Sebenarnya dari kecil, Dhiyo tidak suka berbohong. Apalagi ada suara yang sering mengatakan jika berbohong itu akan masuk neraka. Sayangnya semesta kali ini memberi celah pada dirinya, memberi kesempatan tak terduga pada dirinya, yang tidak mungkin Dhiyo sia-siakan.
Seperti yang dia bilang, pertemuan mereka ini tidak direncanakan sama sekali. Dhiyo bahkan masih memiliki tanggung jawab membeli durian untuk istri temannya yang tengah mengidam. Ia baik bukan? Jadi ketika ia bertemu gadis manis nan mungil ini, Dhiyo merasa ini balasan atas kebaikannya pada umat manusia. Dan lagi-lagi dengan hati lapang, kembali Dhiyo ingin berbuat baik.
Jadi dengan lancar ia berucap.
"Aku bahkan memohon supaya kamu mau aku antar dengan bayaran seliter bensin. Kamu bisa menebak aku berasal dari mana?"
Ia berkata dengan tenang, disertai tatapan matanya yang tampak teduh. Menikmati bagaimana sepasang mata indah itu berkedip. Yah, walau kelopak mata itu tampak basah, tapi di mata Dhiyo mata itu indah sekali. Bukan hanya mata, tapi hidung yang terlihat kecil dan juga bibir yang tampak mengkilat walau sempat meninggalkan jejak darah kering. Semua yang ada di wajah Echa menyapa Dhiyo dengan begitu indah.
Senyum Echa mengembang begitu saja, mendengar kalimat yang baru saja masuk ke gendang telinganya.
"Kalau gitu malam ini kita berteman."
Telapak tangan mereka saling menjabat dengan erat. Awal hubungan pertemanan yang diawali dengan senyum keduanya di bawah taburan bintang dan cahaya bulan. Lihatkan? Langit saja memberikan warna indah dengan bahu-membahu bersama bintang dan bulan. Mereka seakan menjadi saksi pertemuan sepasang manusia yang tanpa rencana ini. Mungkin mereka sama berdoa hingga langit ke tujuh, agar tak lagi ada kejadian yang tak mengenakkan terjadi pada keduanya di kemudian hari.
Jadi, pertemuan mereka ini memang sudah ditakdirkan sang pencipta. Echa kini menjadi teman Dhiyo. Awal yang bagus sekali.
Tak usah pikirkan hari esok, karena malam ini bagi Dhiyo, ia sudah cukup melihat senyum di wajah Echa. Sudah mampu menghilangkan raut sedih di wajah gadis cantik ini.
"Kita jalan lagi yuk, takut keburu malam," ajak Dhiyo sambil bangkit berdiri. Pasalnya ini sudah malam sekali, dan tak baik seorang gadis seperti Echa masih berkeliaran di luar rumah.
Echa mengangguk. Ia bangkit, naik ke motor Dhiyo. Tak lama mereka kembali berkendara.
"Pegangan yang kencang ya Cha, aku mau ngebut," titah Dhiyo ketika melihat Echa hanya memegang sedikit jaketnya.
Echa mengangguk dan memegang kencang jaket Dhiyo.
Dhiyo gemas, ia tarik lengan Echa hingga melingkar di pinggangnya.
Tentu saja Echa tersentak, tapi hanya sesaat. Selanjutnya kedua lengan Echa melingkar di pinggang Dhiyo, kala menyadari Dhiyo melajukan motornya dengan kencang, di atas rata-rata.
"Dhiyo jangan ngebut, Echa takut."
"Makanya pegangan yang kencang!"
Berhasil. Kini gadis itu memeluk Dhiyo dengan erat sambil memejamkan mata. Senyum Dhiyo mengembang. Akhirnya ia merasakan dipeluk gadis manis nan mungil bernama lengkap Alesha Izza Azahra.
Sementara di rumah Echa, tepatnya rumah Nazla yang kini dihuni oleh Echa dan Tama.
Tampak seorang lelaki yang memiliki wajah mirip sekali dengan Echa, yang tak lain adalah Tama, kakak laki-laki Echa.
Lelaki itu tengah menunggu Echa dengan tidak sabaran. Sejak Nazla menikah dan ikut suaminya ke rumah yang disebut Jono dengan sebutan istana, rumah lama Nazla dihuni Echa dan Tama. Itupun Tama sering tugas luar. Jadilah Echa tinggal sendiri di rumah Nazla. Sesekali Jono mampir jika pulang ke rumah Maknya yang tak jauh dari rumah Echa sekarang.
Seharusnya Tama pulang esok pagi. Tapi mendadak atasannya meminta ia pulang malam ini. Jadilah Tama kembali ke rumah dan ia heran tidak menemukan Echa.
