Bibir Rosea menekan, wanita itu mengangguk kecil merasa di pojokan. “Aku, aku percaya,” jawab Rosea dengan terbata.
“Jadi, apa sekarang Sea mau berbisnis dengan Ayah?”
“Prince, berbisnis itu tidak bisa di putuskan dalam waktu singkat. Aku harus memikirkannya terlebih dahulu,” jawab Rosea sebijak mungkin agar Prince memahami penolakan halusnya.
“Baiklah, Sea pikirkan saja dulu. Besok aku dan Ayah akan datang lagi ke sini. Besok Sea pasti sudah memiliki keputusan.”
Rosea tercengang sampai kehilangan kata-kata untuk berbicara, ucapan Prince ternyata lebih berbahaya dari ayahnya.
Leonardo membuang mukanya dan tersenyum geli karena Prince yang pandai berbicara berhasil membuat Rosea diam seribu bahasa tidak bisa menolak. Leonardo menegakan tubuhnya, pria itu mengangkat wajahnya menunjukan kebanggaan penuh atas kepandaian Prince.
Pandangan Prince mengedar dan terpaku melihat sebuah rak buku besar yang terisi banyak buku. Prince turun dari kursinya “Sea, apakah aku boleh melihat perpustakaan Sea?.”
“Boleh.”
Prince langsung berlari pergi menuju rak, anak itu berharap bahwa Rosea juga memiliki buku bergambar seperti kesukaannya karena masih kesulitan membaca.
“Dengar ya” Rosea langsung bersedekap dan kembali bebicara usai Prince pergi menjauh. “Aku tidak menolak menjadi teman Prince, tapi aku bisa menolak tawaran untuk menjadi teman bayarannya.”
“Kamu pikirkan saja. Tidak perlu terburu-buru.”
“Astaga..” Rosea mendesah frustasi, berkali-kali dia sudah menolak namun Leonado tetap bersikap tebal muka dan begitu percaya diri menawarkan pekerjaan kepadanya.
“Kenapa kamu sangat bersikeras menolaknya Sea?”
“Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa kamu bersikeras menawarkan pekerjaan ini padaku?”
“Bisnis harus selalu di perjuangkan, dan aku sudah memberikan semua alasannya sama kamu barusan, apa kamu sudah lupa?”
“Kamu sangat keras kepala.”
“Terima kasih atas pujiannya.” Leonardo kembali meminum kopinya.
Gigi Rosea saling mengetat menahan makian kerasnya. Betapa melelahkannya berbicara dengan Leonardo, pria itu terlalu gigih dan kuat untuk Rosea tolak.
Sekali lagi Rosea membuang napasnya dengan kasar untuk meredakan amarah di hatiya. “Jangan bilang-bilang kepada Prince kalau kamu menawariku pekerjaan. Nanti dia salah paham padaku.”
Bibir Leonardo membentuk senyuman samar di balik gelas kopinya. Pria itu megedikan bahunya menyetujui permintaan Rosea.
Leonardo meletakan gelas kopinya yang sudah kosong dan segera beranjak sambil melihat jam di tangannya. “Terima kasih atas jamuannya.”
Tidak berapa lama Prince sudah kembali, kepala Prince mendongkak menatap Leonardo dan Rosea bergantian. Di tangannya ada sebuah buku kecil bergambar burung-burung.
“Sea, apa aku boleh meminjam buku Sea?” tanya Prince seraya menunjukan buku yang telah dia ambil.
“Coba aku lihat,” Rosea mengambil buku itu dan menelitinya. “Ini buku cetakan pertama dari penerbit, kalau kamu mau, aku memiliki buku yang di pasarkannya. Aku akan memberikannya sama kamu, kamu mau?”
Prince mengangguk senang.
“Ikut aku.”
Dengan patuh Leonardo dan Prince mengikuti Rosea menuju rak buku, Rosea meneliti beberapa buku ciptaannya yang sudah di perjual belikan dengan isi yang sama.
“Kenapa kamu memiliki buku cetakan pertama?” tanya Leonardo.
“Karena aku yang membuat dan menggambarnya,” jawab Rosea dengan ketus.
Leonardo terpaku kaget, dia tidak tahu jika wanita yang berada di hadapannya itu juga adalah seorang pembuat cerita anak-anak. Leonardo tidak dapat menutupi rasa kagumnya pada Rosea, wanita itu seperti sebuah kotak kado yang isinya tidak bisa dia duga.
“Sea hebat,” Prince terperangang kagum.
Rosea tersenyum lebar, wanita itu memberikan buku yang sama dengan buku yang Prince ambil. “Ini bukunya, bacalah perlahan, semoga kamu suka.”
“Terima kasih Sea,” Prince langsung memeluk buku itu dengan erat, anak itu terlihat begitu senang karena Rosea memberinya hadiah.
“Prince, sudah waktunya pulang, beri salam kepada Sea,” titah Leonardo.
“Sekarang?”
“Iya, sekarang.”
“Bisakah kita duduk sedikit lebih lama lagi?” suara Prince merendah sedih.
“Nanti kita akan ke sini lagi, Ayah dan Sea sudah bicara dan Sea memperbolehkannya. Benarkan Sea?” Tanya Leonardo dengan senyuman lebarnya memaksa Rosea untuk ikut tersenyum dan mengangguk mengiayakan karena jika Rosea menolak, Prince pasti merasa sedih.
“Benar,” jawab Rosea dengan sedikit geraman.
“Baiklah” bisik Prince terdengar sedih, Prince berlari mengitari meja dan memeluk Rosea sejenak.
Pelukan hangat Prince dan tatapan mata polosnya yang hangat menatap membuat hati Rosea sedikit tergangganggu. Ada sebuah dorongan yang membuat Rosea tidak ingin mengecewakan dan membuat anak itu bersedih.
“Sampai jumpa Prince.”
“Sampai jumpa Sea,” pamit Prince seraya mundur perlahan dan berbalik dengan sedih, tangan mungilnya terangkat mengajak bergandengan dengan Leonardo.
Sekilas Leonardo melihat Rosea yang berdiri di belakanya tengah melihat kepergiannya dengan Prince. Leonardo berharap kali ini Rosea berubah pikiran dan menerima tawarannya karena kesembuhan dan kebahagiaan dan kesembuhan Prince sangat penting Leonardo.
***
Malam itu, hujan turun deras. Petir menyambar beberapa kali hingga mendengingkan pendengaran. Rosea duduk meringkuk di atas sofa sambil menonton drama yang di tayang di televisi.
Suara petir terdengar sangat keras membuat Rosea beberapa kali melihat ke arah jendela dengan perasaan takut, angin berhembus cukup kencang dan hujan turun kian deras.
Suara petir kembali muncul dengan keras membuat jendela-jendela ruangan berdentang seakan mau pecah.
Di detik selanjutnya lampu seluruh ruangan dan televisi yang menyala langsung padam menyisakan kegelapan yang mencekam.
Rosea berteriak ketakutan dan melompat dari sofa, wanita itu mengaduh terjatuh kesakitan, kakinya membentur sesuatu karena tidak bisa melihat apapun di sekitarnya.
Rosea melangkah terpincang-pincang di kegelapan dan beberapa kali menabrak sesuatu, Rosea berlari menuju keluar rumah.
Begitu pintu terbuka, angin berhembus kencang menggoyangkan gaun tidurnya hingga membuat Rosea mundur beberapa langkah kehilangan keseimbangannya.
Sebuah pohon besar di depan rumah, di sebrang jalan runtuh membuat kabel menuju rumah Rosea terputus. Pohon itu menghalangi jalan dan membuat gerbang rumah Rosea rusak.
Rosea melihat ke sisi dan melihat lampu rumah tetangganya yang masih menyala.
Detak jantung Rosea memacu cepat, rasa takut mulai mencekik dirinya perlahan. Rosea tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang.
Tidak berapa lama Atlanta muncul di lantai dua rumahnya. Pria itu melihat keberadaan Rosea yang kini menangis ketakutan berdiri di depan rumahnya terlihat kebingungan tidak tahu harus berbuat apa.
“Kamu tidak apa-apa?” teriak Atlanta memanggil di antara suara deras hujan.
