GLSM6 Rindu

1163 Words
"Yach ... Baby. Lebih semangat lagi! Ah, ini sangat gila!" racau Kenneth. Tiba-tiba saja Kenneth terbangun dari tidurnya. Napasnya masih terengah-engah, dan jantungnya masih berpacu cepat. Dia coba mengatur napasnya sambil melihat sekeliling ruang kamar dia berada saat itu. Dia pikir, Renata berada di sana. Dia pun akhirnya beranjak turun dari ranjang dan mencari keberadaan Renata. Namun, tak ada. Karena memang Renata tak ada. "Mengapa dia tak ada? Mungkinkah yang aku rasa tadi hanya sebuah mimpi? Ah, gila kamu Ken. Sampai-sampai kamu bermimpi sedang bercinta dengannya. Wanita itu sudah berhasil masuk ke hatimu. Ah, tidak-tidak. Aku tak boleh jatuh cinta padanya! Dia hanya seorang jalang, yang aku beli untuk memuaskan nafsuku." Kenneth duduk di sofa yang berada di kamarnya. Dia juga terlihat memijat keningnya, yang tiba-tiba saja terasa sakit. Dia tak menyadari, kalau apa yang terjadi padanya. Karena dia sedang merindukan Renata. Di tempat berbeda, Renata justru sedang tertidur nyenyak. Selama Kenneth tak ada, dia bisa bernapas lega. Tak ada yang mengganggunya. Meskipun dia sempat merasa sepi, karena Kenneth tak ada bersamanya. Kenneth hendak melihat aktivitas yang dilakukan Renata lewat CCTV. Dia lihat melalui ponselnya. Dia pun menjadi kesal sendiri, karena Renata terlihat tertidur nyenyak. Terlihat tak merasa kehilangan dirinya. Hingga akhirnya dia berniat mengganggu Renata. Kenneth menghubungi Renata. Pandangannya kini masih terus memandang Renata di ponselnya. "Sial! Dia tak mengangkat panggilan telepon dariku," umpat Kenneth. Kenneth masih terus menghubungi Renata, tak patah semangat. Sampai akhirnya Renata membuka matanya. "Siapa sih yang menghubungi aku? Ganggu orang tidur saja," gerutu Renata. Dia tak ingat, kalau orang yang tahu nomor teleponnya hanya Rianti dan juga Kenneth. Dengan perasaan malas, Renata meraba ponselnya di atas nakas. Matanya membulat sempurna dan dia langsung bangkit duduk, saat melihat nomor telepon yang menghubunginya. "Yach ... halo." Renata menjawab panggilan telepon dari Kenneth. Baru mendengar suaranya saja, milik Ken sudah menegang. Hingga akhirnya dia menemukan ide fantasi liar. Padahal, Renata bersuara serak terdengar seksi, karena dia baru saja bangun tidur. "Sekarang aku minta, kamu buka semua pakaianmu, dan mendesah! Lakukan gerakan yang menggairahkan! Aku ingin mendengar suara desahanmu dan melihat tubuh indah kamu. Cepat lakukan!" titah Kenneth begitu menakutkan. "Ta–tapi, Tuan. Saya tak biasa melakukan itu," jawab Renata dengan perasaan takut. "Sudah, tak usah protes! Lakukan saja apa yang aku perintahkan. Aku tak butuh penolakan kamu. Cepat, jangan sampai kesabaran aku habis!" "Huhft, baru saja merasa senang karena dia enggak ada. Aku bisa merasa bebas. Eh sekarang, malah di suruh begini. Dasar pemaksa! Aku sumpahin lama kelamaan kamu jadi bucin sama aku. Biar tau rasa, saat aku nantinya pergi meninggalkan kamu." Renata mengumpat dalam hati. Mau tak mau, dirinya terpaksa melucuti semua pakaian yang dia kenakan, dan mendesah. Mengikuti perintah dari Kenneth. "Bukan seperti itu! Buat seseksi mungkin sampai aku keluar. Kamu pun harus menikmatinya, biar aku bisa merasakannya," ujar Kenneth. "Gila ini orang, fantasi seksnya luar biasa. Mana bisa menikmati seperti ini, dasar orang aneh!" Renata menggerutu dalam hati. Karena dia memang tak pernah melakukan hal seperti ini. Kenneth memandu Renata, untuk meremas-remas bukit kembarnya, dan bermain di area sensitifnya. Benar saja, lama kelamaan Renata pun menikmatinya. Dia menjadi menginginkannya. Kenneth pun kini sudah berada di titik klimaks. Hingga akhirnya Kenneth mendesah, karena berhasil mendapatkan pelepasan. Setelah mendapatkan yang dia inginkan, Kenneth langsung mengakhiri panggilan telepon dengan Renata begitu saja. "Dasar orang tak punya tata krama! Sudah dapat yang dia inginkan, seenaknya langsung tutup telepon begitu saja. Bilang makasih dulu kek. Orang gak punya hati. Kok ada ya manusia seperti dia di dunia ini. Segila-gilanya Akan, dia tak pernah merusak aku. Padahal, aku selalu berusaha menggodanya. Alan, mengapa kamu melakukan ini padaku? Kalau kamu tak melakukan ini padaku, aku pasti tak akan pernah berada di posisi ini," kata Renata. Tubuhnya terasa lemas. Dia hendak beristirahat. Kenneth membaringkan tubuhnya di ranjang. "Ah, Renata. Kamu memang begitu menggoda. Melihat tubuhmu di telepon saja, aku sudah tergoda. Desahanmu begitu indah terdengar. Kamu memang luar biasa. Tak menyesal aku membeli kamu dengan harga yang mahal," cicit Kenneth. Seutas senyuman terbit di sudut bibirnya. Kenneth mencoba untuk memejamkan matanya. Namun, bayangan wajah Renata justru hadir. Meskipun demikian, dia tetap tak mau mengakui kalau dia merindukan Renata. Matahari sudah bersinar terang, menyelusup menembus tirai. Memaksa Kenneth membuka matanya. Dia harus segera bangun, karena hari ini ada pertemuan dengan klien besarnya untuk membahas kontrak kerjasama. Kenneth beranjak turun ranjang, hendak bersiap-siap. Dia adalah sosok yang bertanggung jawab, selalu bersikap profesional. Meskipun rasa lelah masih menyerangnya. Berbeda halnya dengan Renata yang saat ini masih tertidur nyenyak di balik selimut. Tubuhnya masih dalam keadaan polos, karena ulah Kenneth. Karena setelah mengakhiri panggilan dengan Kenneth, dia tak mengenakan pakaiannya lagi. Setelah selesai bersiap-siap, Kenneth langsung turun untuk sarapan pagi. Dia sudah terlihat rapi, dan wajahnya sudah terlihat segar. Saat ini dia berada di Mansion milik daddy angkatnya. "Selamat menikmati makanannya, Tuan," ucap sang pelayan, dan seperti biasa Kenneth hanya menganggukkan kepalanya. Dia selalu bersikap dingin kepada siapapun. Sang asisten sudah menunggunya di ruang keluarga yang letaknya tak jauh dari meja makan. Jack adalah orang kepercayaannya. Dia selalu mendampingi Kenneth, kecuali memang mereka harus terpisah. "Jack, ayo, sarapan dulu bersama saya!" ajak Kenneth. Kenneth sudah menganggap Jack seperti saudaranya sendiri. Perlahan Jack menjadi kembaran Kenneth. Dia memiliki sifat dingin dan arogan. "Terima kasih, Tuan. Tapi, tadi saya sudah sarapan. Silakan, Tuan saja yang sarapan," ucap Jack. Kini mereka sudah dalam perjalanan menuju perusahaan milik Kenneth yang berada di Italia. Perusahaan ini milik daddy angkatnya, sedangkan yang berada di Indonesia adalah perusahaan miliknya. Dia terlihat begitu gagah dan mempesona, saat memimpin perusahaan. Semua mata peserta meeting menatap ke arahnya. Memperhatikan Kenneth yang saat itu sedang berbicara. Dulu, dia hanyalah butiran debu yang tak dianggap. Daddy angkatnya 'lah, yang membuat dia bisa berada di posisi saat ini. Semua orang kini memandang kagum kepadanya. Mungkin, mantan kekasihnya akan sangat menyesal. Jika, suatu saat nanti dirinya bertemu dengan Kenneth. Masa lalu yang kelam, membuat dia patah hati kepada seorang wanita. Dia begitu membenci seorang wanita, dan menganggap wanita hanyalah sebuah barang yang bisa dia beli dan dia buang seperti sebuah sampah yang tak dibutuhkan lagi. Renata baru saja terbangun dari tidurnya, dan merenggangkan tubuhnya. Hari ini dia berniat untuk ke Mall, mengajak Rianti. Berlama-lama di Mansion tanpa kegiatan, membuat dirinya merasa jenuh. Tangannya meraba mencari keberadaan ponselnya. Dia ingin menghubungi sahabatnya, untuk menemani dirinya. Kenneth sudah membebaskan dia untuk melakukan yang dia suka. Tentu saja Renata tak akan membuang kesempatan itu begitu saja. Dia akan berbelanja yang dia suka, dan melakukan apapun yang dia suka. Dia juga ingin ke Salon ataupun membeli makanan apapun yang dia suka. "Ya, Halo, Ren. Ada apa?" Rianti bertanya. "Hari ini lo ada acara enggak? Ke Mall yuk,temani gue! Tenang saja, gue yang akan traktir lo! Hari ini gue mau menikmati hidup gue, mumpung si laki-laki aneh itu lagi tak ada. Dengan black card yang dia berikan, gue bebas mau melakukan apapun," ucap Renita diakhiri kekehan. Benar apa yang dikatakan Alan. Renata perlahan akan terbiasa dengan kehidupan barunya. Yang dia butuhkan hanyalah uang, bukan cinta yang tulus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD