"Jadi sekarang tahun 2021?"
Nino hanya mengangguki tingkah aneh Adrian dengan kernyitan di kening.
"Terus-terus, ada apa lagi?"
Plak! Pertanyaan antusias Adrian tercekat lantaran kepalanya dipukul oleh Alin, Adrian berteriak antara sakit dan marah, tapi Alin tampak sama sekali tidak merasa bersalah. "Memangnya kenapa kalau sekarang tahun 2021? Toh ki—"
"Ya ya ya, toh kita nggak akan bisa kembali ke tahun itu," potong Adrian yang dapat menebak persis apa yang akan dikatakan Alin. Lantaran saking seringnya Alin mencibir tiap kali Adrian bertanya-tanya bagimana dunia yang telah mereka tinggalkan. Menurut Alin, tidak ada gunanya penasaran atas sesuatu yang tak berhubungan dengan kehidupan mereka saat ini.
"Nah, itu tahu," timpal Alin.
Adrian memutar bola mata malas. "Kalau bagimu itu nggak penting, pergi aja sana, nggak usah didengar."
"Dih, ngatur-ngatur," cibir Alin acuh tak acuh.
Sementara kedua adik dan kakak itu saling mendengus, ada sesuatu yang juga membuat Nino penasaran. "Terus-terus?"
Ditanyai begitu, Nino bingung harus menjawab apa karena Adrian sejak tadi selalu heboh dan terpukau untuk hal-hal sepele yang Nino ceritakan. Seperti adanya teknologi bernama ponsel yang multifungsi, gak hanya bisa digunakan untuk telepon dan bertukar SMS saja, melainkan bisa menonton TV, mendengar radio, memutar musik, bermain game, dan hal-hal yang anehnya sama seperti sama sekali tidak keluarga ini ketahui. Mereka juga sempat tidak percaya saat Nino mengatakan belum TV di rumahnya tidak cembung dan besar seperti yang ada di rumah ini, TV di rumahnya hanya setipis ibu jari orang dewasa dan ada ratusan channel di sana dari dalam dan luar negeri.
Pun ketika Nino cerita bahwa mall saat ini biasa dibilang hampir ada di tiap sudut kota Jakarta. Semua hal di sini benar-benar membuat Nino bingung. Nino seolah memasuki portal waktu dimana dirinya ada di masa lalu, tetapi Nino tahu itu tidak mungkin. Yang seperti itu hanya terjadi di film-film atau buku fiksi.
"Kalau boleh tahu, kalian sudah tinggal di sini berapa lama?" Kini giliran Nino yang bertanya.
"Nggak tahu, lupa. Pokoknya sangat lama," jawab Adrian.
"Dan selama itu kalian nggak pernah keluar dari pulau ini?"
"Enggak lah, mana bisa kami keluar."
Nino mengernyit dalam. "Beneran? Ke kota terdekat gitu?" tanya Nino makin penasaran. "Ini pulau apa, sih, namanya? Ada di daerah mana?"
"Nggak ada yang tahu ini di daerah mana. Berhubung di sini cuma ada kami berlima, eh sekarang berenam sama kamu, kami sebut pulau ini pulau Yunta. Pulau keluarga kami. Eh tapi nama kamu bukan Yunta, ya?" Tahu-tahu Adrian menepuk pundak Nino dengan bersahabat. "Tenang aja, mulai sekarang kamu bagian dari keluarga Yunta kok. Nino Yunta."
"Nino Yunta," gumam Nino merasa aneh sebab seumur hidup ia selalu menyebut namanya sebagai Clevonino Abrawan.
Kepala Nino serta merta menoleh ke sekeliling, melihat pohon kelapa yang mengelilingi rumah sederhana ini. Benarkah di sini hanya ada mereka berenam saja? Bagaimana bisa dan bagaimana mereka bertahan sampai selama ini?
"Kalian apa nggak ingin keluar dari pulau ini? Sesekali main ke kota, mungkin?" tanya Nino lagi.
Embusan napas lemah keluar dari mulut Adrian, bersamaan dengan perubahan ekspresi wajahnya yang tak lagi tampak bersemangat. "Pastinya, sih, ingin. Sayangnya nggak bisa."
"Kenapa gitu?"
"Takdir."
Nino sempat pernah dengar konsep hidup naturalis, dimana mereka meninggalkan tempat asal dan memilih hidup di alam dan menjauhi moderenitas. Mungkin keluarga Yunta ini adalah bagian dari mereka. Jika ditilik dari kepolosan Adrian dan Alin, sepertinya mereka tak punya banyak kenangan tentang tempat tinggal mereka terdahulu. Bahkan untuk Anisya, Nino rasa dia lahir di sini. Ya, Nino tidak bisa menyalahlan pilihan hidup orang lain. Hanya saja agak menyayangkan bahwa Yunta dan istrinya mengajakserta anak yang masih kecil-kecil, yang mana anak-anak tersebut punya hak untuk menentukan mau hidup di mana dan seperti apa. Jika sudah dijauhkan dari dunia sejak diri dan tidak mendapat pendidikan sebagaimana anak seusia mereka, maka sampai mati kehidupan mereka mungkin akan tetap seperti ini.
Jujur saja, Nino sangat kasihan pada mereka. Mereka harusnya tahu betapa asyiknya sekolah dan punya banyak teman, makan burger dan ayam goreng di mall, memiliki gadget canggih impian, dan segala hal yang tak akan pernah mereka rasakan di pulau ini.
Rasanya Nino ingin sekali mempengaruhi agar Adrian lebih berani melawan, memperjuangkan haknya. Bahwa takdirnya bisa diubah. Namun Nino tak berani membuat kesibutan di keluarga orang, setelah mereka menyelamatkannya dari kematian.
"Terus-terus bahan-bahan makanan kalian dapat dari mana? Kayak beras dan lauk pauk yang kita makan tadi?" Belum habis pertanyaan Nino dan malah makin lama makin banyak hal yang membuatnya penasaran.
"Aduh, tanyaaa terus," keluh Alin dengan nada kesal. "Kenapa mesti repot-repot mikirin makanan dari mana? Tinggal makan aja apa susahnya? Tenang aja, tinggal di sini kamu nggak perlu takut mati kelaparan. Kita nggak bisa mati di sini."
"Banar, No," timpal Adrian yang tumben-tumbennya satu pemikiran dengan Alin. "Aku tahu pasti banyak yang kamu bingungkan. Pelan-pelan aja dipahami sendiri semuanya, nanti kamu juga akan mengerti dan terbiasa sama kehidupan di pulau ini."
Nino menggeleng pelan. "Pasti ada cara keluar dari sini," gumam Nino, berusaha agar tak terdengar menyepekan tempat ini.
Sedikit pun ia tidak berniat untuk membiasakan diri tinggal lama di pulau ini. Disuruh membiasakan diri, kesannya Nino disuruh pasrah saja terima nasibnya terdampar di sini. Tidak, Nino punya kehidupan di luar sana, ia punya keluarga yang pasti saat ini sedang mencarinya. Yang harus Nino pikirkan adalah bagaimana caranya mencari bantuan sehingga ia bisa pulang.
Alin tertawa keras. "Bahkan sekalipun kamu punya sayap buat terbang atau insang buat berenang, kamu tetap ggak akan bisa ke mana-mana karena semua yang sudah masuk ke pulau ini nggak akan bisa pergi."
"Kenapa begitu?"
"Ya, memang takdirnya begitu."
"Itu takdir kalian, bukan takdirku." Nino terpengaruh dan bereaksi defensif. "Pasti ada cara. Pesawatku jatuhnya pasti masih di sekitar perairan ini. Tim penyelamat pasti akan menyisir pulau-pulau sekitar, termasuk ke pulau ini. Aku pasti bisa pulang dan berkumpul lagi sama keluargaku."
"Kamu nggak akan pernah bisa berkumpul lagi sama keluargamu."
Tanpa sadar Nino mengepalkan tangan, seiring napasnya mulai berat menahan emosi lantaran merasa disumpahi oleh Alin. "Aku beda dengan kalian. Kalian mungkin udah terdoktrin, tapi aku enggak. Aku pasti bisa keluar dari pulau ini, lihat saja nanti."
"Tsk ... tsk ... tsk ...." Alindra geleng-geleng pelan dan menatap Nino prihatian. "Ternyata kamu belum sadar juga, ya? Kamu itu udah ma—"
"Alin, bisa nggak semua orang nggak diajak berantem?" Suara Damar Yunta dari kejauhan terdengar. Tampak dia tengah berjalan sambil menenteng ikan-ikan yang dirangkai di janur kelapa, bersama Eliza dan Anisya di belakangnya. Mereka baru pulang dari memancing ikan.
"Adiiik," seru Anisya, bocah itu melepaskan tangan dari gandengan sang ibu dan berlari menyongsong Nino dengan tak sabaran.
Nino mendesah pendek. Ini lagi, anak kecil tapi memanggilnya adik. Aneh, pikirnya. Namun Nino berusaha ramah dan bersikap baik karena Anisya hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa. "Hai," sapa Nino saat Anisya telah berdiri di depannya, lengkap dengan senyum manis yang lebar. Menggemaskan. Siapapun tidak akan tega ketus pada gadis kecil manis ini.
"Ini buat adik." Anisya mengeluarkan sebuah cangkang keong laut bercorak unik. Ukurannya sekitar satu ruas jari jempolnya, dengan d******i warna putih dan bintik-bintik kebiruan.
"Ini buat aku?" Nino menerima cangkang keong tersebut meski tidak tahu harus digunakan untuk apa. Ia pemuda 19 tahun, mana mungkin ia mengerti maksud anak kecil seumur Anisya.
"Iya, ini buat Adik," jawab Anisya dengan suara kekanakannya yang khas.
"Ah ... Iya, terima kasih." Nino terima saja cangkang keong tersebut semata-mata agar tidak melukai hati Anisya, meski nanti akan membuangnya.
"Iya, sama-sama."
Tiba di teras rumah, tempat anak-anaknya berkumpul, Damar langsung berkacak pinggang. "Alin kamu pasti senamg sekali, kan, ada Nino? Jadi yang kamu ajak bertengkar bukan Adrian melulu."
"Apa sih, Papa ini, kayak aku kesannya suka ribut."
"Emang, kan?" celetuk Adrian yang langsung dihadiahi pelototan tajam oleh sang kakak, tapi Adrian hanya melengos tak peduli.
"Aku tuh kesal bukan tanpa alasan, Pa. Kalau mereka benar dan pintar, ya masa aku aku marahi?" Alin berusaha membela diri. "Si gendung tuh, aduh makan terus bisanya. Terus si penghuni baru ini, dia bebal banget dikasih tahu nggak bisa keluar dari pulau ini. Dia nggak bisa melepas kehidupannya yang dulu."
Nino baru buka mulut hendak meluruskan pemikiran Alin tentangnya. Namun, keduluan oleh Eliza yang menengagi. "Maklumi dulu, Lin. Dulu awal-awal kita kan juga begitu."
"Saya nggak ngerti apa maksudnya saya nggak bisa keluar dari pulau ini?" Nino menyuarakan kebingungannya untuk kesekian kali. Barangkali dua orang dewasa di sini bisa memberinya pencerahan.
Sesaat Damar dan Eliza saling berpandangan, lalu sama-sama memberi Nino seutas senyum kecil. "Tentu saja bisa," jawab Eliza yang benar-benar mencerahkan.
Namun, kalimat selanjutnya dari Damar, kembali membuat Nino kebingungan. "Hanya saja, kita nggak tahu ditempatkan di mana kita setelah keluar dari sini."
"Apa maksudnya?" tanya Nino menatap pasangan suami istri tersebut bergantian, sementara Alin dan Adian sama-sama acuh tak acuh. "Apa maksudnya nggak tahu ditempatkan di mana? Tentu saja, saya akan pulang ke rumah. Rumah saya di Jakarta. Kembali keluarga saya."
"Kamu akan seger mengerti sendiri, Nino." Sekali lagi Damar tersenyum menenangkan. "Sekarang, selagi kamu masih ada di sini, jalani aja apa yang ada. Jangan merasa asing hanya karena kamu pendatang baru dan bukan anakku. Mulai sekarang, kamu bagian dari keluargaku. Kamu boleh anggap aku dan dia sebagai orangtuamu.
"Siapapun yang tinggal di sini, artinya dia bagian dari keluarga Yunta."
*
"Aku kasihan sama anak itu," gumam Eliza, tak fokus membersihkan ikan lantaran perhatiannya terbagi ke arah Nino yang tengah melamun di atas batu besar di tengah ladang kentang mereka.
Damar turut menoleh ke arah pandangan Eliza. "Biar saja, dia masih dalam tahap belajar menerima kenyataan," ucap Damar.
Usai pembicaraan di teras beberapa saat lalu, Nino langsung menarik diri dan menyendiri. Dia tidak bisa terima dibilang tidak akan bisa berkumpul lagi dengan keluarganya di rumah mereka.
Waktu berlalu. Dulu pun Damar dan Eliza nyaris gila berusaha mencerna semuanya. Segala hal mereka lakukan agar bisa 'pulang', sempat Damar mencoba berenang menyeberangi laut untuk mencari bantuan. Ia rasa-rasanya sudah berenang sangat lama, tapi ternyata Damar hanya berenang mengelilingi pulau saja. Apakah Damar menyerah? Tentu saja tidak. Ia berenang setiap hari, hingga mereka sadar rumah mereka saat ini ya di sini.
Mereka menyadari itu saat mendapati isi kuali tanah liat tempat Eliza biasa menyimpan beras tidak pernah berkurang isinya meski diambil setiap hari, pun dengan bahan makanan masakan di dapur mereka. Lalu ditambah dengan adanya nelayan terdampar tapi mereka tak bisa melihat keluarga Yunta, tak peduli sekeras apapun mereka berteriak. Hal lainnya adalah tubuh Alindra, Adrian, dan Anisya yang berhenti berkembang. Pun dengan Damar dan Eliza yang tak bertambah tua hingga sekarang. Umur merela berhenti di angka saat mereka mati.
Seiring berjalannya waktu, Nino pasti akan mengerti dengan sendirinya dan mau tak mau harus terima kenyataan.
Eliza mendesah dengan pandangan masih tertuju pada Nino. "Dia pasti sangat sedih karena harus pisah sama keluarganya, aku nggak bisa bayangin gimana sedihnya keluarga dia kehilangan pemuda seganteng itu. Dari mata dan tutur katanya, aku bisa tahu kalau dia pemuda yang cerdas. Kita kayaknya sedikit lebih beruntung karena masih bersama-sama ya, Pa?"
"Iya," desah Damar. "Seenggaknya Alin, Adrian, dan Anisya masih sama kita. Dan berharap di sana, Alden dikelilingi oleh orang-orang baik yang menyayangi dia." Damar dan Eliza percaya Alden masih hidup lantaran jika Alden meninggal bersama mereka malam itu, maka Alden akan di sini bersama mereka.
Setiap kali teringat si bungsu, pasangan itu sama seperti pasangan orangtua lain yang sedih harus dipisahkan dari anak mereka. Setiap hari mereka hanya bisa berharap-harap, sembari membayangkan bagaimana rupa si bungsu Alden Yunta kalau sudah tumbuh besar. Saat bayi dulu dia sangat mirip dengan Alin, apakah saat ini dia juga masih mirip Alin atau lebih mirip saudaranya yang lain. Yang jelas, dia pasti tumbuh tinggi, mewarisi gen tinggi dari Damar, kulit putih Eliza, dan otak ceras seperti Damar, serta jiwa penuh empati Eliza. Kata orang-orang, biasanya anak bungsu memiliki segala yang terbaik yang dimiliki orangtuanya.
Ah ... Damar dan Eliza sangat merindukan Alden.
"Alden kita menurutmu sudah sebesar apa sekarang?"
Damar kembali mendesah. Jika menurut Nino tadi sekarang adalah tahun 2021, maka umur Alden harusnya sudah 19 tahun. "Mungkin seperti dia," jawab Damar, melempar pandangan ke arah Nino yang kini tampak menangis dari kejuahan.
"Menurutku juga begitu." Eliza sedikit memiringkan kepala, entah mengapa tatapannya sulit dialihkan dari Nino. "Mama tahu ini salah, tapi sejak Nino di sini, Mama seolah merasa keluarga kita utuh lagi."
Diam-diam Damar pun merasakan hal sama. Meski begitu, sampai kapanpun, posisi Alden di hati mereka tidak akan pernah bisa digantikan oleh siapa-siapa.