Rosea terisak dan menggeleng.
“Ke sinilah,” teriak Atlanta lagi dengan tangan menunjuk-nunjuk ke arah halaman rumah Rosea. “Ke sana. Jangan ke depan, bahaya. Ada aliran listrik.”
Rosea mengusap air matanya sejenak dan berlari dengan langkahnya yang terhuyung-huyung karena angin yang kencang, dengan segenap keberaniannya yang tersisa, Rosea berlari menerobos hujan badai yang langsung mengguyur tubuhnya.
Rosea mengambil tangga kayu dan meletakannya di sisi pagar, perlahan dia naik ke atas dan terduduk di antar dua pagar tembok kokoh yang berdiri berdampingan.
Tidak berapa lama Atlanta datang dan mendekati sisi kolam. Pria itu menaiki tangga dan muncul di balik tembok.
“Kamu bisa memanjatnya?” tanya Atlanta dengan tangan terulur.
“Aku.. aku takut,” jawab Rosea terisak.
“Tenangkan dirimu, aku akan membantu.” Atlanta membuka tangannya hendak membantu Rosea. Kecanggungan dan situasi hubungan yang buruk di antara mereka menghilang sejenak karena sebuah kepedulian.
Rosea terisak menangis menggapai tangan Atlanta dan menggenggamnya dengan erat, tubuh Rosea gemetar menggigil kedinginan dan ketakutan. Perlahan kaki Rosea bergerak hati-hati menyebrangi dua tembok tinggi.
“Jangan menangis, semuanya akan baik-baik saja,” hibur Atlanta menguatkan. Dengan mudah Atlanta menangkap pinggang Rosea dan memeluknya, menahan tubuh wanita itu agar tidak terjatuh dari ketinggian.
“Kamu ikuti langkahku, mengerti?”
Rosea yang masih menangis segera mengangguk sambil melihat ke bawah, kakinya perlahan mengikuti pergerakan kaki Atlanta yang menuruni satu persatu anak tangga.
Rosea terperanjat takut begitu mendengar suara petir kembali menyambar begitu keras, angin semakin berhembus kencang membuat tangga yang di pijaknya bersama Atlanta bergoyang kehilangan keseimbangan.
Bak kapas terbang di udara, tangga yang di pijak Atlanta dan Rosea terjungkal ke belakang membuat kedua orang itu tercebur ke dalam kolam.
Tubuh Rosea terjatuh ke dasar dengan kaki yang langsung keram, seluruh tenaganya hilang di telan rasa takut, dengan lemah dia bergerak ke atas dan melihat Atlanta yang kembali menarik tangannya dan membawanya ke tepian.
Tubuh Rosea menggigil hebat tidak kuat untuk berdiri, wajahnya pucat pasi duduk bersimpuh di pinggiran kolam tengah bernapas dengan cepat mencoba menenangkan diri.
Atlanta menyusul naik ke tepian, tanpa banyak bicara pria membungkuk menggendong Rosea dengan mudahnya, lalu membawa Rosea masuk ke dalam rumah dengan keadaan yang sama-sama basah.
***
Tubuh Rosea yang gemetar kedinginan terayun dengan mudah dalam gendongan Atlanta yang membawanya pergi melewati banyak ruangan.
Atlanta yang membawa Rosea, sesekali melihat wanita itu dengan langkah yang hati-hati karena takut jatuh. Pria itu terlihat cukup perhatian menangani Rosea yang kini tidak bersuara sedikitpun selain menangis.
Melihat keadaan Rosea yang terlihat rapuh lemah membuat Atlanta sedikit terhibur bercampur kasihan. Pasti tidak mudah untuk Rosea bersikap tenang setelah mengalami shock, akan tetapi hal ini membuat Atlanta dapat melihat kelemahan Rosea di balik semua penampilannya kuat Rosea yang selama ini selalu dia tunjukan di hadapan sema orang.
Atlanta membuka pintu sebuah kamar, “Mau aku antar kamu sampai mana?”
“Aku tidak tahu,” jawab Rosea terbata. Kakinya yang terluka dan berdarah membuat Rosea kehilangan banyak tenaga untuk berjalan. Di sisi lain Rosea malu meminta Atlanta membantunya lebih jauh.
“Karena aku baik, aku akan mengantar kamu sampai pintu kamar mandi.”
Wajah Rosea memerah malu, dia sangat malu karena sudah merepotkan tetangganya padahal hubungan mereka tidak begitu baik. Mata Rosea perlahan gemetar dan air matanya terjatuh, bibirnya yang sejak tadi mengatup kini mengeluarkan isakan yang tidak dapat dia tahan lagi.
“Hiks…” Rosea menangis, “Maaf merepotanmu,” lirihnya penuh sesal.
Malam ini terasa sangat sial untuk Rosea, tidak hanya karena rumahnya menjadi gelap gulita, dia juga harus merepotkan tetangganya yang sudah Rosea anggap musuh.
Atlanta tertunduk, melihat tubuh kecil Rosea meringkuk dalam pelukannya dan wanita itu tengah menghapus air matanya beberapa kali. Pelukan Atlanta semakin erat memeluknya. Atlanta tahu hati Rosea tengah terluka karena wanita yang terbiasa mandiri itu, kini tiba-tiba saja merepotkan orang lain.
“Aku akan memaafkan kamu jika kamu mau bersikap baik kepadaku,” jawab Atlanta terdengar mengancam.
“Iyaa.”
“Janji?” tuntut Atlanta tidak puas.
“Janji.”
Bibir Atlanta menyunggingkan senyuman puas.
Perlahan Atlanta menurunkan Rosea di depan pintu kamar mandi. Tubuh yang Rosea sedikit terhuyung ke belakang di tangkap dengan mudah oleh Atlanta yang kini kembali harus memeluknya.
Atlanta terdiam memeluk Rosea lagi dan membiarkan wanita bersadar padanya cukup lama agar Rosea untuk mendapatkan ketenangan dan kekuatannya lagi. Pelukan Atlanta perlahan mengendur. “Kamu tidak apa-apa? Sekarang sudah membaik?” tanya Atlanta dengan suara yang terdegar lembut.
Rosea mengusap wajahnya yang basah, “Aku baik-baik saja,” jawab Rosea dengan serak.
“Masuklah dan bersihkan tubuhmu, aku akan mengambil handuk, kamu bisa pakai kamar ini untuk malam ini.”
Rosea mengangguk patuh, perlahan wajah Rosea terangkat memberanikan diri melihat Atlanta yang kini masih berdiri di dekatnya. Dengan lekat Rosea menatapnya, Rosea merasa lega dan bersyukur karena di situasinya yang sulit seperti ini Atlanta membantunya dengan sangat baik.
“Terima kasih sudah membantuku,” ucap Rosea denan suara serak.
“Masuklah” Atlanta meraih meraih kepala Rosea dan memutarnya, mendorong Rosea untuk segera masuk ke dalam kamar.
Sekali lagi Rosea mengangguk dan segera masuk, lalu menutup pintu.
Tubuh Rosea bersandar pada daun pintu, wanita itu terdiam mengatur napasnya beberapa kali.
“Memalukan.” Gerutu Rosea menutupi wajanya sendiri yang memerah di penuhi air mata dan air hujan.
Rosea menghela napasnya dengan berat, kakinya bergerak sedikit terpincang-pincang, Rosea pergi mendekati shower dan membuka laci yang berisi perlatan mandi yang masih di bungkus rapi.
Rosea menanggalkan satu persatu pakaiannya dan segera mandi air hangat untuk meredakan tubuhnya yang menggigil kedinginan.
Butuh lima belas menit untuk Rosea mandi, setelahnya wanita itu hanya diam mematung kebingungan karena tidak ada sehelaipun pakain kering maupun handuk yang bisa dia pakai untuk menutupi tubuhnya yang basah.
Rosea memeluk dirinya sendiri yang bertelanjang, wanita itu mendekati pintu. Kebingungan Rosea berubah menjadi panik, dia tidak tahu bagaimana cara pergi keluar kamar mandi, sementara pakaiannya sudah masuk ke dalam kerajang kotor.
“Astaga, apa yang harus aku lakukan?” tanya Rosea pada dirinya sendiri.