Awalnya Tama pikir, Echa ke pasar malam bersama Jono, ternyata tidak. Jono sedang sibuk di toko Bunga Alina.
Tama tidak pernah segelisah ini, andai Echa hanya pergi ke mini market atau ke pasar malam bersama Jono. Tapi saat ini Tama mendengar dari Jono jika Echa pergi dengan temannya, yang Jono sendiri tidak tahu siapa, atau mungkin tidak mau memberi tahu tepatnya.
"Memang Echa tidak ngomong dia pergi kemana Jono?"
Tama sungguh kesal luar biasa. Sejak tadi ia mondar-mandir di depan rumah. Khawatir jelas, karena Tama tahu adiknya ini tidak pernah pulang selarut ini.
Sementara seorang lelaki dengan tubuh tinggi kurus dan rambut diikat ke belakang mengangkat bahu.
"Eike gak tahu babang tampan. Si mungil cuma bilang mau ada perlu."
Aslinya Jono bohong.
Ya iyalah, mana berani ia berkata jujur sama Tama. Dia takut kena bogem. Secara Tama ini sering sekali berkelahi.
Dulu dengan Pak Ganteng gemes, terus sama suami Nanaz yang sudah meninggal dunia. Ya kali ia mau kena juga. Hadeh membayangkan telapak tangan kekar mendarat di pipinya dan menimbulkan memar, Jono bergidik ngeri.
Hadeh ini si mungil kemana sih? Emang dia makan di restoran mana coba? Makan apa nginep sih? Lagian besok-besok eika gak mau kasih izin lagi. Eike saja gak tahu macam mana itu laki mukanya? Mana eike lupa lagi namanya, siapa ya?
Jono berusaha mengingat-ingat.
Rajak, Rojak, apa rujak? Ih bukan deh, masa rujak? Emang dia sekumpulan buah-buahan yang dicampur sambel dan bikin eike sakit perut? Terus siapa dong namanya? Ra-Ranjau? Ck, kok ranjau? Meledak dong si mungil kalau ketemu ranjau! Kayaknya bukan deh, Siapa ya? Aduh, kok eike pikun gini sih? Nikah saja belum! Jangan-jangan nanti eike lupa nama istri eike pas ijab Kabul?
Lagian Echa minta izin pas toko sedang ramai-ramainya. Mana mungkin Jono konsentrasi.
"Kamu tahu gak sih teman Echa siapa saja?" selidik Tama sambil menatap Jono dengan wajah semakin kesal maximal.
Ini sudah jam sepuluh, dan adik satu-satunya entah dimana.
Gusar, Tama kembali berdiri, setelah tadi ia mendaratkan tubuhnya di sofa. Kepala Jono saja sudah pusing melihat Tama yang mondar-mandir sejak tadi.
"Eike lupa, beneran! Sumpah!"
Jono juga aslinya terkejut melihat kedatangan Tama. Echa bilang kakaknya pulang esok hari.
Dan rasa terkejut Jono pindah kepada Tama saat tahu adiknya pergi dan entah kemana.
Sepertinya Tama harus mengingatkan sang adik, agar tidak sembarangan memilih teman. Salah-salah bisa bikin rusak adiknya ini. Sejak dulu ia dan ibunya menjaga Echa dengan baik. Jadi Tama tidak akan biarkan adiknya masuk ke dalam pergaulan bebas.
Hingga suara sepeda motor berhenti di depan rumah.
Echa bernapas lega, setelah membelikan bensin seliter buat Dhiyo, akhirnya mereka tiba di depan rumah. Beneran ternyata Dhiyo gak punya uang di dompet, hanya selembar uang senilai sepuluh ribu. Kasihan juga Echa jadinya.
Echa bergegas turun dari motor.
"Ini rumah kamu?" Dhiyo menatap dengan mata menyipit pada rumah sederhana di depan mereka.
"Sebenarnya bukan, ini rumah mbak Nanaz, aku menumpang di sini."
"Oh." Dhiyo mengangguk.
"Kamu mau mampir?"
Menurut Echa, gak apa juga menawarkan mampir. Barangkali memberikan segelas air. Sebagai ucapan terima kasih.
"Boleh?"
"Boleh saja kok."
"Oke." Setelah mematikan mesin motornya, Dhiyo turun.
"Echa!"
Panggilan keras dari dalam rumah membuat Echa dan Dhiyo menoleh.
"Kak Tama?" Jelas Echa tersentak.
Bukannya kak Tama pulang besok ya?
"Kak Tama kok-"
"Dari mana kamu Echa? Ini sudah malam!" Suara Tama terdengar kencang.
"Echa-Echa dari ...." Echa bingung mau menjawab apa.
Mata Tama menelisik wajah sang adik. Ia jelas melihat mata Echa sembab.
Echa seperti habis menangis, dan Tama yakin akan hal itu.
Jadilah kepala Tama menoleh ke arah lelaki yang kini berdiri di samping adiknya.
"b******k ! Kamu apakan Echa!"
Tama langsung meraih baju Dhiyo dengan tampang emosi luar biasa.
"Kak Tama!" Echa berteriak.
Sementara Dhiyo mengangkat kedua tangannya ke udara.
"Aku gak macam-macam sama Echa."
"Dia buat kamu nangis Echa?" desis Tama sambil menatap ke dalam manik hitam milik Dhiyo dengan penuh membara.
"Jawab Echa! Dia yang buat kamu nangis?" teriak Tama kembali dengan suara yang kencang sekali.
Jono menutup mulutnya, bingung!
Waduh. Perang adu jotos lagi nih!
"Bukan Kak! Dhiyo ini yang tolong Echa, waktu Echa kena pukul Ramdan."
"Apa?" Cekalan Tama terlepas begitu saja.
"Kamu apa?"
"Ya salam! Mungil kena pukul? Di sebelah mana!" Jono bergegas mendekat sambil histeris.
Tama segera mendekati adiknya.
"Kamu dipukul Ramdan?"
"Hah! Namanya Ramdan! Bukan Rujak! Bukan Ranjau! Eike baru inget!"
"Kamu tadi bilang gak tahu dengan siapa Echa pergi Jono!" Tama kini membentak Jono.
"Eike sejak tadi mencari tahu namanya babang tampan! Eike bingung namanya Rujak, Rojak apa Ranjau siapa gitu, et dah ternyata namanya Ramdan!" Jono meringis.
Tama meraih dagu Echa.
"Ramdan memukul kamu dibagian muka?"
Kilat mata Tama tampak menyala.
Membayangkan adiknya kena pukul seorang laki-laki. Brengksek! Ia saja tak pernah kasar sama adiknya. Lelaki memukul perempuan adalah laki-laki banci!
"Sebenarnya Ramdan gak bermaksud memukul Echa, tapi Echa berusaha membela saya tadi."
"Ya ampun! Jangan bilang kalian terlibat cinta segi tiga? Segi tiga? Ya ampun! Serius! Segitiga yang luasnya alas kali tinggi dibagi dua?"
Echa menghembuskan napas. Mas Jono apaan sih!
"Mas Jono jangan ngaco deh ah!"
Echa merengut tak terima.
"Cha-cha Maricha! Eike itu nyebut segi tiga bangun ruang lho. Lebih ngaco lagi Eike sebut segitiga pengaman! Parno yang ada, gak boleh, yey belum tiga puluh tahun ke atas!"
"Kamu masuk ke dalam, dan cerita sama saya, apa yang sebenarnya terjadi." Tama kembali memerintah pada Dhiyo.
Ia juga melihat wajah Dhiyo sedikit memar. Tama akan mendengarkan semua cerita dari Echa dan lelaki ini. Yang jelas ia tidak akan memaafkan siapapun yang membuat adiknya celaka.
"Eh babang ganteng gondrong, kita belum kenalan lho." Jono mengedipkan matanya dengan nakal pada Dhiyo saat lelaki itu hendak beranjak ke dalam rumah.
Dhiyo tersenyum.
"Nama saya Dhiyo." Dhiyo mengulurkan telapak tangannya.
"Awww Dhiyo, Dhi-yo." Bibir Jono membentuk lingkaran.
"Dhi-yo. Aish kok bikin eike merinding sih dengar nama yey."
Jono terkikik.
"Nama Mas siapa?" Dhiyo bertanya balik.
"Panggil eike Jono. Dulu sih Ice atau Jonic. Sekarang eike sudah sadar dari kekhilafan yang gelap gulita. Sekarang mata eike sudah terang-benderang, apalagi sekarang hidup eike dikelilingi pak ganteng gemes, babang tampan dan satu lagi babang ganteng gondrong. Jadi panggil eike, Jono."
Jono mesem-mesem sambil berkedip-kedip mirip boneka yang ada di toko Bunga Alina. Tahukan? Boneka yang menangis dan baru berhenti jika diberi botol s**u? Itulah mata Jono sekarang.
"Senang kenalan dengan anda Mas Jono." Dhiyo ikut tersenyum ramah.
Jono bertepuk tangan.
"Aish! Cuma kenalan saja nih senangnya? Gak mau peluk-peluk gitu?"