Hari minggu adalah identik dengan hari malas. Aku biasanya hanya menghabiskan hari di kasur, entah tidur atau menonton film untuk sekadar hiburan. Akan tetapi, hari minggu kali ini agak sedikit berbeda. Tiba-tiba saja, ibu kos pagi-pagi sekali sudah datang menggedor kamarku.
Beliau bilang, kalau kamarku akan disewakan ke saudaranya, dan uang kos yang sudah aku bayar akan dikembalikan, bahkan dua kali lipat. Jelas awalnya aku tidak terima, mau dua atau tiga kali lipat sekalipun, rasanya aku seperti sedang diusir. Selain agak sulit mencari kos yang cocok seperti kosku yang sekarang, aku juga tidak ingin berjauhan dengan Tika.
Kenapa dari sekian banyak kamar kos, harus aku yang keluar?
“Bu, kenapa harus kamar saya, sih?”
“Soalnya kamar kamu letaknya paling strategis, juga paling sering kena sinar matahari di pagi hari.”
“Masa sih, Bu? Satu deretan ini kalau pagi kena sinar matahari semua sejak pohon mangganya dipotong bulan lalu.”
Mataku memicing ketika Bu santi – nama dari ibu kosku, tampak gelagapan. “Eee— soalnya saudara saya itu suka seka dengan kamar ini.”
“Tapi nggak bisa gini, dong, Bu. Kalau saya harus pindah, bagaimana dengan barang-barang saya? Cari kos itu nggak mudah, saya juga kerja full day—“
“Kan saya kasih waktu pindah satu minggu, Mbak Nana. Saya juga sanggup bayar dua kali lipat. Mbak Nana sudah bayar dua bulan, nanti saya ganti empat bulan. Kurang baik apa, saya?”
“Loh, mau ibu ganti tiga kali lipat juga, ibu nggak baik soalnya ibu ngusir saya. Padahal dari awal sudah deal.”
Aku terkejut ketika Bu Santi tiba-tiba saja berdiri dan menatapku garang. “Sebelum saya marah, pokoknya minggu depan Mbak Nana sudah harus pindah. Uangnya saya transfer ke rekening nanti malam.”
Setelah mengatakan itu, Bu Santi main keluar begitu saja dari kamarku. Tidak pamit, dan seolah permintaannya agar aku segera pindah dari kos tidak bisa dibantah sama sekali.
“Bu Santi! Ibu!” Aku hendak menyusul beliau, tetapi beliau lebih dulu pergi dengan motornya.
Seketika, aku kembali masuk kamar dan terduduk di kasur. Aku yang bahkan belum sempat sarapan, semakin lemas saja.
“Nana! Nana! Bu Santi ngapain datengin kamarmu pagi-pagi?” Tiba-tiba saja, Tika datang nyelonong masuk ke kamarku.
“Aku diusir!” balasku sambil menghempaskan badan di kasur.
“Diusir?”
“Iya! Katanya kamarku ini mau disewakan ke saudara Bu Santi. Uang kosku mau diganti dua kali lipat!”
“Loh, kok gitu?”
“Mana aku tahu! Tik, gimana ini?” Air mataku saat ini sudah mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung. Melihat itu, Tika segera menarikku bangun dan memelukku.
“Sabar ya, Na. Nasib bener hidupmu!” Tika mengelus punggungku berkali-kali. “Ntar aku bantu cariin yang bagus, tapi harga miring.”
“Kamu mau ikut pindah bareng aku nggak, Tik?”
“Kalau cocok, aku ikut pindah. Kalau nggak, maaf, kita ketemu di kantor aja—“
“Tika! Ya ampun, pengen nangis!”
“Lah, udah nangis gini, dodol!” Tangisku semakin keras dan hiperbolis, sementara Tika terus saja menenangkanku.
Kenapa hidupku gini banget, sih!
***
Malam ini aku pergi keluar tanpa mengajak Tika. Aku ingin mendinginkan otakku dengan jalan-jalan di sekitar taman yang berada tidak jauh dari kos. Di tanganku, ada satu kresek putih yang berisi lebih dari lima bungkus eskrim dengan rasa berbeda. Kalau sedang dalam mood yang buruk seperti ini, biasanya aku melampiaskan kekesalan dengan makan banyak es krim.
Saat ini, aku duduk di ayunan yang berada di sudut taman. Sesekali aku menatap langit, lalu kembali melamun, memikirkan di mana aku akan tinggal setelah ini. Bu Santi tampaknya sangat serius, bahkan tadi sore beliau kembali mendatangiku dan memberiku banyak makanan. Entah itu sogokan atau apa, tapi yang jelas aku justru semakin merasa diusir.
Malam ini, langit seolah tahu bagaimana suasana hatiku. Benar-benar gelap, tidak ada bulan, juga tidak ada bintang. Memang dari tadi sore langit sudah mendung, awan gelap menggulung di atas sana, tetapi hujan tak kunjung turun sampai detik ini.
“Beneran kamu ternyata.”
Aku langsung mendongak ketika mendengar suara berat laki-laki. Mataku melebar kaget, tetapi lidahku tak kuasa untuk sekedar membalas ucapannya.
Mas Arfa? Kok bisa di sini?”
“Es krim lagi, Na?” Kresek di tanganku dia ambil, lalu dengan lancangnya mengambil satu rasa coklat.
“Ih, jangan yang rasa coklat—“
Mas Arfa malah dengan tersenyum, lalu mengganti es krim rasa coklat dengan rasa melon. “Yang ini juga masih belum berubah.”
Aku tak menanggapi kalimatnya, dan lebih memilih untuk merebut kembali kresek milikku. Aku buru-buru berdiri dan bergegas pergi, tetapi langkahku langsung terhenti ketika jaket bagian belakangku ditahan. Aku balik badan, setelah sebelumnya berhasil menepis tangan yang dulu suka sekali menggandeng tanganku ke mana-mana.
“Mas Arfa ini penguntit, ya? Nggak ada kerjaan, emang?” tanyaku dengan mata memicing.
“Nguntit sih enggak, tapi emang lagi nggak ada kerjaan, soalnya aku kerjanya siang. Oh iya, tadi minggu, jadi libur.”
“Oh!” aku yang kembali hendak pergi, lagi-lagi berhasil ditahan.
“Kamu kenapa sih, Na, tiap lihat aku selalu lari kaya lihat hantu? Kalau kamu ingin kita udahan, ya, oke. Tapi jangan menghindar. Kita bisa berteman—”
“Yakin bisa?” potongku, kali ini kuberanikan menatap balik mata Mas Arfa.
“Bisa dong, Na. Teman hidup.” Mas Arfa tersenyum lebar di ujung kalimat, membuatku serasa ingin melempar batu-bata ke wajahnya.
“Lucu, ya?”
“Iya, kamu itu lucu banget, Na. Makanya aku masih suka kangen.” Mendengar itu, aku hanya bisa menggeram tertahan.
Sebelum aku mendengarkan kalimat-kalimat ajaib lain keluar dari mulut Mas Arfa, kali ini aku tak membiarkan dia menahanku dan langsung lari begitu saja. Namun, baru saja aku berlari beberapa meter, aku melihat ada anjing berukuran agak besar sedang berjalan masuk taman. Praktis aku menjerit, lalu kembali lari masuk.
“Mas Arfa, ada Anjing!” aku reflek bersembunyi di belakang Mas Arfa, memegangi kedua sisi jaket yang dia pakai. “Cepetan usir, anjingnya!” tanganku saat ini sudah gemetaran ketika anjing yang aku lihat semakin mendekat.
“Mas Arfa, buruan usir!” aku mendongak, karena saat ini Mas Arfa hanya diam, membiarkan anjing yang tadi mendekat terus mendekat.
“Aku usir anjingnya, tapi syaratnya balikan. Gimana?”
“Ya ampun, sempat-sempatnya!” air mataku sudah menggenang di pelupuk, dan tanganku semakin gemetaran. Lain kali ingatkan aku supaya cerita kenapa aku sangat takut dengan anjing.
Ketika aku mulai memejamkan mata karena ketakutan, yang aku rasakan berikutnya adalah basah. Sebentar, maksudku, tiba-tiba hujan datang dengan begitu derasnya. Entah bagaimana detailnya, saat ini Mas Arfa sudah menggenggam tanganku dan mengajakku lari menuju tempat peneduhan terdekat.
“Aduh, basah kuyup! Eh, kemana anjingnya?” aku celingukan kanan kiri, dan mendesah lega karena tidak menemukan ada anjing di sekitarku.
“Anjingnya udah aku usir, dan lari ke selatan.”
“Untung nggak ngikut!”
“Soalnya nggak mau ganggu kita berduaan, Na.”
Mendengar itu, praktis aku menjauh dan melepaskan genggaman tangan kami. “Dasar nggak jelas!”
“Kamu yang nggak jelas. Sampai detik ini aku bahkan nggak tahu kenapa kamu minta putus. Apa salahku sih, Na?”
“Kenapa mendadak bahas itu? Nggak ada hubungannya juga!”
Aku semakin menjauh ketika Mas Arfa mendekat. “Jelas ada. Jadi kenapa, Na?”
“Jangan bahas itu lagi. Bukannya waktu itu udah setuju kalau kita—“
“Aku udah setuju karena menghormati keputusan kamu, tapi tolong kasih tahu aku alasan kenapa kamu ingin kita berpisah?”
“Ya karena udah nggak ada perasaan lagi—“
“BOHONG!”
Aku berjengit kaget ketika suara Mas Arfa meninggi. Kali ini aku bahkan tak bisa berkutik ketika Mas Arfa mengulurkan tangannya, menyentuh kedua pundakku, dan menatap lekat mataku.
“Aku yakin kamu ada alasan lain. Iya, kan? Nggak ada perasaan, katamu? Belum lama setelah kita putus, kita habis ketemu. Kamu sendiri yang bahkan berinisiatif mengajakku ke sana kemari. Kamu bilang kita harus puas-puasin kencan, mumpung aku di Jogja. Aku balik Jakarta kamu juga mengantarkanku ke bandara. Aku bisa merasakan cintamu, meski kamu nggak bilang apa pun. Atau kamu diam-diam selingkuh?”
“NGGAK! Aku bukan tukang selingkuh!” tolakku tegas.
“Jadi?”
“Udah, ih. Orang udah lama juga.” Aku buru-buru menurunkan tangan Mas Arfa, sambil meringis. “Aku duluan!”
Detik berikutnya, aku memutuskan untuk berlari menerjang hujan. Sudah kepalang tanggung juga bajuku basah, mending sekalian pergi dan hujan-hujanan sekalian, daripada harus terjebak berdua dengan suasana super canggung.
“Biar aku anterin!” Aku mendelik ketika tiba-tiba ada tangan yang meraih tanganku, lalu menarikku dan mengajakku lari bersama. Sebenarnya, aku ingin menepis tangan itu, tetapi entah kenapa aku merasa tidak rela.
Akhirnya, hanya butuh waktu sekitar tiga menit berlari, kami sudah sampai di depan kosku.
“Buruan masuk, nanti masuk angin. Jangan lupa mandi, terus ganti baju juga yang hangat,” ujar Mas Arfa begitu dia berhasil membukakan pintu gerbang untukku.
“Bentar! Kok tahu kalau kosku di sini?”
“Ha? Y-ya tahu, lah! Setahuku cuma ini kosan paling dekat dengan taman tadi. Kamu nggak bawa kendaraan, jadi udah pasti kamu jalan kaki.”
Masuk akal juga, sih. “Ya udah. Aku masuk. Eh bentar, tunggu sepuluh detik.”
Aku buru-buru berlari ke dalam untuk mengambil payung. “Nggak usah kepedean, ini ucapan makasih buat ngusir anjing tadi.” Aku mengulurkan payung itu, dan Mas Arfa menerimanya.
“Makasih, Na.”
“Hm!”
Aku langsung balik badan dan bergegas masuk.
“Nana!”
Aku tidak menoleh ketika Mas Arfa memanggilku. Aku tidak akan membiarkan dia mengerjaiku seperti ketika kami di parkiran perusahaan.
“Parfummu masih sama, itu wangi yang aku pilih di kencan pertama kita, kan? Waktu kita mampir ke Jogja City Mall.” Mendengar itu, aku tidak bisa kalau tidak menoleh ke belakang.
Sebenarnya apa sih, yang nggak bisa Mas Arfa ingat tentangku?
“Mulai besok aku ganti!” balasku akhirnya.
“Jangan! Aku masih suka wanginya!” Setelah mengatakan itu, Mas Arfa tersenyum, lalu pergi dengan payung pemberianku, yang sudah lebih dulu dia rekahkan.
***