadanya, merasakan detak jantungnya bergerak cepat bersamaan dengan suara napasnya yang terdengar kasar karena banyak berlari untuk menghindar dari Leonardo, beruntungnya Rosea berhasil. Tubuh Rosea kembali menegak, wanita itu masuk ke dalam toilet dan bertemu dengan Karina yang masih sedang berdandan merapikan make upnya. Karina melihat kedatangan Rosea melalui cermin di depannya. “Sea, aku lupa memberitahu kamu, meeting besok sebaiknya kita datang lebih awal karena orangnya sangat sibuk dan one time, kamu bawa beberapa pilihan berlian cadangan takutnya dia membutuhkan perhiasan lain.” “Meeting yang mana?” “Ya Tuhan Sea. Café Oliver, bertemu Nyonya Sarah.” Rosea tertawa malu, “Astaga, aku sampai lupa, ku pikir tidak jadi. Terima kasih Rin.” “Berterima kasihlah saat di pesta keluargaku,” kata Karina dengan sedikit ancaman. “Pesta apa lagi?” “Ulang tahun pernikahan orang tuaku Sea, jangan lupa datang.” Rosea mengangguk setuju membuat Karina langsung tersenyum puas. Karina adalah seorang model dan anak pengusaha yang terpandang, dia memiliki koneksi kuat dalam dunia penggila fashion dan para pengusaha. Karina selalu membantu mempertemukan orang-orang yang butuh perhiasan kepada Rosea, terkadang dengan suka rela dia juga menawarkan perhiasan dari toko Rosea kepada banyak orang yang berada di kalangannya. Karina tidak pernah meminta imbalan berupa uang, cukup dengan Rosea menemani Karina liburan dan bersenang-senang itu sudah cukup bagi Karina. Karina adalah sahabat yang sangat loyal. Dia tidak ragu memperkenalkan Rosea pada rekan kerjanya, Karina juga tidak pernah ragu berkata menyakitkan bila Rosea membuat kesalahan dan susah di ingatkan. Meski terkadang perkataan Karina menyakitkan, namun Rosea selalu merasa beruntung karena kejujuran Karina adalah bentuk dari kepeduliannya yang tulus. Rosea menambah blush-on di pipinya yang kini terlihat pucat, di rapikannya rambutnya dengan jari. Rosea berbalik melihat punggungnya melalui cermin untuk memastikan bahwa bahunya tidak terlalu terbuka. “Kamu sudah selesai? Cepatlah! Kita harus menari sebelum tengah malam, cowok kaya dan tampan jarang berpesta sampai tengah malam.” Karina melangkah cepat keluar. “Tunggu!” Rosea terburu-buru memasukan alat-alat make upnya ke dalam tas kecilnya. Wanita itu berlari kecil menyamai langkahnya dengan Karina yang kini mulai membuka pintu. Baru beberapa langkah Rosea keluar dari pintu toilet. “Rosea.” Langkah Rosea langsung terhenti, bola matanya membulat sempurna melihat Leonardo yang rupanya menyusul dan kini menunggu di depan toilet. Rosea tersenyum kaku dan mengangguk canggung, sangat berbeda dengan Karina yang langsung menatap Leonardo dengan mata berbinar senang. “Leo!” panggil Karina dengan akrab. “Karina,” Leonardo melihat Karina dan Rosea bergantian. Karina mendekat, tanpa ragu dia melompat memeluk Leonardo sejenak, “Apa kabar?” tanya Karina seraya menguraikan pelukannya. Leonardo tersenyum samar dan sesekali melihat ke arah Rosea yang kini mematung bingung melihat kedekatan sahabatnya dengan Leonardo. “Aku sangat baik, kamu sendiri bagaimana?” “Tentu saja baik! Ngomong-ngomong, kamu kenal Sea?” Karina menunjuk Rosea seketika dan menarik sahabatnya itu untuk berdiri di sampingnya. “Ya, kurang lebih begitu,” jawab Leonardo hati-hati. “Astaga Sea!” Karina terpekik senang. “Kenapa tidak bilang kamu kenal Leo? Leo ini rekan kerja papahku. Leo, Sea ini sahabatku,” cerita Karina semakin berantusias. Rosea tersenyum memaksaan, wanita itu tidak tahu harus berkata apa, yang jelas dia ingin segera pergi daripada harus membuang waktu bersenang-senangnya di bawah intimidasi seorang Leonardo. “Karina, apa boleh aku bicara dengan Sea sebentar?” Tanya Leonardo dengan cepat. Karina melihat Leonardo dan Rosea bergantian, tanpa ragu dan berpikir panjang, dia langsung mengangguk setuju. “Tentu saja! Ayo Sea.” Karina menarik lengan Rosea. “Berdua, aku ingin bicara dengan Sea berdua saja. Selagi menunggu, kamu bisa datang ke ruangan nomer kosong sembilan, teman-temanku dari Prancis datang malam ini. Aku hanya ingin bicara Sea, kamu jangan khawatir,” tekan Leonardo menjelaskan. Rosea mencolek sisi tangan Karina, tanpa kata Rosea menatap Karina penuh permohonan agar sahabatnya itu tidak meningalkannya. Alih-alih memahami keinginan Rosea, Karina bersorak senang atas tawaran Leonardo. Karina berjinjit mengecup pipi Rosea. “Jangan lupa bercerita besok,” bisik Karina sebelum pergi dengan riang menemui teman Leonardo. Rosea mendesah kesal, Karina melepaskan dirinya seperti anak kucing yang di tinggal di jalan dan di haruskan pulang sendiri. “Sea, mari kita bicara. Kamu tidak keberatan kan?” Tanya Leonardo yang masih tidak melepaskan pandangannya dari Rosea. “I..iya Om,” jawab Rosea tertunduk takut. “Leo” ralat Leonardo masih harus mengingatkan. “Panggil saya Leo, Sea. Apa kamu sudah lupa lagi?” “Iya Leo,” jawab Rosea terbata. *** Rencana indah malam Rosea sudah benar-benar hancur, dia tidak menemukan teman baru untuk bersenang-senang, untuk berpesta pun belum, bahkan Karina teman pestanya sudah pergi mengkhianatinya. Kini nasib malam Rosea berakhir dengan duduk berhadapan bersama Leonardo, wanita itu tertunduk melihat meja di hadapannya yang kini di penuhi makanan usai Leonardo mengejaknya pergi menuju sebuah café di sebrang bar. Rosea terdiam menunggu-nunggu apa yang sebenarnya ingin Leonardo katakan padanya, namun sejak mereka duduk sepuluh menit yang lalu Leonardo tidak berbicara apapun. Pria itu duduk dengan angkuh hanya melihat setiap gerak-gerik Rosea seperti seekor rusa muda yang berada dalam incaran predator. Rosea menghela napasnya dengan berat. Kakinya di bawah meja tidak berhenti gemetar karena tertekan. Apa lagi kesalahannya? Bukankah tadi siang semua masalah sudah selesai? Untuk apa lagi pria itu menemuinya?. “Sebenarnya Anda ingin berbicara apa pada saya?” Rosea membuka percakapan. Punggung Leonardo bersandar ke sandaran kursi, pria itu bersedekap angkuh dan berkata, “Kenapa kamu terlihat takut sama saya?.” “Anda terus menerus menatap saya dengan curiga, bagaimana saya tidak takut? Siapa tahu Anda orang jahat dan kasar,” Rosea mengungkapkan isi kepalanya. Leonardo langsung menurunkan tangannya, ekspresi dingin di wajah tampannya berangsur hilang, “Saya tidak seperti itu,” jawab Leonardo terdengar lebih lembut. “Lalu untuk apa ingin berbicara dengan saya?” lirih Rosea tampak sedih. Rosea menempatkan kedua tangannya di d**a menyiratkan sebuah permohonan kepada Leonardo, “Saya mohon, jangan ganggu saya, saya bukan orang jahat. Saya tidak akan lagi mengganggu Prince.” “Sea, dengarkan saya baik-baik,” Leonardo terdiam sejenak. “Pertama, saya tidak pernah menganggap kamu orang jahat, Ke dua, saya tidak melarang kamu berteman dengan Prince, ke tiga saya ingin berbicara kamu karena ada tawaran pekerjaan yang mungkin bisa kita bicarakan, dan yang ke empat, bisakah kamu bicara tidak formal?” Rosea mengangguk kecil menyetujui apa yang Leonardo inginkan. “Jadi, kamu mau bicara apa?” Tanya Rosea lagi dengan sedikit lebih tenang dan tidak di kuasai oleh ketegangan lagi. Leonardo mengubah posisi duduknya, pria itu menunjuk makanan di hadapannya, “Makanlah dulu,” titahnya terdengar mendikte layaknya peminpin yang memerintahkan bawahannya. “Aku tidak lapar,” tolak Rosea. “Kamu tidak akan memiliki tenaga untuk menari jika hanya minum alcohol.” “Kamu tidak berhak memerintah.” “Aku menyarankan.” Rosea mendengus , Leonardo tidak paham bahwa Rosea takut muntah jika isi perutnya terlalu banyak di isi makanan. Namun, daripada membuang waktu, Rosea memutuskan mengambil sumpit dan memulai makan. “Bicaralah sekarang,” pinta Rosea dengan mulut mengunyah. Leonardo menggeleng, “Tidak. Nanti setelah kamu selesai makan,” jawabnya dengan nada memerintah lagi. Rosea membuka mulutnya lebih lebar dan makan lebih cepat, baru saja dua kali dia bertemu Leonardo. Rosea langsung bisa merasakan seberapa besar Leonardo suka memerintah dan mendominasi orang-orang di sekitarnya. Rosea segera menyelesaikan makanannya, di ambilnya segelas juss tanpa menurunkan satu sumpitnya lagi. Reflex Rosea memasukan sumpit itu ke dalam gelas dan mengaduknya, tanpa sadar Rosea menyedot ujung sumpit itu. “Itu bukan sedotan Sea, tapi sumpit,” Leonardo mengambilkan sedotan yang masih terbungkus di bawah gelas dan memberikannya kepada Rosea. Wajah Rosea memerah malu, Rosea tertunduk merutuki kekonyolan yang di buatnya di tengah-tengah ketegangannya bersama Leonardo. Tanpa pikir panjang Rosea meneguk jussnya tanpa memakai sedotan. Leonardo membuang mukanya dan menghalangi mulutnya yang kini tersenyuman nyaris tertawa. Rosea yang tidak menjaga sikapnya di hadapan Leonardo sedikit menghibur perasaan pria itu. Rosea meletakan gelas kosongnya di meja dengan sedikit bantingan. “Bicaralah, aku tidak memiliki waktu lagi. Jika kamu masih mengulur waktu dengan omong-kosong, aku akan pergi,” ancam Rosea yang sudah kehilangan kesabarannya. Leonardo berdeham menormalkan suaranya, tangan Leonardo mengepal kuat di bawah meja, entah mengapa dia merasa gemas melihat ekspresi marah Rosea yang tengah marah. Mata Rosea yang bercahaya dan tajam itu mengingatkan Leonardo pada anak kelinci peliharaan Prince. “Aku sudah meneliti interaksi kamu dengan Prince.” “Apa hubungannya denganku?” “Prince terlihat sangat menyukaimu, dia terus membicarakanmu sepanjang perjalanan pulang. Tidak biasanya dia memiliki ketertarikan pada orang asing. Hal sekecil ini sangat berarti untukku karena selama ini Prince mengalami masalah dalam berinteraksi.” Leonardo berhenti bercerita, pria itu terdiam sejenak dan melihat Rosea dengan lekat, sampai akhirnya Leonardo pun berkata, “Aku tidak bermaksud menyinggungmu, namun aku harus mengatakan ini. Apakah kamu tertarik menjadi teman bayaran Prince?.” Rosea tercengang, wajahnya berubah pias karena kaget juga tehina secara bersamaan. Apa yang keluar dari mulut Leonardo adalah sebuah penghinaan nyata untuk Rosea. Rosea tidak terhina dengan pekerjaan yang di tawarkan Leonardo, semua pekerjaan itu terhormat di mata Rosea. Namun yang di tawarkan Leonardo sama sekali tidak layak dengannya. “Yang benar saja” Rosea menggeram dan menggebrak permukaan meja sampai membuat Leonardo sedikit terlonjak kaget. “Kamu jangan bicara sembarangan ya.” “Sea, ini bukan teman bayaran biasa. Jadilah teman bermain Prince, temani dia belajar dan bersosialisasi, kamu tidak perlu melakukan apapun selain itu.” Leonardo kembali meluruskan karena yang Prince butuhkan saat ini adalah teman yang dapat membuat dia bersemangat dengan dunia luar. Rosea tersenyum kecut, “Singkatnya kamu butuh pengasuh untuk anak kamu,” sindir Rosea dengan tajam. “Tidak ada pengasuh, ini murni teman bayaran.” “Apapun yang kamu katakan, kamu berbicara dengan orang yang salah.” Rosea langsung bersedekap dengan angkuh. “Aku memang tidak memiliki banyak uang, namun aku masih mampu membayar lima baby sitter dengan uangku sendiri, dan jika kamu membutuhkan pengasuh untuk anak kamu, carilah pengasuh professional,” jawab Rosea dengan arogan karena satu-satunya hal yang bisa mengalahkan kearoganan Leonardo adalah arogan juga. Rosea adalah wanita karier, jelas bila Rosea tersinggung karena Leonardo berkata pada orang yang tidak tepat. “Aku sudah pernah menggunakan banyak jasa professional namun mereka mundur.” “Maka gunakan psikolog anak untuk menenangkan dia dulu.” “Masalahnya adalah.” “Masalahnya adalah kamu bicara pada orang yang tidak tepat sekarang,” potong Rosea dengan sengit. Leonardo membungkam tampak menyesal dan merasa sudah bicara salah, akan tetapi Leonardo tidak dapat menyerah begitu saja dengan penolakan Rosea. “Berapa pengahasilan kamu sebulan?” tanya Leonardo. Kearoganan pertanyaan yang terlontar dari mulut Leonardo membuat Rosea semakin naik pitam. “Dua ratus juta.” “Jika mau, aku kontrak kamu tiga ratus juta, jadilah teman bayaran Prince dalam tiga bulan. Kita atur saja jadwal waktu kosong kamu dan Prince agar tidak mengganggu pekerjaan kamu yang lain,” tawar Leonardo dengan percaya diri dan terdengar begitu enteng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD