Anisya benar, luka di lengan Nino tak kunjung hilang padahal sudah cukup lama waktu berlalu sejak Damar mendatanginya. Nino merawat lukanya sendiri dengan membebatnya menggunakan kain yang diambilkan Aniya dari rumah. Sungguh Damar bingung bagaimana harus mencerna situasi ini.
Seharusnya luka Nino langsung hilang seperti saat dia terluka ditusuk oleh Alin. Pasti ada alasan mengapa lukanya kali ini tak kunjung hilang. Yang meragukan lainnya adalah Nino terlihat seolah tidak merasakan sakit, dia tetap melanjutkan kegiatannya mengumpulkan daun-daun untuk membuat tanda S.O.S raksasa sesuai rencananya. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah arwah seperti mereka tidak bisa luka dan berdarah?
Nino berkacak pinggang, tampak puas meliht hasil pekerjaannya. Pemuda itu sungguh berharap tanda ini akan berguna.
"Tanda yang bagus," ujar Damar, melangkah mendekati Nino. Dia berjalan mengelilingi tanda raksasa itu, sambil melanjutkan, "meskipun nggak yakin apakah mereka akan melihatnya."
Nino menghela napas, makin hilang respeknya terhadap Damar Yunda. "Permisi, saya nggak pernah minta bantuan atau dukungan Anda buat cari jalan keluar. Jadi tolong, sebaiknya jangan mengatakan sesuatu yang akan mematahkan sangat saya."
"Baiklah, maaf maaf." Damar tertawa kecil dengan kepala manggut-manggut, sesaat kemudian dia telah berdiri berhadapan dengan Nino. "Apa lukamu beneran belum hilang?" tanya Damar, dengan asal menyentuh luka yang terbebat kain tersebut. Dan seketika membuat Nino mengerang karena sentuhan Damar menekan kuat.
"Jadi beneran belum hilang?" tanya Damar lagi seolah tak percaya.
Nino menahan sebal. "Tadinya udah hilang, nggak sakit lagi. Tapi setelah Anda tekan barusan, sekarang sakit lagi."
"Bagaimana bisa belum hilang juga? Ini sudah lama sekali."
Nino menghela napas, sama sekali tak mengerti maksud Damar. "Pak, di mana-mana luka butuh waktu buat sembuh. Nggak bisa instan. Aneh banget, masa begitu saja Anda nggak tahu, memangnya Anda nggak pernah terluka? Tadi juga Anisya tanya begitu terus," degus Nino mulai sewot.
Hal itu baru menyadarkan Damar bahwa luka di kaki Nino yang sudah ada sejak mereka menemukannya terdampar di pantai juga belum sembuh. Damar semakin bingung. Seharusnya jika mereka sama-sama arwah maka Nino tak ada bedanya dengan keluarga Yunta lainnya. Damar menggeleng-gelengkan kepala cepat, berusaha menepis sebuah pikiran yang melintas. Memang akan lebih mudah menganggap Nino mungkin saja bukan lah arwah, melainkan manusia. Namun itu sangat tidak mungkin. Sebelum Nino datang, tidak pernah ada satu pun manusia yang bisa melihat keluarga Yunta.
"Baiklah, mungkin siklusmu memang lebih lama daripada kami," gumam Damar yang lagi-lagi tidak Nino mengerti, makanya Nino memutuskan untuk tidak menghiraukannya.
"Selain karena ayahmu adalah Presiden, apa yang membuat kamu seyakin itu bisa keluar dari sini?" tanya Damar, sembari mendudukkan tubuh di hamparan pasir pantai. Mendapati Nino hanya menatapnya dengan alis terangkat, Damar memveri isyarat agar Nino bergabung duduk di sebelahnya.
"Bukankah harapan baru berlaku kalau dibarengi sama keyakinan?" jawab Nino, meluruskan kaki selonjoran dengan kedua tangan bertumpu di belakang. "Nggak ada alasan khusus. Lagipula, yang mereka cari pasti bukan saya saja. Ada ratusan orang di dalam pesawat yang gagal mendarat di air itu, mereka pasti sibuk juga mencari mereka semua. Papa bukan orang egois yang hanya mementingkan urusan pribadinya.
"Bukan orang egois yang mementingkan urusan pribadinya ... menarik."
Nino sontak melirik Damar, tidak suka dengan nada sindirannya. Berhubung Damar telah menyinggungnya, maka Nino harus mengangkatnya sekalian. Padahal Nino tadi sudah tidak terlalu peduli. "Anda bilang akan menjelaskan semuanya ke saya, mana? Dari tadi Anda cuma diam dan malah melantur. Anda sebenarnya nggak pernah ingin menjelaskan apa-apa, kan? Atau malah sebenarnya memang nggak bisa menjalaskan apa-apa. Termasuk bagian papa saya, tentang mengapa Anda membenci dia."
"Kamu yakin siap mendengarnya?"
Nino mendengus. Damar ternyata tak lebih dari haters seperti di luaran sana, tong kosong yang bisanya hanya berisik. "Saya paham, seharusnya dari awal saya nggak terlalu serius menanggapi Anda."
Dapat menangkap respon dingin dan sinis Nino, Damar menambahkan, "pandanganmu tentang Papamu mungkin akan berubah setelah kamu mendengarnya."
"Baikalah, coba saja," tantang Nino tanpa ragu tapi tak terlalu berharap pula. "Saya yakin saya lebih mengenal Papa lebih dari siapapun. Sebagai pejabat, kebijakan-kebijakan Papa mungkin tidak dirasakan asil buat semua orang. Papa memimpin sebuah Negara besar dengan ratusan juta rakyat, bagaimana mungkin Papa bisa memuaskan semua orang, bukan? Saya sudah sangat terbiasa dengan orang-orang yanh membenci Papa, dari yang masih dalam batas wajar, menunjukkan terang-terangan seperti Anda, sampai berupa teror sekalipun. Tapi rasa cinta dan bangga saya pada Papa tidak pernah berubah karena saya tahu pada dasarnya Papa adalah orang baik."
"Semua orangtua pasti hanya melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka, kamu darah dagingnya."
"Tapi aku bukan anaknya," sambar Nino, menoleh pada Damar yang kini terpaku dengan wajah kaku. "Saya bukan darah daging Arman Abrawan," tambah Nino.
Tidak banyak orang yang mengetahui kenyataan itu, saking sayangnya Abrawan terhadap Nino. Abrawan merawat dan membesarkan Nino seperti anak kandungnya sendiri. "Anda pasti nggak nyangka, kan?" Nino tersenyum miring, puas berhasil membungkam Damar. "Saat saya umur 17 tahun, Papa baru memberi tahu kalau saya bukan lah anak kandungnya. Awalnya saya kira perasaan saya akan berubah mengetahui itu dan menganggap kebaikan Papa selama ini hanya karena kasihan, tapi ternyata enggak. Perasaan sayang dan hormat saya tidak berubah sedikit pun karena Papa menyayangi saya dengan tulus, sebagai ayah ke anaknya sendiri."
Damar menelan ludah dengan susah payah. "Kamu ... Bukan anak kandung Arman Arbrawan?" tanya Damar, padahal baru saja Nino menjelaskan panjang lebar. "Benarkah?"
Nino tertawa mengejek. "Kenapa Anda terkejut sekali? Apa karena Anda tidak menyangka penjahat yang Anda bilang itu ternyata bisa memungut anak terlantar untuk dijadikan anak—" Nino terkesiap saat tahu-tahu Damar mendorongnya dan berusaha menaikkan bajunya. "Apa-apaan ini? Anda mau ngapain?"
Teriakan dan rontaan Nino sama sekali tak digubris oleh Damar yang saat ini sedang kalut luar biasa. Ia menyingkap baju Nino ke atas dan mengangkat lengan pemuda itu agar bisa melihat ketiaknya hingga membuat Nino risih dan terpaksa mendorongnya. Sebelum terdorong, Damar masih sempat melihat tanda lahir gelap sebesar kurang lebih 5cm di dekat ketiak Nino.
"Sejak kapan kamu punya tanda itu?"
Nino berdecak sebal, merapikan bajunya lagi. "Tentu saja sejak lahir."
Deg! Damar terduduk di atas pasir pantai yang panas dengan tatapan nanar, lurus ke arah Nino. "Nggak mungkin ...," gumamnya sangat pelan hingga menyerupai seperti bisikan. "Seharusnya tanda itu cuma ada ada badan Alden. Ini pasti hanya kebetulan, kan?"