6. Berteman?

1861 Words
                “Ah, hujan lagi!” aku mendesah pasrah begitu melihat Jakarta kembali diguyur hujan deras. Aku memang bawa jas hujan di motor, tetapi dalam keadaan hujan yang sederas ini, pasti bajuku tetap basah.                 Alhasil, aku duduk di sudut teras menunggu hujan agak reda. Tika dan Venti sudah pulang sejak setengah jam yang lalu, dan tampaknya mereka menerjang hujan. Aku pulang agak telat karena tadi ada tugas yang diberikan Mas Rifqi padaku.                 Ternyata, alasan kenapa Mas Rifqi menyuruhku ke ruangannya adalah karena dia ingin bertanya tentang anggota divisi. Kenapa aku yang dipanggil, katanya karena aku yang kebetulan tadi duduk paling dekat dengannya. Setelah ditanya macam-macam di ruangannya, aku diberi tugas untuk merekap laporan minggu lalu ketika masih dipegang Mas Aga.                   Sebenarnya aku ingin sekali protes karena pekerjaanku juga banyak, tetapi karena aku ini adalah pegawai yang belum lama bekerja di sini, aku tak berani menolak, apalagi mengoper ke anggota lain. Dan ya, gara-gara itu semua, membuatku akhirnya pulang agak telat dibanding yang lain. “Om Rivan!”                 Aku ikut menoleh ketika mendengar seseorang memanggil nama Pak Rivan. Mataku melebar kaget begitu melihat siapa yang saat ini tengah berlari dengan jas putih di tangannya. Bukan, itu bukan jas dokter, tapi jelas itu jas lab.                 Eh bentar, Mas Arfa bawa jas lab? Dia bekerja di mana sih? “Tumben mau ke sini, Fa?” “Mampir, Om. Kebetulan lewat.”                 Begitu melihat Mas Arfa celingukan, aku langsung balik badan, menyembunyikan wajahku. “Kata Mama kamu, sekarang kamu tinggal di apartemen—“ tiba-tiba suara Pak Rivan terputus. Untuk beberapa detik lamanya, aku tak mendengar apa pun. “Kan udah lama, Om, aku tinggal di sana.”   “Iya, ya? Om lupa, Fa.”                 Detik berikutnya, aku sudah tak mendengarkan obrolan mereka lagi. Terlebih ketika aku menyadari kalau hujan sudah mulai reda. Aku segera berdiri, lalu bergegas menuju parkiran di basement. Aku bersyukur kantor ini memiliki dua pintu menuju basement, jadi aku tidak perlu melewati mereka. “Nana!”                 Aku kembali menoleh ketika ada yang memanggilku. Senyumku mengembang, lalu menunduk sedikit untuk menyapa. “Belum pulang, Mas Rifqi?”                 Mas Rifqi menggeleng. “Ini baru mau. Banyak banget kerjaan tinggalan Mas Aga yang belum selesai. Maaf ya, jadi ngerepotin kamu tadi.” “Nggak papa, Mas. Aman! Udah selesai, kok.”                 Mas Rifqi tersenyum. “Bagus deh, kalau gitu. Mau pulang?” “Iya, Mas. Barusan nunggu hujan reda dulu.” “Pakai motor, ya?”                 Aku mengangguk. “Iya. Bawa jas hujan sih, tapi kalau nekat nerjang juga kayaknya tetap basah.” “Iya, bener. Ini udah mendingan.”                 Jantungku mendadak jumpalitan ketika menyadari aku dan Mas Rifqi berjalan beriringan menuju parkiran. Ini jelas bukan karena perasaan yang menuju ke sisi romantis, tetapi lebih karena aku grogi. Bagaimanapun juga, dia ini atasanku. “Na... eh, tadi teman-teman manggilnya Nana, kan?” Mas Rifqi berhenti, dan aku pun ikut berhenti. “Iya, Mas.” “Saya boleh minta nomor kamu?” “He?” “Nggak boleh, ya? Soalnya yang belum saya save tinggal punya kamu. Yang lain sudah.” “O-oh, boleh-boleh, Mas. Buat kerjaan masa nggak boleh.”                 Mas Rifqi tersenyum, lalu menyerahkan ponselnya padaku. Aku mengetik nomorku di ponsel Mas Rifqi, dan begitu selesai, aku mengembalikan ponselnya. “Makasih, ya, Na.” “Sama-sama, Mas.“                 Mas Rifqi kembali tersenyum, dan mau tak mau aku juga ikut tersenyum.    “NANA!” Aku berjengit kaget ketika ada yang memanggilku dengan suara yang cukup kuat. “Ya ampun, ngagetin!” ketusku begitu melihat Mas Arfa berjalan mendekat.   “Kamu kenal dia, Na?” tanya Mas Rifqi dengan kening berkerut. “Kenal, Mas. Kenal aja.” Aku membalas sekenanya. “Oh. Kalau gitu saya duluan, ya?” “Iya, Mas. Hati-hati...”                 