07 | Mati Berkali-Kali

1413 Words
"Bagaimana ini, Pa?" tanya Eliza dengan nada resah. Damar tersenyum kecil, terbangun dari kilas kenangannya semasa hidup. Usai Alin berlarian mengadu bahwa Nino adalah anak Arman Abrawan, seketika ingatan Damar kembali terbang ke masa lalu. Sembilan belas tahun telah berlalu, Damar pikir seseorang akan mampu menyelesaikan tugas yang gagal ia selesaikan itu. Tapi lihat yang terjadi? Sebuah kebenaran agaknya tidak berlaku bagi Arman Abrawan karena alih-alih membusuk di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia kini malah menjabat jadi orang nomor satu di negeri. Bagaimana bisa? Damar penasaran, berapa nyawa yang telah Arman Abrawan hilangkan demi menutupi kebusukan-kebusukannya? Dunia sungguh tidak adil. "Hah ...," desah Eliza menekan daadanya yang sakit. "Ayahnya yang membunuh kita, tapi kita menampung anak pembunuh itu. Apa-apaan ini?” Kemarahan memenuhi rongga dadaa Eliza. Masih terang diingatannya bagaimana Damar pulang dengan pelipis berdarah-darah padahal baru sejam lalu dia keluar rumah. Itu hanya satu kejadian dan belum ada apa-apanya dibanding dengan apa yang Damar alami selanjutnya, serta teror-teror kepada keluarga kecil mereka. Hingga puncaknya di sini lah mereka sekarang. Di antara ratusan juta penduduk, apa sungguh tidak ada satu saja yang bisa melihat kebusukan Arman Abrawan? Mengingat sejahat apa dia, tidak heran jika detik ini masih belum ada orang yang berani menyentuhnya. “Pa, katakan sesuatu,” desak Alin tak sabaran lantaran Damar tampak masih berusaha mengatasi ketercengangannya. Damar mengusap wajah frustrasi, heran takdir macam apa yang sebenarnya mengikat dirinya dengan Arman Abrawan. Tatapannya tertuju pada bekas keratan cakaran kuku Eliza yang memanjang di daun pintu yang merupakan salah satu saksi bisu betapa mengerikannya malam itu. Mengapa bahkan setelah mati pun, Abrawan Abrawan basih bersinggungan dengan mereka. “Kita harus usir dia,” cetus Alin. “Aku nggak mau tinggal seatap sama orang yang sudah membunuh kita. Iya, kan, Ma?” Alin mencari dukungan, di saat Eliza sendiri juga masih bingung harus menyikapi takdir ini bagaimana. Mereka berdua menatap Damar, menunggu-nunggu Damar mengeluarkan pendapat. “Biarkan saja,” desah Damar dengan tatapan bingung. “Pa!” protes Alin, tak setuju. Damar menoleh pada Alin. “Memangnya apa yang mau kamu lakukan? Apa yang bisa kita lakukan?”  “Kita bisa bunuh dia.” “Dia sudah mati.” “Kalau gitu kita bunuh lagi. Kita bunuh terus dia biar dia mati berkali-kali.” “Alindra!” Alin menatap papanya tak percaya, damar membentaknya alih-alih mendengarkannya. “Papa lupa apa yang mereka lakukan pada kita?” Air mata Alin turun berderaian membasahi wajahnya. “Papa mungkin langsung mati begitu mereka mencekik leher Papa. Tapi aku enggak! Aku masih bisa merasakan sakit setelah mereka membenturkan kepalaku ke tembok, aku bahkan masih bisa melihat waktu Papa kejang-kejang kesulitan napas, aku melihat mereka memasukkan Adrian ke dalam karung sebelum mereka memasukkan aku ke dalam karung juga lalu aku mati di dalam karung itu. “Bahkan meski dia nggak bisa merasakan sakit atau dia nggak bisa mati, aku akan tetap membunuhnya,” tendas Alin sebelum berlari meninggalkan kamar orangtuanya itu. *** Selepas Alin tiba-tiba pergi, Anisya mendatanginya dengan dengan membawakan satu buah jagung bakar dan selimut. Nino terkesiap sewaktu tadi tahu-tahu Alin menyelubungi punggungnya menggunakan selimut itu. "Kenapa kamu ngasih aku selimut?" "Biar Adik nggak dingin." Nino menghela napas. Makin dibiarkan, makin lama Anisya makin mengerikan. Dia seperti dewasa sebelum waktunya. Inilah kenapa seseorang harus bergaul dengan orang sebaya mereka. Menurut Nino, Anisya sendiri tidak bisa disalahkan. Demi Tuhan dia hanya anak kecil yang sepertinya baru seusia TK, tentu yang bersalah adalah orang dewasa di sekelilingnya yang tak mendidik dia sebagaimana usianya. Sungguh, jika nanti tim penyelamat datang, Nino ingin sekali membawa Anisya keluar dari pulau ini. Nino melepaskan selimut itu dan mengajak Anisya duduk di sebelahnya, di dekat api unggun lalu menyelimutkan selimut itu ke punggung mereka berdua. "Kamu kenapa ke sini?" "Adik mau?" tanya Anisya, mengacungkan jagung bakarnya. Nino menggelengkan kepala pelan. "Buat kamu saja." “Adik, presiden itu apa?” Anisya bertanya lagi, kali ini di sela kunyahannya memakan jagung bakar. Nino mengerutkan kening. “Kenapa kamu tanya itu? Ah … Alin yang bilang, ya?” tebak Nino, dapat membayangkan saat ini Alin tengah hebih cerita ke semua orang kalau Nino adalah anak presiden. Pantas saja tadi dia sangat tercengang dan langsung lari. “Iya, Kakak Alin bilang Adik adalah anak presiden. Apa presiden itu orang yang jahat?” “Ya enggak lah,” sambar Nino seketika. “Justru presiden itu orang yang baik makanya dia dicintai dan dipilih banyak orang buat jadi pemimpin mereka.” “Benarkah?” Nino mengangguk mengiyakan. Pertanyaan Anisya sekaligus membawa ingatan Nino tentang kebersamaan-kebersamaannya dengan sang ayah. Perjalanan ayahnya menjadi presiden tidak lah mudah. Ayahnya gagal dua kali dalam pemilihan umum, ayahnya bekerja sangat keras untuk memenanagkan kepercayaan masyarakat sampaia-sampai pencalonannya yang ketiga kali menjadi bahan ejekan karena ayahnya dianggap terlalu terosesi menjadi presiden serta karena ibunya tidak punya calon ibu negara, sebelum akhirnya ayahnya mampi membungkam mereka dengan peroolehan suara 52 persen dari 3 pasangan calon presiden. Jika ayahnya bukan orang baik, ayahnya tidak akan terpilih selama dua periode berturut-turut. Saat ini masa jabatan ayahnya tinggal satu tahun, dan selama masa kepemimpinannya itu ayahnya memang banyak mendapat kritik dari pihak sana sini. Bahkan tak jarak ada yang sengaja melancarkan serangan untuk menjatuhkannya. Bisa dibilang, Nino tumbuh dari satu pemilihan umum ke pemilihan umum lima tahun berikutnya. Nino ingat dirinya sering diajak naik ke panggung kampanye dan melihat dari dekat ayahnya berorasi. Nino sudah pernah mengunjungi seluruh provinsi di Indonesia dan datang ke banyak daerah-daerah pelosok dan tertinggal, serta dipertemukan dengan sangat banyak orang dengan suku dan ras beragam demi kepentingan pemilu tersebut. Banyak yang bertanya padanya apa enak dan tidak enaknya menjadi anak seorang presiden. Tidak enaknya adalah Nino selalu menjadi pusat perhatian dan semua orang menaruh ekspektasi tertinggi di pundaknya. Sementara enaknya adalah karena presiden itu adalah Arman Abrawan. Tidak ada hal lebih baik selain menjadi anak Arman Abrawan. “Oh, jadi orang presiden orang baik itu adalah papanya Adik?” “Iya.” “Apa dia juga sebaik Papa?” “Semua anak pasti menganggap ayah mereka adalah yang terbaik.” “Jadi kalau ayahnya Adik orang jahat, Adik akan tetap menganggap dia yang terbaik?” Kontan saja celetukan Anisya itu membuat Nino melotot. “Bukan begitu, papaku—“ “Clevonino Abrawan.” Nino berjingkat terkejut mendengar nama lengkapnya diserukan oleh Alin dengan suara lantang. Bahkan dengan pencahayaan yang terbatas, hanya mengandalkan bias-bias cahaya dari api unggun, Nino bisa lihat jelas kemarahan di wajah Alin dan Adrian yang berdiri tepat di sebelah Alin. Dengan bingung Nino bangkit berdiri lalu bertanya, “ada ap—“ Belum tuntas kalimatnya, Nino terpekik kaget lantaran tiba-tiba Alin mendorongnya hingga ia terjungkal di atas pasir. "Apa yang kalian lakukan?" pekik Nino. Nino menengadah keheranan sebab ia sama sekali tak merasa berbuat salah atau mengatakan sesuatu yang menyinggung. "Kakak Alin, jangan dorong adik." Anisya berlari hendak menolong tetapi Adrian menangkap tubuh kecilnya dan dengan mudah ditahan, tidak biasanya Alin dan Adrian kompakan. "Kakak Adri, lepasin aku." Alin memutar mata malas dan berlagak mengorek telinga lantaran teriakan Anisya terdengar menanggu. "Anisya, kamu tahu siapa dia? Kalau kamu tahu siapa dia, kamu nggak akan memanggil dia adik. Dia yang udah--" "Alin!" Suara teguran Damar menghentikan Alin. Damar menatap tajam sang anak, lalu menggeleng pelan. Alin balas menatap papanya dengan tajam, merasa Damar terlalu lunak pada anak seorang pembunuh. Seperti yang ia bilang, mereka harusnya membunuh Nino sampai dia mati berkali-kali. Alin mendengus dan lari pergi sambil menangis yang kemudian disusul oleh Adrian dengan langkah lesu. "Anisya, kamu dicari sama Mama," ujar Damar pada Anisya. Meski tampak enggan pergi tanpa menolong Nino, Anisya tahu bahwa dirinya harus pergi. Damar menghela napas, lalu mengulurkan tangan pada Nino, bermaksud membantunya berdiri. "Kamu nggak apa-apa?" Nino menyambut uluran tangan itu dan berdiri dalam sekali tarikan Damar. "Aku nggak melakukan apa-apa, aku nggak tahu kenapa mereka tiba-tiba marah," jelas Nino panik. Tempat ini saja sudah mengerikan, tidak terbarang apa bisa terjadi jika orang-orang di tempat ini marah. Nino bisa benar-benar mati dan keberadaannya tidak akan pernah ditemukan. Tidak peduli seberapa benci dengan tempat ini, Nino harus tidak boleh membuat mereka marah sampai ia dapat keluar dari pulau ini dalam keadaan hidup-hidup. Damar mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti. "Kamu sudah makan malam?" Nino menggeleng pelan sebagai jawaban. "Ayo masuk, tadi istriku menyisakan daging dan jagung bakar untuk kamu." "Tapi kenapa mereka marah sama aku?" "Enggak apa-apa, aku tadi cuma sedikit memuji kamu di depan mereka, makanya mereka iri." Nino menatap Damar tak yakin, pasalnya air muka Damar sendiri juga tampak mencurigakan. Tidak mungkin tidak ada sesuatu yang terjadi.                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD