"Aku ingin bercerai."
Suara lantang dari perempuan dengan perut yang membuncit besar karena kehamilannya ini membuat Sabda yang baru saja kembali dari tugasnya di luar kota seketika di buat terkejut, walaupun tidak ada perubahan yang berarti di wajahnya yang datar kecuali alisnya yang terangkat tinggi, Sara, begitu nama perempuan yang tengah hamil besar tersebut tahu dengan benar jika suaminya tersebut tengah terkejut dengan keberaniannya.
"Tanda tangani surat pengajuan perceraian ini, dan Papa akan mengurus sisanya. Aku bisa menjamin Papa tidak akan keberatan untuk mengurusnya mengingat yang terpenting untuk beliau adalah hubunganmu dengan Raya."
Semua kalimat yang berujung perpisahan tersebut di ucapkan oleh Sara dengan begitu tenang tanpa ada beban sama sekali di dalamnya, dan hal tersebut terang saja memantik amarah di dalam diri Sabda, ada rasa tidak terima di dalam dirinya mendapati seorang Sara menginjak-injak harga dirinya. Di sini seharusnya Sabda yang mengakhiri pernikahan yang tidak di inginkan mereka berdua ini, bukan malah Sara.
Perempuan yang sudah membuat Sabda terjebak dalam pernikahan ini tidak memiliki hak sama sekali untuk menuntut apapun di dalam hidup Sabda, apa lagi meminta perceraian dengan sebagian diri Sabda yang tumbuh di dalam tubuh Sara sekarang ini.
Bagi Sabda, Sara adalah sumber masalah di dalam hidupnya, seorang yang sangat di benci Sabda karena sudah mengobrak-abrik hidup Sabda yang sebelumnya teratur dan tertata apik dengan segala hal yang sudah di rencanakan secara matang yaitu fokus dengan kariernya di Kemiliteran, dan saat Sabda merasa kariernya sudah mapan, Sabda akan melamar Raya, adik dari Sara yang sudah bertahun-tahun di pacarinya.
Namun kehadiran Sara dan kehamilannya akibat ulah gila pesta reuni SMA yang membuat Sabda terjebak dalam hubungan satu malam dengan kakak tunangannya tersebut membuat segala rencana bahagia Sabda bersama Raya seketika berantakan.
Sara memang tidak meminta pertanggungjawaban darinya, bahkan wanita tersebut menolak saat orangtuanya meminta Sabda menikahinya, dengan raut wajah angkuh yang sukses membuat Sabda membenci perempuan tersebut, Sara berujar jika dia sama sekali tidak butuh seorang pria hanya untuk sekedar membesarkan anaknya.
Ya, sayangnya sekali pun Sabda membenci Sara yang di anggapnya menjadi penghalang bahagianya bersama dengan Raya, Sabda tidak bisa mengabaikan begitu saja janin yang di kandung Sara, janin itu adalah anak Sabda dan Sabda tidak akan membiarkan anaknya terlahir di luar status pernikahan.
Sebab itulah walau harus menggunakan segala kuasa yang di miliki orangtuanya untuk mempermudah pernikahan seorang Perwira Muda yang baru dua tahun bertugas, Sabda akhirnya menikahi Sara, pernikahan yang hanya berdasar kesepakatan dan akan berakhir setelah janin yang di kandung Sara lahir.
Tapi bukan Sara namanya jika tidak membuat ulah, sebulan lagi janin tersebut akan lahir dan segalanya akan kembali normal, namun sebuah surat pengajuan perceraian justru di sodorkan tepat di bawah hidung Sabda sekarang, tentu saja Sabda murka bukan kepalang.
Tidak bisa menahan kemarahannya kepada sosok yang tengah hamil besar anaknya tersebut, Sabda beranjak dan mencengkeram dagu Sara dengan kuat memaksa Sara untuk menatapnya yang di landa kemarahan.
"Perceraian yang kamu inginkan tidak akan pernah ada jika aku tidak mengizinkannya, Sialan! Bukan kamu yang aku pikirkan, tapi anakku yang tumbuh dalam kandunganmu!"