Kenneth sudah terlihat tampan dan gagah, memakai jas yang warnanya senada dengan celana panjang yang dia kenakan saat itu. Dipadukan dengan kemeja dan dasi berwarna senada pula. Sejak tadi, Renata hanya memperhatikan apa yang dilakukan Kenneth.
"Aku berangkat dulu ya! Jangan coba-coba pergi dariku. Ini black card untuk kamu. Kamu bebas membeli apapun yang kamu inginkan! Aku izinkan kamu berbelanja ke Mall. Tapi, kamu harus tetap didampingi kedua bodyguard. Apa kamu mengerti?" Kenneth berkata kepada Renata. Renata menganggukkan kepalanya.
Tak ada kecupan, dan kehangatan yang diberikan Kenneth kepada Renata. Renata pun tak bisa menuntut lebih, karena dia memang bukan istri ataupun kekasihnya Kenneth. Renata mengantarkan Kenneth sampai mobil. Dia tetap berdiri sampai akhirnya mobil yang membawa Kenneth pergi meninggalkan Mansion.
Setelah itu, barulah dia masuk ke dalam kembali, dan dia berniat mendekati pelayan dan semua pekerja di Mansion. Mungkin, dengan seperti itu hidupnya akan lebih terasa nyaman di Mansion. Selama ini, baginya suasana Mansion begitu menegangkan. Tak ada satu orang pun yang bersikap manis kepadanya. Semua menatapnya, dengan tatapan tajam.
"Bagaimana aku harus memulainya ya? Mereka semua terlihat begitu menyeramkan." Renata berkata dalam hati.
"Nona ...." panggil sang bodyguard.
Baru mendengar suara salah seorang bodyguard memanggilnya saja, jantung Renata langsung berdegup kencang. Renata langsung menghentikan langkahnya, dan membalikkan tubuhnya menatap ke arah sang bodyguard.
"Em ..., ada apa?" tanya Renata, wajahnya terlihat tegang.
"Tuan Kenneth memperbolehkan Anda keluar dari Mansion ini, asalkan kami ikut juga bersama Anda," jelas sang bodyguard.
"Ya, terima kasih infonya. Tapi, untuk saat ini aku belum ada rencana keluar," sahut Renata.
Renata pergi meninggalkan bodyguard itu, melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga, dan juga dapur. Di sana terlihat ada dua orang pelayan yang sedang sibuk membersihkan area ruang keluarga dan juga dapur. Kini dia sudah berada di sana.
"Hai, salam kenal. Aku Renata. Apa aku boleh tahu siapa nama kalian?" tegur Renata.
Dia berbasa-basi, bersikap ramah kepada mereka. Namun, bukannya menjawab pertanyaannya. Kedua pelayan itu justru beradu pandang, membuat Renata merasa bingung.
"Mengapa orang-orang disini sangat kaku sekali seperti Tuannya? Ya Tuhan, mengapa mereka sangat kuat untuk tidak berbicara. Apa mereka memang di setting seperti robot oleh Tuannya?" gumam Renata dalam hati.
Hingga akhirnya dia memilih untuk ke kamarnya, kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang. Tanpa sadar, senyuman melengkung di sudut bibir Kenneth, saat melihat Renata yang terlihat gelisah. Sejak tadi Renata terlihat membolak-balikkan tubuhnya miring ke kiri dan kanan.
"Pasti saat ini kamu merasakan kesepian tak ada aku di sana?" Kenneth berkata.
Setelah keluar dari Mansion, Kenneth langsung membuka tampilan layar CCTV di MacBook miliknya. Dia ingin tahu, apa yang dilakukan Renata setelah dirinya pergi meninggalkan Mansion.
"Mengapa rasanya begitu sepi tak ada dia. Rasanya, aku menjadi serba salah. Ada dia, aku disiksa tiada ampun. Tak ada dia, rasanya sepi sekali tempat ini," cicit Renata.
"Kira-kira, enaknya ngapain ya?" Gumam Renata.
Hingga akhirnya, dia memilih menghubungi Rianti, sahabatnya.
"Ya, Ren. Tumben banget kamu telepon aku? Kirain, pengantin baru sudah lupa sama aku. Menghilang tanpa jejak. Atau mungkin sedang menikmati masa pengantin baru dengan yayang beb. Gimana Ren, menikah enak enggak?" Rianti berkata.
Renata menelan salivanya berkali-kali. Hatinya pun terasa sakit, kala mengingat kenangan yang begitu menyakitkan, dan membekas di hatinya.
"Sebenarnya, ada yang ingin gue ceritakan sama lo. Tapi ..., please jangan bilang sama siapapun," kata Renata dengan penuh penekanan.
Renata pikir. Mungkin, dengan dia menceritakan apa yang terjadi dengannya kepada sahabatnya. Nantinya, akan mengurangi sedikit beban pikirannya.
"Iya, tenang saja. Seperti, sama siapa aja lo. Kita sahabatan dari dulu. Dasar aja lo yang sering tertutup. Lo bisa percayakan sama gue. Emangnya, apa yang terjadi sama lo, Ren? Cerita 'lah, gue 'kan sahabat lo. Sapa tahu, gue bisa membantu lo," ujar Rianti.
"Iya, gue percaya sama lo, Ri. Jujur, awalnya gue mau menyimpan rapat permasalahan hidup gue ini sendiri. Gue malu," sahut Renata.
Renata mulai menceritakan apa yang terjadi dengannya. Mulai dari Alan yang menceraikan dirinya, malam itu juga sehabis resepsi. Dia juga menceritakan, kalau ternyata Alan sudah memiliki kekasih sejak lama dan mereka akan menikah. Alan menikahi dia hanya sekadar aksi balas dendam.
"Ya ampun, Ren. Gue benar-benar enggak percaya kalau sih Alan akan seperti itu. Gue tuh tahu banget, Ren, kalau dia sangat mencintai lo. Lagi pula, setahu gue ya. Dia itu gak pernah menjalin hubungan sama wanita manapun. Apalagi dia berencana menikah sama wanita lain." Rianti berkata.
"Entahlah, Ri. Gue juga enggak ngerti sama jalan pikirannya. Masa iya, ini semua hanya sekadar aksi balas dendam dia ke gue. Karena dulu gue selalu menolak dia. Sampai dia seperti itu. Gue tuh lihat dengan mata kepala gue sendiri, mereka berciuman mesra," ungkap Renata. Tanpa sadar Renata meneteskan air matanya. Hatinya terasa begitu sakit, kala mengingat kejadian malam itu.
"Benar-benar gila si Alan, Ren. Karena dendam, dia melawan perasaannya sendiri. Sumpah, gue masih enggak percaya, Ren, dengan apa yang dia lakukan sama lo. Terus, sekarang lo di mana? Sekarang, lo udah gak punya orang tua," cicit Rianti. Dia merasa geram, dan khawatir memikirkan sahabatnya itu.
Dia pun menceritakan, kalau dirinya malam itu juga di bawa paksa oleh Alan, dan Alan menjualnya kepada seorang pengusaha asal Italia. Renata mengatakan, kalau saat ini dia tinggal di Mansion laki-laki yang membelinya. Namun, saat ini laki-laki itu sedang kembali ke negaranya.
"Ya ampun, Ren, malang banget nasib lo. Terus, gimana keadaan lo sekarang, Ren? Laki-laki itu baik sama lo? Lo harus laporkan perbuatan Alan ke lo, biar dia di penjara. Gila tuh orang, dendam kok sampai sebegitu nekatnya menyiksa orang yang dia cintai." Rianti berkata.
Rianti merasa kesal kepada Alan. Ingin rasanya dia segera mencari keberadaan Alan.
"Lo tahu enggak, Ren sekarang dia tinggal di mana? Sumpah, gue emosi banget sama dia. Gue mau menemui itu orang. b******k banget jadi laki-laki," ucap Rianti.
Renata menceritakan juga, kalau dirinya kini menjadi tawanan laki-laki yang membelinya, dan laki-laki itu memperlakukannya sangat kasar. Seperti seorang yang memiliki kelainan seks, memilik sensasi bercinta yang liar. Dia memberitahu alamat tempat tinggal Alan.
"Lo sabar banget si, Ren? Kenapa gak dari kemarin aja si, Ren, lo kabur dari laki-laki itu? Setelah kabur, lo kan bisa laporin laki-laki itu ke polisi. Mau sampai kapan lo disiksa seperti itu? Gue miris banget dengarnya," ujar Rianti. Dia sampai ikut menangis mendengar cerita sahabatnya itu.
Dia memang tahu sikap sombong sahabatnya itu. Tapi, tetap saja dia merasa tak tega. Saat mendengar balasan yang sahabatnya terima.
"Percuma saja, Ren. Laki-laki itu bukan orang yang sembarangan, gue akan menang. Lagipula, dia mengancam gue, kalau sampai kabur. Dia bisa saja menguliti tubuh gue. Dia laki-laki yang kejam. Mungkin ini sudah menjadi takdir gue, Ri. Harus merasakan semua ini. Gue hanya bisa berdoa, semoga secepatnya dia bosan, dan membuang gue layaknya sebuah sampah yang tak terpakai lagi," jawab Renata.
"Tapi, sampai kapan, Ren? Kapan hal itu akan terjadi? Terus, sekarang bagaimana perasaan lo ke dia? Apa lo udah jatuh cinta padanya? Dia tampan enggak, Ren?" Serentetan pertanyaan terlontar dari bibir Rianti.
"Entahlah, gue juga enggak pernah tahu kapan hal itu terjadi. Iya, laki-laki itu tampan. Bahkan lebih tampan dari Alan. dia seorang yang kaya raya, dan bisa dikatakan masih muda. Dia berkebangsaan asing. Namun, memiliki perusahaan di Indonesia." Renata mengatakan, sambil membayangi wajah Kenneth, saat Kenneth berada di atas tubuhnya.