BAB 18: Sebuah Rasa

2511 Words
“Sea, ayo” Ajak Prince yang kini sudah berdiri di sebrang. Rosea melongo kehilangan kata-kata karena terpukau dengan semua pemandangan yang di lihatnya mala mini. Dress yang di kenakan Rosea berkibar tersapu angin, kaki Rosea menggigil kedinginan. Rosea melihat tangan Leonardo yang terulur hendak memberikannya bantuannya untuk menyebrang. Rosea menelan salivanya dengan kesulitan, wanita itu masih sangat sungkan dengan kebaikan dan kedekatan dirinya bersama Leonardo dan Prince yang baru da kenal. “Memangnya aku boleh makan bersama kalian?” bisik Rosea takut. Sorot mata Leonardo yang kebiruan itu menggelap, pria itu terlihat tidak begitu senang mendengar pertanyaan Rosea. Leonardo membungkuk, mendekatkan wajahnya dan mendekatkan bibirnya tepat di telinga Rosea. Sesaat Leonardo menarik napasnya dalam-dalam mencium white musk di rambut Rosea yang kini mulai familiar di indra penciumannya. Aroma lembut itu kin bercampur dengan aroma laut yang berhasil memunculkan sebuah pikiran nakal yang tiba-tiba muncul di kepala Leonardo. Leonardo terpaku, membayangkan akan sangat menyenangkan bila dia bisa mengigit daun telinga Rosea hingga wanita itu memejamkan matanya dan mengeluarkan erangannya yang dalam. Leonardo mamaki dalam hati karena sudah berpikiran liar, dengan cepat dia mengembalikan pikiran rasionalnya lagi. “Kamu sudah menandatangani kontrak, Sea. Jangan menunjukan diri di depan Prince jika kamu menjadi temannya hanya karena pekerjaan. Bersikaplah alami sebagaimana teman yang baik,” peringat Leonardo dengan serius. Rosea mengangguk patuh mendengar perkataan Leonardo, dengan cepat akhinya dia meraih tangan Leonardo dan menggenggamnya dengan erat. Rosea dan Leonaro melangkah bersama menuju sebuah kapal pesiar pribadi. Tubuh Rosea terasa seperti terayun begitu dia sudah berdiri di atas kapal, beruntung sekali hari ini dia memakai sneakers. Jika saja Rosea mengenakan heels, mungkin kini dia sudah nyemplung ke dalam laut. Bola mata Rosea bergerak cepat mengedar ke penjuru kapal, wanita itu di buat takjub. Apa yang terjadi sekarang terasa seperti sebuah dongeng dan cerita di dalam n****+. Bagaiamana bisa seseorang melakukan makan malam di kapal pesiar yang berada di depan rumah? Apa semudah itu hidup banyak uang?. Bahkan, kini Leonardo dan Prince bersikap biasa saja seakan kemewahan adalah hal yang paling alami untuk mereka berdua. Sangat berbanding balik dengan Rosea, wanita itu mematung beberapa kali karena takut menjadi gila menghadapi kemewahan yang mendadak berada di sekelilingnya. Goyangan air laut membuat tubuh Rosea sedikit terhuyung, dengan sigap Leonardo menangkap pinggang kecil Rosea dan menuntunnya untuk duduk di samping Prince. Seperti apa yang telah Prince katakan, anak itu langsung menunjukan ikan pancingannya yang berada di ember. Hanya karena satu ikan kecil yang berhasil di tangkap, Prince berceloteh senang begitu bangga dengan apa yang telah dia hasilkan hingga merencanakan untuk membuat sebuah akuarium di kamarnya. Dunia fantasi Prince begitu jauh dan dalam, namun semakin banyak dia berbicara, Rosea semakin mengetahui jika Prince begitu kesepian. Begitu selesai menunjukan ikannya, Prince mengajak Rosea duduk untuk segera makan dan bergabung dengan Leonardo yang sejak tadi menunggu. Sebuah menu makan malam tersaji di meja dan di susun dengan cantik. Rosea tidak tahu kapan orang-orang menyiapkannya, yang jelas dia semakin di buat terperangah. Sambil makan malam Rosea di suguhkan oleh pemandangan lautan yang kini tenang indah seperti lukisan abstrak, cahaya-cahaya lampu bangunan di sekitarnya seperti ribuan kunang-kunang yang terbang di hutan, langit yang gelappun kini di hiasi banyak bintang. Betapa beruntungnya Rosea malam ini. Meski, sesungguhnya ada pemandangan yang lebih indah dan mewah daripada bangunan dan langit malam, keindahan itu terletak pada Leonardo. Butuh waktu beberapa detik untuk Rosea memutuskan bahwa pria itu indah, Rosea tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari Leonardo yang melepaskan jassnya dan menggulungkan lengah kemejanya sampai siku. Gerak tubuh Leonardo, tatapannya yang dingin dan tegas, tangan kokohnya yang menarik kursi dan cara dia duduk dengan tegak, semuanya sempurna. Rosea menarik napasnya dalam-dalam merasakan pipinya tersapu sesuatu yang menghangatkan, tatkala pandangannya bertemu Leonardo dan saling mengunci. Tatapan pria itu terasa berbeda, ada suatu percikapn di matanya yang membuat Rosea tersadar akan ketertarikan dan rasa penasaran pria itu kepada dirinya. Rosea langsung tertunduk mengalihkan perhatiannya kepada Prince, dia harus bersikap professional dan bertanggung jawab dengan pekerjaan barunya. “Sea, makanlah,” kata Prince seraya mengambil sumpit kecilnya. “Terima kasih” Rosea ikut mengambil sendok dan memulai makan, Rosea tidak lagi melihat kearah Leonardo meski dia tahu bahwa kini pria itu terus memperhatikannya dan menilai setiap gesture tubuhnya. Teringat dalam benak Rosea, Karina pernah bercerita bahwa orang-orang kaya dan ambisius terkadang menilai orang cukup melalui gesture tubuh lawannya untuk memberi penilaian seperti apa kepribadiannya. “Apa malam ini Sea akan lama-lama di rumahku?” tanya Prince sambil mengambil sepotong daging di antara sayuran. “Sepertinya begitu.” “Bagaimana masakannya? Enak bukan?” Rosea mengangguk, “Ya, tentu saja. Pantas saja kamu pernah membicarakan juru masak kamu waktu itu, ternyata masakannya selezat ini.” “Aku tidak bisa memasak makanan seperti ini untuk Sea. Tapi setelah aku tinggi seperti Sea, aku pasti bisa.” Hibur Prince dengan polos, anak itu takut Rosea kecewa karena Prince tidak membuat makanan yang enak lagi untuk Rosea. Padahal Rosea menemuinya karena ingin makan masakan Prince lagi. “Aku akan menunggu kamu tumbuh setinggi aku kalau begitu,” jawab Rosea dengan enteng. Prince terdiam dan berpikir memikirkan sesuatu. “Jika aku sudah setinggi Sea. Apa kita bisa menikah seperti kakek nenekku?” Uhuk Leonardo yang sejak tadi diam langsung tersedak makanannya sendiri, sementara Rosea terpaku kaget. Bagaimana bisa anak seusia Prince sudah bisa membicarakan masalah pernikahan? Ada apa dengan anak itu? “Memangnya, kamu tahu menikah itu apa?” tanya Rosea sedikit terbata. Prince menggaruk pipinya yang tidak gatal, anak itu berpikir mencari jawaban. “Teman seumur hidup. Aku dan Sea kan berteman.” Rosea tersenyum lebar kembali makan, dia tidak mempedulikan ekspresi bingung Leonardo yang baru tahu jika puteranya bisa berkata seperti itu kepada seorang wanita. “Prince, ke depannya kamu tidak boleh berkata seperti itu kepada siapapun, paham?” ucap Leonardo menasihati Prince. Prince kembali menyuapkan makananya dengan lahap, anak itu menatap polos Leonardo. Prince menggeleng karena sama sekali tidak memahami maksud perkataan ayahnya. “Tidak boleh berkata apa, Ayah?” “Tidak boleh membicarakan pernikahan. Itu sangat di larang, kamu baru boleh mengatakannya jika nanti sudah besar dan bekerja. Kamu paham?” jelas Leonardo lagi. Masih dengan kebingung yang sama, Prince mengangguk mengiyakan permintaan Leonardo. Rosea tertunduk menyembunyikan senyuman gelinya membayangkan seberapa protektifnya Leonardo menangani Prince jika nanti puteranya mulai tumbuh dewasa. “Ayah, apa aku boleh mengajak Sea ke kamarku? Ada yang ingin aku tunjukan kepadanya,” tanya Prince setelah selesai menyelesaikan makannya. “Tanyakan kepada Sea, apa dia bersedia atau tidak.” “Apakah Sea mau melihat kamarku?” tanya Prince penuh harap. Rosea mengangguk setuju. “Ayo Sea,” ajak Prince melompat turun dari tempat duduknya, anak itu mengulurkan tangannya dan dengan cepat cepat Rosea menerimanya. mereka berdua segera pergi turun dari kapal, memasuki rumah. Leonardo masih tetap duduk di tempatnya memperhatikan bagaimana Prince membawa Rosea masuk ke dalam rumahnya. Pria itu sedikit tersenyum, dia merasa senang karena setelah sekian lama tidak melihat Prince seceria itu dengan tamu yang datang ke rumahnya. Senyuman Leonardo memudar dan keningnya mengerut tidak nyaman begitu teringat kata-kata Prince kepada Rosea soal pernikahan. “Dari mana dia belajar merayu seperti itu?” pikir Leonardo. Getaran handpone Leonardo di saku celananya membuat pria itu segera berdiri dan mengambil handponenya. Pria itu menatap layar handponenya dan membaca siapa yang menelpon. Leonardo segera menerima panggilan itu. “Ada apa Flora?” “Kenapa kamu memblokir kartuku Leo? Apa kesalahanku? Aku sangat malu dan tertahan di butik dengan teman-temanku,” rengek seorang wanita di balik telepon. Leonardo hanya melihat jam di tangannya dan membuang napasnya dengan berat. “Pengeluaran kamu sudah melewati batasan.” “Tapi Leo, itu kan uang yang kecil untuk k” “Ini tidak ada hubungannya dengan uang yang ku miliki. Aku hanya akan memberikan uang yang sesuai dengan yang pernah aku janjikan setiap bulannya. Jika kamu tidak puas dengan uang yang aku berikan, silahkan cari pria lain,” potong Leonardo dengan rentetan kata-katanya yang tajam dan dingin. “Astaga Leo! Kamu sangat tega.” Rengek Flora bersama dengan teriakan kesalnya. Leonardo terdiam masih berekspresi dingin seakan tidak peduli dengan apapun kemarahan Flora. “Aku kangen kamu, kapan kamu ke apartementku?” Mendadak suara Flora merendah dan terdengar manja. Loenardo menelan salivanya, kesibukannya membuat dia tidak betemu dengan Flora lebih dari satu minggu. “Aku tidak tahu.” “Ayolah Leo. Kenapa sih bekerja terus? Temui aku di apartement malam ini, jika kamu terus mendiamkan aku seperti ini, aku merasa jadi tidak berguna.” “Baiklah.” *** Rosea berdiri di belakang pintu kamar Prince dan melihat ke sekitar, kamar anak itu sangat besar, sebesar kamarnya. Dapat Rosea lihat dinding sebelah kamar di penuhi banyak bermacam-macam buku, sementara di sebelah kiri di penuhi oleh banyak mainan yang tersusun, lebih hebatnya Rosea melihat teleskop di depan jendela kamarnya. Rosea tidak berani melangkah lebih jauh karena dia teringat pesan Leonardo jika Prince tidak suka barang pribadi di sentuh. Prince berlari pergi menuju meja belajarnya dan membuka isi di dalam tasnya, sementara itu Rosea menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada adik Karina untuk mengambil mobil Karina. “Sea kemarilah.” Prince segera duduk di sisi ranjang. “Aku boleh ke sana?” “Tentu saja. Ayo duduk.” Tangan mungil Prince menepuk sisi ranjang yang dia duduki. Rosea terburu-buru mendekati Prince dan duduk di sebelahnya. Refleks Rosea meletakan handponenya di atas ranjang Prince. Perhatian Rosea langsung tertuju pada buku di tangan Prince, buku itu adalah buku yang sempat Rosea berikan kepadanya. Sebuah senyuman senang terlukis di bibir Rosea, “Kamu sudah membacanya?” Prince mengangguk cepat, anak itu membuka beberapa halaman dan menunjuk beberapa gambar ilustrasi hewan di sisi cerita dongeng yang tersaji. Prince menanyakan apa yang tidak di pahaminya, bagusnya Rosea menjawab semuanya dengan jelas karena buku itu dia buat sendiri. Rosea memiliki masa kecil yang tidak begitu menyenangkan dari lingkungan sekolahnya, untuk mengalihkan kesedihannya Rosea mnghabiskan waktunya di perpustakaan dan mengikuti gambar-gambar dari buku dongeng. Ketika duduk di bangku menengah atas, Rosea bertemu dengan guru sastra yang baik, guru itu mengetahui potensi Rosea dan menganjurkan Rosea untuk belajar menulis buku dongeng, mencurahkan fantasi-fansti kecil masa kanak-kanaknya. Berkat itulah kini Rosea terus menuliskan banyak cerita anak. “Kenapa Sea bisa menulis seperti ini?” Tanya Prince usai mendengar penjelasan Rosea. “Aku punya masa kecil yang tidak begitu menyenangkan, aku tidak suka belajar, aku juga selalu tidak mendapatkan pringkat. Aku tidak seunggul kakakku. Orang-orang selalu berpikir, anak-anak pintar itu harus pintar matematika, aku jadi kesal, karena itu aku menulis dan menggambar sampai sukses,” cerita Rosea setengah merenung teringat masa lalunya yang harus menghadapi stigma masyarakat jika anak pintar itu harus pintar matematika dan masuk pringkat di sekolah. Bagi Rosea, kecerdasan itu memang penting, namun kecerdasan tidak bisa di lihat daru satu sudut saja. Perlu di ingat juga, meski pintar itu penting, namun yang paling penting lagi adalah akan menjadi seperti apa seseorang setelah terlepas dari lingkungan pendidikan. Seberapa mampu mereka bertahan dan berkembang. Cerita kecil Rosea membuat Prince mencebik kesal, “Aku juga suka kesal dengan babysitter di sini,” curhat Prince memulai cerita. Tiba-tiba Rosea teringat cerita singkat Leonardo. “Kesal?” tanya Rosea. Prince mengangguk “Mereka membuatku kesal. Tidak boleh bermain, tidak boleh berlarian di rumahku sendiri, tidak boleh makan bersuara, tidak boleh mengayunkan kaki saat duduk, baju harus rapi. Mereka memintaku terus belajar mengisi kuis yang d berikan, mereka akan berdiri di sisiku dan melarangku pergi selain ke toilet,” cerita Prince mengungkapkan kekesalannya. Rosea mendengus kesal mendengarkan rentatan cerita Prince yang terasa cukup keras untuk anak seusianya apalagi itu di ajarkan oleh babysitter. “Aku juga jika jadi kami, pasti kesal.” Prince menutup mulutnya dan tertawa, “Karena itu aku mengerjai mereka.” Prince kembali berceloteh bahwa dia sering mengerjai babysitternya, di mulai dengan menggunakan handpone mereka untuk berbelanja dalam jumlah besar semaunya, menyembunyikan handpone mereka. Mengunci mereka di kamar mandi hingga semua ruangan agar semua orang kerepotan, menggunting tas mereka, menyebarkan nomer mereka ke teman-temannya agar saling membantu mengganggu, tidak jarang juga Prince hanya berbicara bahasa Prancis agar mereka kesal karena tidak bisa berkomunikasi. Rentetan cerita Prince membuat Rosea mulai tahu ternyata anak itu tidak polos sepenuhnya karena dia memiliki banyak sisi nakal. Atau mungkin, Prince hanya bersikap baik pada orang yang di sukainya? Karena itu Leonardo mau membayar Rosea dalam jumlah besar. “Sea, ini rahasia ya, aku hanya bercerita ini kepada Alex saja karena Alex temanku. Karena sekarang aku dan Sea berteman, karen itu aku memberitahu,” ujar Prince dnegan serius. “Baik, aku janji akan menjaga rahasia kamu,” Rosea mengangkat tangannya, memberikan jari kelingkingnya. Dengan senyuman lebarnya Prince langsung mengaitkan jari kelingkingnya juga. “Ehem, Sea” Prince berdeham malu dan tertunduk gugup “Aku, apakah aku boleh peluk Sea?” tanya Prince terbata. Rosea tertegun untuk sesaat, suara lembut Prince yang meminta sebuah pelukan berhasil menyentuh hati terdalamnya. Naluri Rosea sebagai seorang wanita yang sudah dewasa berhasil di rebut oleh Prince. “Boleh” Rosea segera membuka tangannya, menerima Prince yang bergeser semakin mendekat dan memeluknya. Sudut bibir Rosea terangkat membentuk senyuman, merasakan pelukan erat Prince di pinggangnya yang terasa memiliki makna yang berbeda. Perhatian Rosea teralihkan pada tumpukan rubik yang berada di dalam salah satu kotak lemari mainan. Perlahan Rosea melepaskan pelukannya dan berkata, “Kamu suka rubik?” tanya Rosea. Prince megangguk. “Ayah memberikannya untukku setelah pulang dari Hongaria, tapi aku tidak bisa memainkannya karena sulit. Jadi, aku memberikan satu persatu rubik yang aku punya pada teman di sekolah ketika mereka mau membantu mengerjakan tugas sekolahku,” cerita Prince dengan terbata, wajahnya yang lucu itu terlihat sedikit pias seperti sudah melakukan pengakuan dosa. “Kenapa kamu meminta teman kamu mengerjakan tugas sekolah?” Bibir mungil Prince sedikit bergerak kecil terlihat ragu untuk menjawab, anak itu tertunduk seketika. Prince takut Rosea benci dengan anak yang nakal dan pemalas. Menyadari ketakutan prince, Rosea menepuk bahunya dan tersenyum samar. “Hey, kamu tidak perlu menjawab jika tidak mau.” Prince menelan salivanya dengan sedikit tersedak, lagi-lagi Rosea menghargainya. Rosea tidak memaksanya. “Aku.. aku itu belum bisa menulis dengan baik. Aku juga belum bisa berhitung, jika aku bertanya pada nenek, nenek akan mengomeliku dan mengirimkan guru less. Aku juga tidak bisa bertanya kepada Ayah karena kami jarang bertemu,” tutur Prince terlihat malu dan sedih. Refleks Rosea memeluk Prince kembali dan mengusap punggung kecilnya. “Prince, sebenarnya, kamu tidak perlu malu dan sedih jika belum bisa menulis dan berhitung. Kerjakan saja semampu kamu, meskipun tulisan kamu sekarang jelek dan tidak rapi, terus kamu belum bisa berhitung, itu wajar karena kamu masih belajar. Siapapun yang belajar, hasilnya tidak akan langsung sempurna. Kamu harus percaya diri dengan pekerjaan kamu, jika kamu meminta bantuan teman kamu terus, nanti kamu tidak berkembang. Jangan khawatir, perlahan nanti kamu bisa jika kamu mau terus belajar.” Nasihat Rosea menyusun ucapannya dengan baik agar bisa langsung di mengerti anak-anak seusia Prince. “Bagaimana jika nanti nenek marah?” “Katakan kepada nenek kamu, jika nenek tidak marah-marah, kamu bisa belajar dengan lebih baik karena tidak takut dan tertekan. Jika nenek kamu mengomel terus, kamu jadi tidak berkonsentrasi.” Mendadak Prince tersenyum lebar merasa setuju dengan apa yang Rosea katakan kepadanya. To Be Continued..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD