ToD

1100 Words
"Nggak boleh pergi, Lo harus ikut ToD sama kita!" Hembusan nafas jengkel tidak bisa aku tahan saat menepis tangan Rachel, sungguh aku benar-benar tidak suka berada di sini, apalagi permainan yang akan mereka mainkan. Bukan tidak mungkin dengan tiga manusia super jahil di SMAku, Randi, Ares, dan Sabda, ketiganya akan berlaku aneh-aneh untuk mengusiliku, jangan lupakan juga ada adik tiriku yang masih betah-betahnya di kursinya. Dasar tidak tahu diri, sudah tahu ini acara reuni, bisa-bisanya dia ngintilin orang. "Chel, gue nggak bisa kayak Lo yang bisa pulang sesuka hati Lo. Lo nggak lupa kan gue pernah balik buat tidur di kantor gegara Bokap gue nggak izinin gerbang di buka cuma gegara gue telat 10 menit dari jam malam! Gue ini numpang di rumah gue sendiri....." Semua orang yang ada di meja ini seketika terdiam mendapatiku mengeluhkan sikap orangtuaku, entah kenapa memang Papa selalu mencari-cari kesalahanku, jika yang terlambat pulang Raya maka akan ada sejuta alasan untuk memaklumi keterlambatan putri kesayangannya, namun jika yang terlambat aku tidak peduli jika itu karena tugas kuliah maupun pekerjaan, maka Papa tidak akan mengizinkan gerbang rumah di buka. Miris? Iya. Terserah kalian mengatakan aku berlebihan atau mengada-ada, namun itulah kenyataannya. "Nanti Raya jelasin ke Papa, Mbak. Sekali-kali Mbak kumpul lah sama temen-temen Mbak kayak gini. Buat hiburan." Di tengah kesunyian yang sangat tidak mengenakan tersebut tiba-tiba saja Raya angkat bicara, sungguh perkataannya mungkin terdengar bak malaikat di telinga teman-temanku namun apa yang dia katakan justru semakin mempertegas betapa berbedanya posisiku dan dia, sang tuan putri yang menjadi kesayangan bagi Jendral Abian Yudhayana. Mendapatiku melengos sama sekali tidak memedulikan mereka semua terlebih apa yang di kata Raya, Rachel menahan tanganku, seperti biasa, tatapan penuh permohonan terlihat di matanya saat meminta sesuatu. "Please, jangan pergi dong, Ra. Ntar nginep aja di kosan gue, oke. Demi gue, sahabat sehidup semati Lo." Jika sudah seperti ini apalagi yang bisa aku lakukan selain menuruti permintaan Rachel, "beneran ya gue nginep di tempat Lo, awas aja Lo sampai bawa si Randi ke kosan!" Ancamku yang langsung di balas anggukan penuh semangat dari Rachel tidak lupa juga dia mengacungkan dua jarinya sebagai janji. "Dasar Sinting! Di ajakin pulang adiknya sendiri nggak mau malah pulang ke tempat orang! Ada gila-gilanya Lo ini, Ra." Sedari tadi Sabda hanya terdiam seperti orang bisu, dan sekalinya dia angkat bicara untuk membela pacarnya yang kini menunduk menyedihkan seolah aku baru saja menyakitinya, apa yang dia ucapkan benar-benar menyakitiku, namun siapa dia yang bisa menyakitiku? Di bandingkan menanggapi dua manusia paling aku benci di dunia ini, aku lebih memilih mendengar Ares yang sudah berteriak heboh, sama sepertiku, si Tengil ini juga memilih tuli terhadap apa yang di katakan oleh Sabda. "No bacot, No kecot. Daripada ini anak Jendral berubah pikiran, ayok kita mulai saja! Siap kalian semua, jawab pertanyaan yang diajukan dengan jujur, atau pilih minum satu shoot. Nggak boleh ada yang bohong, nggak boleh ada yang mangkir dari minum, deal?!" Seringai licik terlihat di wajah Ares saat dia meraih satu botol bir yang sudah kosong, alumni Akpol yang memilih untuk menjadi pebisnis Klub malam ini memandang kami, aku, Rachel, Randi, Sabda, dan Raya bergantian, seketika udara di penuhi aura ancaman, bukan hanya aku yang merasakan, tapi juga yang lainnya, melihat wajah tegang mereka sungguh aku ingin tertawa sendiri, astaga, aku yang awalnya was-was jadi penasaran sendiri dengan pertanyaan atau hal gila apa yang akan di lontarkan oleh mereka yang ada di sini. Mendapati semuanya mengangguk paham, Ares memutar botol bir kosong dengan cepat membuat semua mata tertuju pada ujung botol yang perlahan melambat hingga akhirnya ujung botol tersebut menunjuk pada Randi, tanpa harus di perintah Rachel yang sudah gatal ingin bertanya segera bersuara. "Pilih truth kalau emang nggak ada yang lo sembunyikan dari gue!" "Oke!" "Lo pernah selingkuh dari gue?" Jangankan Rachel, aku pun ikut deg-degan menunggu jawaban dari Randi yang kini menatap tajam tepat ke mata tunangannya. "Nggak pernah!" Yaaaahhh, desis kecewa terdengar dari Sabda dan juga Ares, dua semprul ini sudah berharap ada pertunjukan adu jotos dari pasangan yang akan segera menikah ini, tapi sayangnya walau Randi satu spesies dengan mereka, pria pengusaha konveksi tersebut ternyata seorang yang setia, tanpa ada kecemasan sama sekali Randi menjawab mantap sembari menatap tepat ke mata Rachel. "Punya satu aja musti jungkir balik buat bisa nikahin, yakali mau pakai acara affair lagi." "Uluccchh thayank, jadi makin cinta aku sama kamu." Sama dengan Rachel yang tersenyum penuh haru sembari mencium Randi, aku pun mengangkat dua jempolku untuk pria yang kesehariannya berkutat dengan kain tersebut, kelegaan begitu aku rasakan mendapati sahabatku jatuh hati dengan pria yang tepat, jika biasanya aku muak dengan dua manusia yang sering mengumbar kemesraan di hadapanku maka sekarang aku turut bahagia atas cinta mereka. "Jaga baik-baik sahabat gue, Ran. Sampai berani Lo ngekhianatin dia, gue yang bakal dor Lo langsung di tempat!" Suasana yang sempat tegang pun akhirnya mencair dengan tawa, sungguh melegakan permainan gila ini di awali dengan hal yang baik, sampai akhirnya saat Ares memutar botol kembali, kembali sensasi was-was mengiringi putaran botol yang awalnya cepat dan semakin melambat sampai berhenti tepat menunjuk Raya. "Berani dong ambil truth. Masak kalah sama Randi!" Seringai sinis tidak bisa aku tahan melihat bagaimana kegugupan Raya saat matanya beradu pandang denganku seolah takut jika aku akan menanyakan hal yang tidak-tidak kepadanya, tapi itulah memang yang sedang aku ingin lakukan kepadanya. Sedikit bermain-main dengan adik tiriku terasa menyenangkan saat akhirnya Raya mengiyakan permintaanku. "Pilih Sabda Brawijaya atau Abimayu Wirasatya?" Seperti yang sudah bisa aku tebak, keterkejutan terlihat di mata Raya dan yang lainnya mendengar pertanyaanku barusan kepada adikku, tangan putih kecil tersebut terlihat cemas berulangkali meremas tangannya, tapi di antara reaksi keterkejutan yang aku dapatkan, aku justru tidak mendapatkannya dari Sabda, pria tersebut justru menatapku tajam memperlihatkan ketidaksukaan yang kentara. "Ten... Ten... Tu saja Sara pilih Mas Sabda, Mbak Sara iiihh ada-ada aja pertanyaannya, kirain mau nanya apaan!" Selama menjadi seorang design interior aku sudah bertemu dengan banyak orang dan banyak tipe, seorang yang berbohong seperti yang di lakukan oleh Sara adalah hal biasa untukku. Suasana yang kembali canggung tidak nyaman kali ini di pecahkan oleh Sabda yang berujar penuh ancaman kepadaku. "Pertanyaan macam apa yang kamu berikan ini, Ra. Bisa-bisanya meminta Raya memilih antara pacar dengan ajudan Papanya yang lain." Aku beringsut mendekat, menatap lekat pada pria yang tidak pernah aku sangka bisa begitu aku benci sedalam ini. "Apa kamu tahu artinya pepatah cinta datang karena terbiasa, Da? Terbiasa bersama, terbiasa bertemu, contohnya orangtuaku, Papaku terbiasa dengan seseorang sampai akhirnya lupa dengan anak dan istrinya di rumah. Tapi syukur deh kalau Raya milih kamu, kirain bakal milih si Abimanyu yang tiap hari nganterin dia bahkan sampai di depan kamarnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD