BLURB.
Reta terpaksa menikahi laki-laki yang dia temui di social media. Semua ini berawal dari sebuah tantangan yang dia lontarkan pada pria itu lewat sebuah direct message.
“Jika kau mau datang menemuiku, aku bersedia menikah denganmu,” katanya pada pria itu.
Semula Reta berpikir pria itu akan mundur. Namun yang terjadi justru sebaliknya, laki-laki itu melacak rumah Reta dan mendatangi keluarga Reta untuk meminangnya.
Sial bagi Reta karena dia sama sekali tidak mencintai pria itu.
Nasi sudah menjadi bubur, Reta yang saat itu masih menjalin hubungan dengan Radit terpaksa menikah dengan Raka.
Akankah pernikahan Reta dan Radit berjalan seperti semestinya di saat Reta tengah mengandung anak Radit?
BAB-1. AKU HAMIL.
“Aku hamil.” Reta keluar dari toilet setelah melakukan tes kehamilan.
Tepat di depan pintu, Radit, laki-laki yang selama empat tahun ini menjalin hubungan dengannya menunggu dengan harap-harap cemas. Radit menerima testpack yang diberikan oleh Reta dan melihat hasilnya. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. “Alat ini bisa saja salah, kan?” katanya pada sang kekasih yang saat ini membuka baju dan melihat perutnya yang masih rata. “Kita mungkin bisa mencobanya lagi.”
“Radit,” Reta memutar bola mata dengan jengah. Selama empat tahun, sudah ratusan testpack yang mereka pakai. Tidak pernah sekali pun alat itu menunjukkan hasil yang salah. Reta mempercayai keakuratan benda itu sejak pertama kali menggunakannya. “Benda itu sama sekali tidak salah. Coba lihat baik-baik!” Reta menurunkan baju lalu kembali duduk di sisi ranjang. Ia melihat pantulan dirinya di depan cermin. Tidak ada yang salah dengan dirinya. Juga tidak ada yang salah dengan hubungannya dengan Radit. Hanya saja… hubungan mereka terhalang oleh restu orangtua Reta.
Tak lama setelahnya, Radit ikut mengambil duduk di sisi Reta. Pria itu melingkarkan sebelah tangan di bahu Reta lalu menarik kepalanya dan menyandarkan di bahunya. “Aku tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Kita selalu menggunakan pengaman.”
Tidak selalu. Batin Reta kesal. “Kamu memakai pengaman saat ronde pertama. Sisanya tidak.” itulah faktanya.
Sejujurnya Reta bukannya tidak menyukai Radit. Selama empat tahun berkencan, hubungan mereka baik-baik saja. Radit adalah pria paling baik yang pernah ia temui. Layaknya pasangan kekasih pada umumnya, Reta dan Radit selalu menghabiskan waktu berdua jika mereka punya kesempatan untuk bertemu. Reta tidak tahu lagi bagaimana menghadapi keadaan yang terjadi saat ini. Memaksakan hubungannya dengan Radit sepertinya bukanlah hal yang baik tapi melepas pria itu? Mungkinkah dia sanggup?
“Jadi?” Radit mengetuk-etukkan kaki di lantai, menimbulkan suara yang mampu mengisi ruangan itu. “Aku akan bertanggung jawab. Semua ini salahku.”
Reta mendongak, menatap Radit tepat di manik matanya. Pria itu tampak sama gelisahnya dengan dirinya. Kehangatan yang terpancar dari manik mata Radit seketika membuat hatinya tenang. “Tidak ada yang bersalah di sini. Kita berdua sama-sama menginnginkan hubungan ini.”
Sudah sejak lama sekali Radit ingin meminang Reta. Namun selama itu pula ayah Reta tidak memberi retu untuk hubungan mereka berdua. Reta tidak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan kedua orangtuanya. Bagi mereka, Radit tidak cukup baik untuk dirinya. Sementara bagi Reta sendiri, Radit lah yang terbaik selama ini. Dia tidak pernah membayangkan bagaimana jika harus mengakhiri hubungan dengan satu-satunya laki-laki yang berhasil mencuri hatinya.
“Aku akan bertanggung jawab.” Radit mengusap pucuk kepala Reta dengan sayang. “Kapan pun kau siap, aku akan datang ke rumahmu dan melamarmu.”
Sayangnya itu bukan solusi terbaik untuk saat ini. Baru minggu lalu Reta membujuk ayahnya untuk mempertimbangkan Radit, semuanya berakhir sia-sia. Sang ayah sama sekali tidak mau mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Jangankan mempertimbangkan Radit sebagai calon suaminya, mendengar nama Radit saja dia tidak mau. “Ayahku tidak bisa-“
“Dia bisa menerimaku jika dia tahu kamu mengandung anakku, Reta. Coba katakan yang sejujurnya pada ayahmu. Kita tidak bisa selamanya seperti ini.” Radit meraih tangan Reta dan meremasnya. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau kau mau, kita bisa menikah tanpa restu dari keluargamu. Setelah itu, aku akan membawamu keluar dari rumah itu.”
Ide itu seharusnya mampu menenangkan hati Reta. Namun rupanya semua tidak berjalan sesuai rencana. Reta tidak yakin kalau dirinya mampu meninggalkan keluarganya demi seorang laki-laki. Di luar perseteruannya dengan sang ayah terkait hubungannya dengan Radit, ayah adalah sosok yang sangat Reta hormati. Pria itu sangat berjasa untuk hidup Reta. Melebihi siapa pun. Bagaimana bisa hanya karena seorang laki-laki kini Reta berniat ayahnya?
“Radit,” Reta bangkit. Ia berjalan mondar-mandir di hadapan pria itu. “Aku tidak bisa menikah tanpa restu kedua orangtuaku.”
“Sampai kapan?” Radit ikut berdiri. Dia mengambil sebatang rokok dari nakas lalu menyulutnya. “Sampai kapan kita seperti ini? Aku sudah terlalu lama menunggu!” pria itu menghisap rokoknya dengan frustasi.
Bagi Reta kemarahan Radit sangatlah bisa dipahami. Selama ini satu-satunya penghalang untuk hubungan mereka berasal dari pihak keluarganya. Sebagai seorang pria, tentu hal itu sangat tidak mudah bagi Radit. Namun berada di posisi Reta bukanlah sesuatu yang mudah. Dia juga tidak menginginkan hal ini terjadi pada mereka. “Aku tidak tahu.” Reta meremas ujung baju dengan jemari. “Meskipun aku mengatakan pada kedua orangtuaku tentang kehamilan ini, aku masih belum yakin kalau mereka akan menerimanya.” Ia mengembuskan napas lelah.
Radit melirik Reta sekilas. Ia meletakkan sebatang rokok yang sudah disulutnya lalu berjalan menghampiri ranjang dan meraih bajunya. “Apa yang harus kulakukan untuk meyakinkan mereka?” ujar Radit usai memakai bajunya. “Ingat, Reta, kehamilanmu akan semakin membesar. Jika kau tak juga memutuskan kapan aku boleh datang ke rumahmu, orang-orang akan berpikir kalau kau bukan gadis baik-baik.”
Ah, tiba-tiba kalimat terakhir Radit menghantam Reta tepat di ulu hatinya. Keluarganya adalah keluarga terpandang. Orang-orang memandangnya sebagai seorang gadis baik-baik yang selalu patuh pada kedua orangtua, tidak melakukan seks bebas sebelum menikah, dan menjalin hubungan dengan laki-laki baik-baik. Sayang, semua itu jauh dari dirinya yang sebenarnya. Reta dan Radit telah menjalani hubungan asmara hingga melewati batasnya. Mereka bukan lagi sepasang kekasih yang bertemu hanya untuk bergandengan tangan. Hubungan mereka lebih dari itu.
“Beri aku waktu.” Akhirnya hanya satu kalimat itu yang mampu diucapkan oleh Reta. Ia mengambil jaket tebal lalu memakainya dengan cepat. Pertemuan mereka hari ini sudah cukup untuk mengobati kerinduan satu sama lain. Reta berdiri di depan cermin dan mematut dirinya. Dia tidak ingin terlihat berantakan setelah keluar dari hotel. Setelah seks hebat di antara mereka berdua, ia mulai merasakan perutnya kosong. Hingga detik ini, ia tidak tahu apakah dia harus bahagia dengan kehamilannya atau sebaliknya. Reta tidak siap jika harus memilih di antara keluarganya atau Radit.
Melihat dirinya berkemas, Radit turut melakukan hal serupa. Ia memakai baju dan jaket lalu merapikan rambut. Sebatang rokok yang dia sulut telah habis. Radit membuang putung rokok ke tempat sampah lalu bergegas menghampiri Reta. “Aku punya waktu selamanya untuk menunggumu tapi aku tidak tahu apakah kamu juga berpikir seperti itu.” Radit menunduk sembari mencuri satu kecupan di bibir Reta. “Pikirkan baik-baik anak kita.” Pria itu membawa salah satu tangan menuju perut Reta dan mengusapnya lembut. “Dia butuh figure seorang ayah.”
Reta berpaling kala Radit hendak menciumnya lagi. Untuk saat ini, ia berharap tidak ada anak dalam kandungannya sehingga mereka bisa menjalani hari-hari seperti biasa seolah tidak ada apa-apa. Reta sama sekali tidak menyesali kebersamaan mereka. Hanya saja, kehadiran anak membuatnya sangat tidak nyaman. Ia ingin berjuang satu atau dua tahun lagi untuk mendapatkan restu keluarganya. Dengan adanya anak ini, mereka bahkan tidak punya waktu lebih dari sembulan bulan. Anak yang saat ini berada di dalam kandungan Reta bak bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Usai berkemas, Reta mengambil tas lalu memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya. Radit yang sudah menunggunya di depan pintu dengan ekspresi tidak ramah tiba-tiba membuat Reta gugup. “Ayo.” Ia hendak membuka handle pintu tetapi Radit menahannya.
“Kamu tidak bermaksud menggugurkan kandunganmu, kan?”
Mendengar tuduhan itu Reta segera menarik tangannya kembali. “Apa maksudmu?”
“Reta,” pria itu menatapnya tajam. “Apa pun yang terjadi, aku tidak mau kamu membunuh anak kita! Kita berdua mungkin belum siap menjadi orangtua, tapi anak itu sama sekali tidak berdosa! Kau tidak boleh melenyapkannya!”
Seketika Reta mundur beberapa langkah sembari memegangi d**a dengan gaya dramatis. “Aku? Menggugurkan kandungan ini? Oh, Radit, tolong jangan gila! Aku tidak mungkin melakukannya!”
“Lalu kenapa kamu diam saja. Kamu seolah sedang memikirkan sesuatu. Aku curiga kamu memang berniat menggugurkannya!” Radit mendorong bahu Reta hingga punggung gadis itu menabrak tembok. “Katakan padaku kalau kamu memang tidak berniat menggugurkan anak kita!”
Reta berusaha melepaskan diri dari pria di hadapannya. Tubuhnya yang terlalu mungil untuk laki-laki setinggi 1.8 meter seperti Radit membuat perlawanannya tampak sia-sia. “Tidak. Aku sama sekali tidak berniat menggugurkan anak kita!”
Rupanya rangkaian kata-kata itu tak mampu meyakinkan Radit. “Sayangnya aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja.” Radit mengeratkan cengkeraman tangannya di bahu Reta. “Jika terjadi sesuatu dengan anakku-“
“Sekali lagi kukatakan padamu, Radit. Aku tidak akan menggugurkan anak ini! Selama ini aku memikirkan bagaimana caranya agar keluargaku bisa menerima hubungan kita! Hanya itu!” untuk sekali ini Reta benar-benar merasa muak dengan Radit.
Radit menyisir rambutnya dengan jemari. Ia berpaling dari kekasihnya lalu menendang kursi dengan cukup keras hingga benda itu terlempar cukup jauh dari tempatnya. “Sial! Sial! Sial!”
Selama beberapa saat mereka hanya diam di tempat masing-masing. Reta yang tidak menyadari air mata jatuh di pipinya bergegas menghapus bulir-bulir air mata dengan punggung tangan. Ia mengangkat wajah, melihat punggung Radit yang masih tegang. Jika ada yang harus disalahkan dalam hubungan mereka, maka orang itu adalah Reta. Seandainya saja keluarganya tidak begitu egois melarang hubungan mereka, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Mungkin saat ini mereka telah resmi menjalin hubungan sebagai sepasang suami-istri.
“Aku minta maaf.” Radit berbalik dan menghampiri Reta. Ia memeluk gadis itu dengan kuat dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di kepalanya. “Aku minta maaf.” Radit berkata lagi. “Aku minta maaf.” Dan lagi.
Mendengar ucapan tulus dari pria yang selama ini mengisi hari-harinya membuat Reta sedikit tenang. Ia membalas pelukan sang kekasih tak kalah erat. “Aku akan berusaha membujuk orangtuaku.”
“Aku akan menyiapkan segalanya untuk pernikahan kita. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Untuk saat ini yang paling penting adalah kesehatanmu dan janin dalam kandunganmu.”
Reta hanya bisa mengangguk.
“Jangan terlalu dipikirkan. Aku yakin kita bisa melewati semua ini.”
Ia kembali mengangguk. Untuk saat ini tidak ada yang bisa dilakukannya selain menuruti semua kata-kata Radit.
“Minggu depan aku akan mengantarmu bertemu dengan dokter. Kita harus memastikan apakah dia baik-baik saja atau tidak.”
Mendengar hal itu, Reta mendongak demi melihat wajah sang kekasih. “Apakah semua itu perlu?”
“Perlu,” ujung bibir Radit terangkat saat menjawab pertanyaan Reta. “Aku akan menjaga dan merawat kalian sebaik mungkin. Kamu tahu, tidak ada yang lebih membuatku bahagia saat mendengar kalau sebentar lagi kita akan memiliki seorang anak.”
Ya, seharusnya itu juga yang Reta rasakan saat ini. Jauh di lubuk hatinya Reta ingin merasa bahagia seperti Radit. Sialnya bayang-bayang sang ayah yang selalu menolak Radit membuatnya semakin tidak tenang.
Reta bertanya-tanya, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh ayahnya jika beliau mengetahui kehamilannya? Apakah sang ayah mau menerima buah cintanya dengan Radit?