Tepat ketika Mas Rifqi pergi menuju mobilnya, Mas Arfa tiba di depanku. Aku sendiri langsung balik badan dan bergegas menuju motorku, mengabaikan kedatangan Mas Arfa. “Na...” “Hm!”  “Cari makan, yuk?”                 Aku yang baru saja akan mencari kontak motor di tas, langsung berhenti setelah mendengar ajakan Mas Arfa. Aku menatap Mas Arfa dengan mata memicing. “Ngajak makan?” “Nggak mau?” “Nggak!” tolakku tegas. “Kalau kamu nggak mau kita berteman, aku bakal anggap kita masih pacaran.” “Ya nggak bisa gitu, dong!”                   Mas Arfa ini memang jagonya jadi manusia menyebalkan! “Jadi gimana?” “Ya nggak gimana-gimana. Aku—“ aku tak melanjutkan kalimatku ketika melihat mobil Mas Rifqi berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri saat ini.   Mas  Rifqi menurunkan kaca mobilnya, lalu tersenyum ramah padaku. “Nana, saya duluan, ya?” “Oh iya, Mas Rifqi. Hati-hati.” Mas Rifqi kembali tersenyum, dan aku juga mengikutinya. Setelah itu, mobil Mas Rifqi menjauh, meninggalkan parkiran. “Kamu bisa tersenyum selebar itu buat laki-laki lain, buat aku nggak bisa, Na?” “Nggak ada, udah habis stok.”                 Aku kembali berjalan, tetapi Mas Arfa tetap mengikutiku. “Beneran nggak mau nih, Na?” “Nggak. Mau makan di apartemen aja.” “Sayang banget, padahal aku udah pesan dua kursi di all you can eat yang waktu itu kita lihat di youtube.” Tahan, Na, tahan! Eh, tapi sayang! Aku dengar restoran all you can eat yang satu itu terkenal enak dan hampir selalu full booked.   “Yakin nggak mau, Na?”                 Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Nggak, makasih!”                 Kali ini aku tak memerdulikan Mas Arfa lagi, dan terus berjalan menuju motor. Aku mengambil jas hujan yang ada di jok, lalu menancapkan kontak motor yang sudah kuambil dari dalam tas.                   DUAR! “Aaaaa!” aku reflek jongkok lalu menutup telingaku rapat-rapat begitu mendengar bunyi petir menyambar dengan begitu kerasnya. Kepalaku seketika terasa pening, juga badanku gemetaran. Aku benci ini! Aku benci bunyi petir menyambar, karena itu akan membuatku seketika terlihat lemah dan menyedihkan! “Masih takut petir, Na?”                 Aku tak menyahut, dan lebih memilih untuk menyembunyikan wajahku di atas paha. Aku menunggu beberapa detik lamanya, sampai aku merasa lebih tenang. “Mas Arfa, minggir! Aku mau pulang!”                 Hening. Mas Arfa tak menyahut. Aku mendongak, dan tak mendapati Mas Arfa ada di dekatku.   “Mas Arfa?” aku celingukan, dan aku melongo ketika melihat Mas Arfa ternyata berada di sudut basement dengan motorku yang sudah dia bawa ke sana. Aku bahkan tak sadar kalau jas hujan yang tadi sudah aku keluarkan juga ikut dibawa serta.   “Mas! Kok motorku dibawa ke situ?” “Kita pulang bareng—“ “Nggak mau!” “Kamu mau kecelakaan lagi? Nekat motoran waktu hujan?”                 Kecelakaan lagi? Tahu dari mana dia, kalau aku pernah kecelakaan waktu hujan? “Dua kali kamu jatuh dari motor gara-gara nekat motoran waktu hujan dan ada petir. Jangan dikira aku nggak tahu.” “Nisa pasti laporan!”                 Mas Arfa tersenyum. “Iya. Dia kan memang calon adik ipar yang baik.” “Mantan calon adik ipar, tolong diralat!” “Dia sudah setuju aku jadi kakak iparnya. Tugasku sekarang tinggal menjinakkan kakaknya sekali lagi.” Aku mendengus, lalu berusaha berdiri meski pelan-pelan. Kakiku masih lemas, juga tanganku masih agak gemetaran. Oh iya, ngomong ngomong Nisa, dia itu adikku. “Aku mau pesan taxi online aja—” “Ya ampun, Na! Segitunya, kamu ini!” “Segitunya gimana? Bukannya kita udah setuju berpisah? Kalau iya, jangan kaya gini. Oke, aku setuju kalau kita berteman, tapi kalau berteman jangan berlebihan. Ngerti, kan?”                 Mas Arfa mengangguk. “Iya, ngerti. Oke, kita berteman. Tapi jangan protes kalau aku tetap akan berusaha mengubah status dari teman biasa jadi teman hidup.” “MAS ARFA!”  ***                 “Na, bangun, Na...” aku merasakan tanganku digoyangkan beberapa kali. “Nana...”                 Aku langsung menegakkan badan, dan mataku juga seketika terbuka lebar begitu sadar kalau saat ini aku berada di dalam mobil. Aku menoleh ke kanan, dan hatiku mencelos ketika melihat Mas Arfa sibuk dengan ponselnya. “Udah sampai.” Mas Arfa menoleh, dan itu membuatku menunduk malu.                 Bisa-bisanya ketiduran! Ya ampun, pengen terjun ke jurang aja rasanya!                 Jadi, tadi akhirnya aku ikut Mas Arfa pulang. Aku menurunkan sedikit egoku, karena selain aku masih gemetaran, hari juga semakin sore. Belum lagi, hujan di luar bukannya berhenti, malah sempat kembali deras. “Makasih!” Aku yang sudah buru-buru ingin keluar mobil, urung ketika sadar ada jas putih yang saat ini masih menyelimuti badanku.                 Mataku menyipit sebentar begitu melihat logo di jas itu. “LIPI?” aku menoleh, dan aku tak bisa menyembunyikan ekpresi takjubku. “Kenapa?”                 Aku menggeleng. “Dulu aku pernah punya cita-cita kerja di sini. Tapi kalau nggak salah, bagian yang ingin aku ambil waktu itu syaratnya harus S2. Jadi ya udah, pupus harapan.” “Mungkin ya Na, salah satu alasan kenapa kamu pada akhirnya nggak bekerja di LIPI, itu karena suamimu kelak sudah berkerja di LIPI.” “Suamiku kelak? – Ish!”                 Mas Arfa tertawa cukup keras, dan itu membuatku melemparkan jasnya, lalu keluar dari mobil.  Aku setengah berlari menuju lift, sambil sesekali menggosok kedua telapak tangan. Asli, suhu saat ini dingin sekali! “Na, tunggu!”                 Mas Arfa berlari, dan aku menekan tombol agar pintu kembali terbuka. Meski aku agak enggan satu lift dengannya, tetapi kayaknya aku terlalu jahat kalau sampai membiarkan dia masuk lift berikutnya. “Bentar, kok wanginya enak?” aku yang memang sudah kelaparan, langsung konek begitu mencium bau makanan. “Tadi waktu kamu tidur, aku beli dua porsi burger jumbo.” Ah, aku baru sadar kalau Mas Arfa membawa kresek putih di tangan kanannya. “Oh, kuat banget makan dua sekaligus.” “Kuat, lah. Kan dari dulu aku doyan makan.” Aku mendengus kecil begitu mendengar jawabannya.                 Dasar nggak peka! Ting!                 Pintu lift terbuka begitu kami tiba di lantai sembilan. Aku buru-buru berlari menuju unitku, tetapi tiba-tiba sebelah lenganku ditahan. “Apa lagi?” “Aku beli dua, yang satu buat kamu.” “Nggak perlu!” “Jangan sok nolak, kalau di dahimu sekarang udah ada tulisannya ‘aku lapar, aku lapar, aku lapar’.” Seulas senyum jahil terbit di wajah Mas Arfa. “Penghinaan banget, asli!” Mas Arfa malah tersenyum lebar, lalu dengan santainya tangannya terulur mengacak rambutku sampai benar-benar berantakan. “Kamu ini masih selucu dulu!” “Barbie kali, lucu!” Kali ini, tiba-tiba saja Mas Arfa menunduk, menyejajarkan tingginya dengan tinggiku. Dia juga meraih tanganku, lalu mengaitkan kresek burger di sana.“ Kita beneran bisa berteman, kan, Na?” Hening. Aku diam karena agak bingung harus merespon bagaimana. “Bisa, kan, Na?” Mas Arfa bertanya lagi. “B-bisa. Berteman aja, tapi,” balasku akhirnya. “Oke. Kalau  setuju berteman, jangan menjauh. Bisa juga, kan?”                 Demi kolor merah superman yang dipakai di luar, saat ini mataku justru mendadak salah fokus. Apalagi titik fokusnya ke benda yang berhasil membangkitkan ingatanku beberapa tahun lalu. “Bisa, ya, Na?” “E... a-aku pikir-pikir dulu! Burgernya makasih!”                 Detik itu juga, aku buru-buru masuk dan meninggalkan Mas Arfa sendirian di luar. Badanku melorot ke lantai setelah pintu tertutup rapat. Jantungku rasanya seperti mau copot ketika ingat barusan wajah jami berjarak sangat dekat. Seketika, bayangan beberapa tahun lalu mendadak mencuat ke permukaan.                 “Arrrgh! Nggak, nggak boleh gamon!” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD