Jadi, inilah jawabannya. Ini bukan lah kebetulan biasa, inilah takdir yang sesungguhnya. Terlalu banyak kebetulan dan kecocokan sampai-sampai Damar telah mencapai titik kebenaran.
Dalam keadaan panik dan tercengang, Eliza bingung harus melakukan apa. Ini jelas sulit dipercaya. "Aku nggak percaya. Aku mau melihatnya sendiri. Kita harus mengeceknya lagi," cetus Eliza, dan dengan cepat menuju pintu. Tetapi gerakannya langsung dicegat oleh Damar.
Damar menggelengkan kepala pelan. "Tenang, Liz. Tenangkan dirimu. Kalau kamu bingung, gimana sama dia?" Damar mengingatkan dengan suara lembut dan sabar. "Dia nggak tahu siapa kita, dia nggak tahu kalau kita ini arwah. Coba bayangkan gimana terkejutnya dia kalau tahu selama beberapa hari ini ternyata dia tinggal bersama hantu."
Hati Eliza teriris mendengar kalimat terakhir Damar, tertampar oleh kenyataan bahwa mereka saat ini tak lebih dari sekadar arwah gentayangan. Hantu. Apa yang mereka harapkan? Bisa-bisa Nino akan syok dan ketakutan.
"Kita harus gimana, Pa?" tanya Eliza setengah frustrasi. Sesunggugnya ia tak peduli dugaan Damar itu benar atau tidak. Ia ingin mempercayai bahwa Nino adalah Alden karena dengan begitu kerinduannya terhadap si bungsu mungkin akan sedikit terbayarkan. Namun di sisi lain, ia sadar manusia tidak seharusnya berada di pulau ini. Entah Eliza harus menyikapi ini sebagai kabar baik atau buruk.
Damar menghela napas dan menarik napas dalam dan membawa Eliza ke pelukannya. Sesungguhnya Damar sendiri juga belum yakin harus bagaimana, semua ini terlalu mendadak dan tak disangka-sangka. 19 tahun mereka 'hidup' sambil belajar mengikhlaskan Alden yang entah masih hidup atau sudah meninggal, 19 tahun mereka pasrah jika harus menjalani kehidupan abadi tanpa surga dan neraka ini. Lalu mengapa setelah 19 tahun itu Tuhan mengirimkan Alden mereka?
"Sementara, cukup kita aja yang tahu ini," pikir Damar meski masih ragu-ragu apakah ketiga anaknya yang lain perlu tahu. Ah, maksud Damar dua anaknya saja, sebab Anisya entah bagaimana punya insting sejak awal bahwa Nino adalah adiknya. "Kita nggak tahu gimana respon Alin dengan sifat emosionalnya itu, jangan sampai dia merusak semuanya dengan memberi tahu Nino. Papa nggak mau Nino sampai gila karena ketakutan."
Di pelukan Damar, Eliza menganggukkan kepala setuju. Dalam posisi Nino sebagai manusia, situasi ini menakutkan.
"Tapi, Pa ...." Eliza mengangkat kepalanya dari daada Damar, dan menatap suaminya itu. "Kenapa Abrawan membunuh kita semua tapi malah merawat Alden sebagai anaknya? Dari gimana Nino menyanjung Abrawan, sepertinya Abrawan memperlakukan dia dengan baik seperti anak sendiri."
Damar menghendikkan bahu, sesungguhnya merasa malu karena ia sendiri masih serba bingung. Lagi-lagi ia tak tahu apakah merupakan sesuatu yang patut disyukuri atau tidak dengan kenyataan bahwa Alden tidak terbunuh dan hidup sebagai anak Abrawan, atau seharusnya Alden harus mati sekalian malam itu agar keluarga mereka tidak terpisah.
Tiba-tiba Eliza tak dapat membendung tangisnya lagi. Dengan air mata berderaian, Eliza mengangguk-anggukkan kepala. "Baiklah, kita nggak usah memusingkan semua itu. Bahkan jika sekalipun Nino bukan Alden, mari kita anggap dia Alden. Tuhan mungkin kasihan karena kita begitu merindukan anak kita, makanya dia mengirim pemuda itu ke sini. Kita nggak tahu sampai berapa lama dia bertahan di sini, sebaiknya ayo kita manfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya."
Damar kembali menarik lembut Eliza ke pelukannya. "Iya, ayo kita manfaatkan waktu yang ada ini sebaik-baiknya. Keluarga kita akhirnya utuh, Liz."
Dan, kalimat terakhir Damar sukses membuat tangis Eliza makin menjadi-jadi. Pasangan suami istri itu berpelukan erat, saling menguatkan.
"Mama kenapa?"
Usapan telapak tangan Damar di punggung Eliza terhenti sesaat saat suara Alin terdengar dari arah pintu kamar. Alin tak sendiri, di sebelah kanannya ada Adrian, sementara Anisya menyempil di depannya. Buru-buru Eliza memalingkan muka hanya untuk menghapus air matanya, tak ingin anak-anaknya cemas melihatnya menangis.
"Mama nggak apa-apa," jawab Eliza, sembari membubuhi wajahnya dengan sebaris senyum paksa.
"Bohong," sahut Alin pelan, tapi matanya mendelik penuh curiga. "Apa gara-gara Nino?" tebak Alin, berdasar pada orang yang terakhir Papanya temui tadi adalah Nino. Selain Nino yang terluka kena ranting pohon seperti kata Anisya, Alin yakin pasti telah terjadi hal lain.
"Enggak lah, ngapain Mama nangis karena Nino," tampik Eliza yang tak membuat aksi bohongnya terlihat lebih natural.
"Benar, bukan karena Nino?" tanya Alin memastikan. Gadis itu yakin mama dan papanya menyembunyikan sesuatu, dan Alin akan mencari jawaban itu.
"Iya," jawab Eliza meyakinkan.
"Oh ya udah. Kalau begitu, apa bisa kita mengusir Nino dari rumah kita?"
"Alindra!" tegur Damar responsif dan terlihat tak suka dengan apa yang didengarnya itu.
Teguran itu sekaligus memberi tahu Alin bahwa tangisan mamanya memang ada hubungannya dengan Nino. Dari kemungkinan banyak sebab, pikiran Alin entah mengapa langsung tertuju pada pernyataan Anisya bahwa Nino terluka dan lukanya tidak bisa hilang. Pasti ada sesuatu dibalik luka yang tak bisa menghilang itu.
"Seingat Papa, kita sudah selesai membahas masalah itu. Jangan pernah mengungkit-ungkitnya lagi. Nino nggak akan diusir dari rumah ini," lanjut Damar tegas.
"Tapi aku masih belum mengerti kenapa Papa harus sepeduli itu dengan orang asing."
"Nino bukan orang asing, dia itu adik kamu."
"Pa!" Giliran Eliza yang menegur. Ia menatap suaminya dengan tidak percaya, sebelumnya mereka telah bersepakat untuk menyimpan 'dugaan' itu sendiri sampai memastikan lagi bahwa Nino benar adalah Alden, anak mereka.
Namun, Adrian berdecak tak peduli. Pikirannya telah berubah. "Biar saja, mereka juga harus tahu."
"Adik?" degung Alin dengan kening berkerut dalam, penuh tanya. Ekspresi sama yang ditampakkan Adrian di wajahnya.
"Kenapa Nino tiba-tiba jadi adik kami?" tanya Adrian menyambung.
Damar dan Eliza saling lembar pandang. Tidak ada jalan mundur. Anak-anaknya bukan 'anak kecil' yang bisa dibohongi.
***
Damar Yunta sudah gila, itu pikir Nino saat Damar memelototinya seperti Nino adalah hantu, lalu lari terbirit-b***t meninggalkannya. Damar hanya bertanya tentang luka di tangan Nino tapi tidak menunjukkan itekad ingin bentu mengobatinya. Astaga, Nino ini bicara apa? Menolong apanya? Damar sendiri melantur dan berpikir luka itu seperti debu, sekali tiup hilang.
Sekarang luka ini mulai terasa nyeri, sepertinya lukanya cukup dalam melihat dari banyaknya darah yang keluar merembes dari kain yang ia bebatkan sedanya. Nino hanya berharap lukanya tak sampai infeksi sampai keajaiban yaitu tim penyelamat datang. Kendati sakitnya mulai tak tertahankan, Nino tidak boleh manja diam saja sembar merintih kesakitan. Nino harus mulai membuat bivak sebagai tempat beristirahat malam ini sebelum hari beranjak petang. Nino tak punya banyak waktu sebab langit yang semula cerah mendadak diselimuti awan mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
Nino menghela napas panjang dan mendongak menatap langit, sejak ia keluar rumah Yunta tadi pagi hingga saat ini belum ada pesawat lewat ataupun kapal terlihat. Namun Nino belum putus harapan. Nanti malam ia akan membuat api lagi dan besok ia akan membuat lebih banyak sinyal pertolongan lagi.
Jauh di tempat lain, tepatnya di Istana Kepresidenan, Daniel Wadana, sekretaris Presiden itu berlarian di sepanjang selasar dengan pilar-pilar bulat tinggi yang menuju ruang istirahat sang presiden. Dia membawa kabar baik yang sedang ditunggu-tunggu sang presiden.
Saking ingin presiden segera tahu, Daniel sampai lupa mengetuk pintu. Membuat Abrawan menoleh marah karena dikejutkan. Namun, Daniel tidak memberikan kesempatan Abrawan memarahinya.
"Pak, ada kemungkinan Nino masih hidup," ujarnya di sela napas yang terenggah-enggah.
Tidak ada jingkrakan senang, Abrawan sangat tenang karena sejak awal ia sudah meyakini itu.
Daniel kemudian melanjutkan. "Saya baru dikabari kalau satelit menangkap objek sinyal pertolongan di satu pulau tidak berpenghuni yang jaraknya 5 mil dari lokasi jatuhnya pesawat. Tim penyelamat akan segera ke lokasi begitu cuaca memungkinkan."
"Suruh mereka berangkat sekarang."
"Tapi, Pak, cuaca—"
"Jangan kasih saya kabar yang masih 'mungkin', bawa Nino ke depan saya."
Arman Abrawan tidak pernah salah, setiap ucapannya adalah titah. Sekali lagi dia hampir membuktikan itu. Saat dia bilang Nino masih hidup, maka Nino harus hidup.