01 | Kelahiran Alden, Ulang Tahun Nino

1552 Words
2002 Lampu di rumah itu masih menyala, sementara rumah-rumah sekitarnya sudah padam. Suara erangan dan jeritan tertahan terdengar dari salah satu kamar, dimana seorang Ibu sedang mempertaruhkan nyawa untuk mengantar anaknya lahir ke dunia. Seorang bidan memberi instruksi kapan si Ibu harus tarik napas dan dorong dengan sangat sabar dan telaten. Di sebelahnya, sang suami merelakan tangannya dicakar-cakar sang istri sebagai pelampiasan rasa sakit. Tidak apa-apa, besok baret bekas cakaran itu pasti sudah mengering. Rasa perihnya sama sekali tidak sebanding dengan perjuangan sang istri dan kebahagiaan mereka nantinya. Wanita hebat ini sudah memberi dia empat orang anak. "Pokoknya ini yang terakhir ...," erang Eliza, istri Damar, sambil menjambat rambut suaminya itu. "Kalau kamu masih mau anak lagi, kawin saja sama kucing ...." Sontak Damar dan Bu Bidan tertawa geli. Damar pun mengecup kening penuh peluh Eliza. "Iya iya, ini yang terakhir. Aku janji." Eliza merespon dengan erangan panjang, gelombang sakit ditubuhnya makin tak tertahankan. Orang-orang bilang, proses persalinan anak pertama lah yang paling susah, sementara anak kedua dan berikutnya lebih mudah karena sang Kakak sudah membuatkan jalan. Namun, itu tidak terjadi pada Eliza. Persalinan pertama hingga ketiga dirasanya sama saja, ia harus melewati belasan jam menghitung kontraksi sebelum mereka lahir. Sementara yang keempat ini, lebih lama dan lebih menyakitkan lagi. Damar menyusap keringat dan air mata Eliza dengan handuk di atas kepala Eliza. Mereka tidak sadar, sebuah sepasang mata bulat mengintip dari balik kusen pintu. "Hua ... Mama ...." Sontak ketiga kepala itu menoleh ke arah si bungsu yang sebentar lagi jadi kakak itu. "Alin!" seru Damar memanggil anak pertamanya, tak lama kemudian tubuh kecil Anisya digendong oleh sang Kakak menjauhi kamar. Alin mendudukkan Anisya yang masih menangis di sebelah adik keduanya yang tengah asyik menonton TV sambil memakan buah pisang. Dengan cepat, Alin menyambar pisang dari tangan Adrian dan mengenggamkannya di tatangan mungil Anisya. Adrian melotot protes, pipinya yang sudah tembam, makin bulat karena sisa pisang yang belum terkunyah. Tetapi Alin sama sekali tidak menghiraukannya. "Anisya, udah, diam. Makan aja pisangnya." "Hua ...," Anisya malah menangis makin kencang. "Mama sakit, Mama nangis hua ...." "Iya, Mama lagi sakit. Tapi nggak apa-apa. Kalau kamu nangis terus, nanti jempol kaki kamu digigit tikus, mau?." "Huaaa nggak mau...." Tangisan Anisya makin menjadi-jadi. "Alin, adiknya dijaga!" Alin berdecak antara tak sabaran dan jengah. Ia kesal, kenapa harus dirinya yang jadi anak sulung. Setiap kali adiknya menangis, yang ditanya kenapa dan disuruh menenangkan pasti Alin. Sementara dua adiknya bisa bermanja-manja. Lihat saja si Adrian, badannya gempal karena hanya Alin yang disuruh-suruh. Kerjaan Adrian hanya nonton TV dan makan. Sedangkan Anisya, cengengnya minta ampun. Adiran melirik sang kakak sambil geleng-geleng kepala, ia lalu mengelus punggung Anisya dan berkata lembut, "Mama nggak apa-apa, kok, Dek. Adek jangan ikutan nangis, ya, nanti Mama makin sakit. Adek nggak mau Mama sakit, kan?" Perlahan rauangan Anisya berubah jadi isakan pelan. Sambil mengusap air mata dengan lengan, kepalanya mengangguk, membuat tirai poni di keningnya ikut bergerak. Adrian tersenyum. "Ya udah, tunggu di sini aja, ya." Usai berhasil menenangkan Anisya, Adrian melirik Alin dengan dagu terangkat bangga. Sejurus kemudian, suara tangis bayi terdengar ke seluruh penjuru rumah. Ketiga bersaudara itu tersentak dan seketika berlari ke kamar Mama mereka. Senyum lebar Damar menyambut mereka, Damar melambaikan tangan, menyuruh mereka bertiga menyapa anggota keluarga baru di keluarga mereka. Anisya menjadi yang paling antusias, dia menatap takjub makhluk kecil kemerahan di d**a mamanya. "Cewek lagi ya, Pa?" tanya Adrian. Sementara Alin sudah biasa saja, dia sudah dua kali melihat adik lahir. "Cowok, dong," jawab Damar bahagia. "Jadi keluarga kita pas, ada tiga cowok, sama ada tiga cewek." "Yes!" Adrian berseru senang sekali. Akhirnya dia punya sekutu saudara sesama laki-laki, dan ada yang diajaknya main mainan laki-laki. Selama ini mainannya kebanyakan boneka dan apa pun yang berhubungan warna pink lantaran kakak dan adiknya perempuan. Eliza berusaha tertawa dengan sisa-sisa tenaganya. Ia memandangi wajah anaknya sekali lagi. "Mirip banget sama Alin waktu baru lahir. Iya, kan, Pa?" "Iya, nanti gedenya pasti mirip Papa, kayak Alin yang dibilang Papa versi cewek." "Emang siapa yang bilang Kak Alin itu cewek? Bukannya cowok—" Pletak! Adrian mengaduh kencang saat kepalanya tiba-tiba dijitak dari belakang oleh Alin. "Udah, udah," Damar melerai sebelum terjadi keributan makin besar. Biasanya Adrian akan protes memang salah pertanyaannya dimana. Dengan potongan rambut pendek, memakai celana pendek dan kaos anak laki-laki, memang banyak yang mengira Alin adalah laki-laki. "Alin, berapa kali Papa bilang jangan pukul sembarangan kepala adiknya. Dinasehati aja pelan-pelan," Damar mengingatkan, sementara yang diingatkan hanya memutar bola mata. "Nama adik siapa?" suara manis Anisya mengalihkan perhatian Damar. Sesaat Damar dan Eliza saling lempar pandang, seolah menyepakati sesuatu. "Namanya Alden. Alden Yunta." *** 2021 "Happy birthday to you, happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday, happy birthday Nino...." Iringan lagu ulang tahun itu disusul dengan suara letupan confetti popper di sebelah kanan dan kiri lelaki tanggung yang duduk di depan sebuah kue ulang tahun dengan angka 19 di atasnya. Setelah Nino meniup lilin, empat orang staff istana kepresidenan itu pun bertepuk tangan, memberi ucapan selamat atas pertambahan umur Nino. Selama sembilan belas tahun hidupnya, rasa-rasanya baru kali ini Nino meniup lilin ulang tahun tanpa ditemani sang ayah. Beberapa tahun lalu, sebelum ibunya meninggal, setidaknya Nino akan melakukannya ditemani dia jika ayahnya ada dinas ke luar kota atau luar negeri. Namun, Nino bisa memahami kesibukan ayahnya karena Ayah Nino bukan ayah biasa. Jika ayah-ayah lain hanya mengurus keluarganya saja, maka Ayah Nino mengurus hayat satu negara. Nino ingin sehebat ayahnya suatu hari nanti. "Terima kasih, semua," ujar Nino setulus lagi, lalu mengajak mereka sarapan bersama. "Bagaimana bisa kamu sarapan tanpa menunggu Ayah?" Seketika Nino tersentak ke arah sumber suara. Lelaki tua yang cara jalannya tidak lagi bisa tegak itu berjalan menghampiri Nino dengan senyum kebapaan mengembang di wajah keriputnya. "Ayah!" Inilah kejutan yang sesungguhnya. Nino menubrukkan badannya dengan badan sang Ayah, bisa Nino rasakan tepukan-tepukan mantap di punggungnya. "Bukannya Ayah seharusnya masih di Dubai?" tanya Nino tak menyangka. "Mana mungkin Ayah membiarkan anak kebanggan Ayah melewati hari ulang tahunnya sendirian." Pasangan Ayah dan anak itu lalu kembali berbagi pelukan sambil tertawa-tawa. Nino melewati hari pertama sebagai lelaki berusia 19 tahun dengan hangat. Ayahnya tidak memberi banyak wejangan, hanya menyuruh Nino memanfaatkan masa mudanya sebaik mungkin. Kalau bisa jangan cuma sibuk di bangku kampus. Ikutlah organisasi, cari banyak relasi, dan kenali apa yang betul-betul ia inginkan. Ayahnya tidak pernah menyuruh Nino agar mengikuti jejaknya sebagai politikus, seperti kebanyakan politikus di luaran. Justru itu lah yang membuat Nino tertarik belajar ilmu politik di kampusnya, serta selalu update berita-berita perpolitikan di seluruh penjuru dunia. "Jadi, Ayah baru pulang, kamu sudah akan pergi?" Nino tertawa pelan, meningkahi nada merajuk ayahnya. "Ya, begitu lah." Barusan Nino bercerita bahwa besok ia akan berangkat ke salah satu daerah pelosok di Indonesia Timur untuk mengikuti program mengajar dari sebuah organisasi. Keberangkatan Nino cukup mendadak, ia dijadwalkan baru akan berangkat empat bulan lagi. Namun, karena ada satu orang yang mengundurkan diri, Nino langsung mengajukan diri ketika ditanya siapa yang sudah siap berangkat. "Pesawat jam berapa?" "Jam 10 pagi." Presiden Arman Abrawan mengangguk mengarti. "Baiklah. Jaga dirimu baik-baik, Ayah yakin kamu akan melihat banyak hal tidak terduga selama di sana." *** "... nomor pesawat IA-199 berangkat dari Bandara Seokarno Hatta dengan tujuan Bandara Haluoleo, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, hilang kontak pada pukul ssebelas waktu Indonesia barat. Pesawat tersebut membawa total 122 penumpang, termasuk satu pilot dan empat belas awak kabin. Salah satu dari daftar penumpang diketahui adalah Clevonino Arman Abrawan, Putra Presiden Arman Abrawan yang sedianya ...." Arman Abrawan masih bisa tenang saat menerima laporan sebuah pesawat komersial hilang kontak, sebelum ia tahu anaknya termasuk penumpang di dalam pesawat itu. Ia langsung membatapkan seluruh jadwalnya. Sesaat ia lupa bahwa dirinya adalah kepala negara, untuk beberapa saat itu, dirinya sama seperti keluarga korban lain yang cemas menanti kabar nasib anggota keluarga mereka. Abrawan sudah siap dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Berkaca dari kecelakaan-kecelakaan pesawat yang hilang kontak di kawasan perairan, tidak ada yang bisa diselamatkan, kecuali puing-puing badan pesawat, black box, dan tubuh-tubuh manusia yang tak lagi dalam keadaan utuh. Pencarian langsung dilakukan dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang ada. Tiga jam kemudian, titik jatuhnya besawat berhasil ditemukan. Waktu yang relatif singkat dan sangat melegakan tentunya. Menurut laporan, kondisi pesawat tidak meledak di udara. Badan pesawat masih utuh namun tenggelam di kedalaman 20 meter di bawah permukaan laut. "Bagaimana?" tanya langsung Abrawan ketika asistennya berhasil menyambungkan telepon dengan kepala badan SAR nasional. Sudah belasan jam berlalu sejak lokasi pesawat ditemukan, tiap jam media melaporkan segala perkembangan dan temuan. Namun, belum ada kabar apa pun tentang Nino. "Kami masih terus melakukan pencarian, Pak. Sampai saat ini sudah ada sekitar tiga puluh lima korban yang berhasil kami evakuasi, tiga diantaranya selamat, dan--" "Anak saya," potong Abrawan, tidak ingin mendengar ulang informasi yang sudah didengarnya. "Kalian belum menemukan dia?" "Kami masih mencarinya, Pak. Anak Bapak, tubuh Clevonino tidak kami temukan di kursi yang dia duduki. Kemungkinan dia sempat berusaha menyelamatkan diri seperti tiga korban lain yang salamat. Kami juga menyisir perairan sekitar, kemungkinan korban-korban yang tidak ditemukan di badan pesawat, terbawa arus." Abrawan menganggap itu sebagai sebuah harapan, ia berharap Nino masih bertahan entah dengan cara apa dan segera ditemukan. Armawan adalah orang yang realistis, namun untuk kali ini, ia berharap adanya mukjizat. "Jangan hentikan pencarian sampai anak saya ditemukan," titah sang Presiden, sebelum menyerahkan ponselnya ke asistennya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD