Pada sebuah zaman, terdapat kerajaan besar yang namanya sangat mahsyur dikenal oleh banyak orang, kerajaan itu selalu dipimpin oleh garis keturunan yang sah dan resmi. Selama beberapa dekade, kerajaan tersebut bergerak maju pesat karena pemimpinnya yang adil dan bijaksana.
Kerajaan besar itu bernama Narayana, saat ini kerajaan tersebut dipimpin oleh Raja Rawindra yang juga adil dan bijaksana, ia memimpin kerajaan dengan sebaik mungkin. Raja Rawindra merupakan keturunan ke enam yang memimpin kerajaan Narayana, sama seperti pendahulunya, ia merupakan sosok yang tangguh dan disayangi oleh rakyatnya.
Raja Rawindra memiliki satu permaisuri dan satu selir, masing-masing bernama Daneswari dan Jyotika, meskipun sama-sama menjadi istri dari raja, kedua wanita itu memiliki sifat yang berbeda jauh. Daneswari adalah wanita yang baik dan penuh kelembutan, sedangkan Jyotika memiliki sifat iri dan juga licik.
Daneswari memiliki tiga anak dari hasil pernikahannya dengan Rawindra, mereka bernama Hansa, Hara dan Haridra. Sedangkan Jyotika hanya memiliki satu anak laki-laki, yakni bernama Mahabala.
Hansa Ekata, ia adalah anak sulung dari Raja Rawindra dan juga Ratu Daneswari. Hansa merupakan putra mahkota yang digadang-gadang akan meneruskan takhta dari sang ayah, Hansa merupakan ksatria yang baik dan ramah, rumor ketampanan anak sulung itu sudah menyebar sampai ke kerajaan-kerajaan lain. Memang benar, Hansa adalah anak tertampan dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain, ketampannya itu diimbangi dengan sifat baiknya. Hansa sering mengunjungi desa-desa untuk memantau warga, ia juga suka membantu orang-orang yang mengalami kesulitan.
Rakyat Narayana sangat menyukai sifat baik Hansa, mereka memang mendukung penuh ketika Hansa akan diangkat menjadi Raja selanjutnya.
Hara Garwita, anak perempuan satu-satunya. Ia merupakan ksatria wanita yang tangguh dan juga cerdas, Hara memang sudah dilatih sedari kecil untuk menjadi ksatria yang hebat, meskipun ia seorang wanita, tapi ketangguhannya dalam melawan musuh tak dapat dianggap remeh. Hara memiliki ilmu bela diri dan juga tenaga dalam yang cukup tinggi.
Haridra Mahanta, anak bungsu dari Raja Rawindra dan Ratu Daneswari. Haridra adalah sosok anak yang sangat baik dan sopan, ia dikenal sebagai jiwa yang murni karena selama hidupnya, ia tak pernah melakukan hal buruk ataupun kebohongan. Haridra juga memiliki ilmu yang sangat tinggi dibandingkan dengan kakaknya.
Ketiga bersaudara itu saat ini tengah berjalan-jalan disekitaran kerajaan, mereka memantau aktivitas warga yang sedang melakukan kegiatan jual beli di pasar tradisional.
Hansa memakai mahkota khas seorang putra mahkota, ia tersenyum saat melewati para warga.
“Kegiatan jual beli di pasar ini cukup ramai.” Haridra berujar, kedua tangannya ia taruh di belakang tubuh.
“Ya, kau benar. Aku senang melihat para warga yang bisa bekerja dan juga memenuhi kebutuhan mereka.” Jawab Hansa, ketiganya pun berpapasan dengan sekelompok warga yang hampir membungkukkan badan tatkala melihat mereka sedang berjalan.
Dengan sigap Haridra langsung menahan orang-orang itu agar tidak membungkukkan badan padanya.
“Putra Mahkota Hansa, Pangeran Haridra dan juga Putri Hara, ada apa gerangan sehingga membuat anda berkenan mengunjungi pasar kami yang kotor ini?” Salah satu warga memajukan dirinya sambil menangkup kedua telapak tangan.
Hansa mengulas senyum ramahnya, begitu juga dengan adik-adiknya.
“Kami hanya ingin memantau keadaan pasar, pasar ini bersih dan juga rapi.” Hansa mengedarkan pandangannya ke segala arah, ia bisa melihat bahwa pasar ini ditata dengan berurutan sesuai dengan produk-produk yang mereka jual.
Dashan, salah satu warga desa itu merasa tersanjung dengan ucapan Hansa, ia merasa senang dengan pembawaan Hansa yang baik dan sopan.
“Terimakasih untuk sanjungan Anda, Putra Mahkota. Apakah kalian berkenan untuk singgah di kedai kami? Saya akan merasa sangat beruntung jika kalian mau berkunjung.” Dashan berkata dengan harap-harap cemas, ia takut jika mereka menolak tawarannya.
Hara menatap ke arah kakak dan adiknya, ia pun melemparkan senyuman manisnya. “Tentu saja, Paman. Kami akan mengunjungi kedaimu, ada di sebelah mana?”
Dashan tersenyum cerah, ia memang tidak salah memuja-muji tiga bersaudara itu, mereka sangat ramah. Para warga yang lainnya pun turut senang, mereka semakin menyukai ketiga bersaudara itu.
“Wah, kau beruntung sekali, Dashan!” Ujar seorang pria yang memakai caping rotan.
Dashan semakin senang saja, ia pun segera menunjukkan arah keberadaan kedainya.
“Mari, akan saya antarkan.” Dashan buru-buru menunjuk jalannya, ia terlalu bersemangat sampai-sampai bersenggolan dengan warga lain. Warga memang mengetahui kebiasaan Dashan yang sangat mengagumi keluarga kerajaan, maka tak heran jika Dashan sesenang itu dikunjungi oleh putra-putri Raja Rawindra.
Sesampainya di kedai makanan milik Dashan, tiga bersaudara itu langsung dipersilahkan duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu, sejujurnya mereka tidak terlalu senang diperlakukan seperti ini, Hansa, Hara dan juga Haridra lebih senang diperlakukan biasa saja layaknya teman.
“Saya akan menyajikan makanan terbaik yang ada di kedai ini, tunggu sebentar.” Ujar Dashan, setelahnya ia langsung berlari masuk ke dalam ruang memasaknya. Tak lupa Dashan juga memberitahukan kedatangan putra-putri kerajaan Narayana pada istrinya, wanita dengan rambut tergulung itu sama senangnya seperti sang suami.
Hara terkekeh geli melihat pasangan suami istri itu, baginya mereka sangat lucu.
“Mereka sangat lucu.” Hara berusaha menahan tawanya.
Haridra pun turut terkekeh seperti kakak perempuannya. Matanya mengedar ke seluruh penjuru, dari tempatnya duduk, ia masih bisa melihat aktivitas warga lain. Ada yang sedang melakukan negosiasi barang, mengangkat karung beras, dan juga memberikan hewan ternak makan. Pasar ini menjual berbagai kebutuhan, ada bahan makanan, makanan yang sudah jadi ataupun hewan-hewan ternak yang masih hidup.
Selama beberapa saat, ketiga bersaudara itu saling mengobrol banyak, mereka membahas mengenai kondisi sekitar dan juga mengenai politik kerajaan.
“Haridra, kenapa kau tidak mau diangkat menjadi seorang putra mahkota? Padahal ilmu bela diri dan juga tenaga dalammu melebihi diriku, aku yakin bahkan kau lebih bisa memegang kendali kerajaan nantinya.” Tanya Hansa, jika boleh memilih, ia lebih suka hidup sebagai pangeran biasa, tapi titah ayahnya tidak bisa ia tolak. Rawindra telah memberikan mandate pada Hansa untuk meneruskan takhta kerajaan, maka dari itu Hansa menyetujuinya.
Pemilihan putra mahkota didasari atas faktor-faktor tertentu, yakni; harus lahir dari rahim permaisuri, memiliki hati yang baik, mempunyai ilmu bela diri yang mumpuni, dan juga memiliki pengetahuan serta wawasan yang luas.
Sebenarnya Hansa dan Haridra sama-sama memiliki sifat-sifat di atas, mereka sangat cocok untuk menjadi kandidat putra mahkota yang mewarisi takhta kerajaan Narayana. Namun, Haridra menolak kandidat itu, sejujurnya ia tidak terlalu menyukai politik, ia lebih suka menjadi pangeran dan ksatria biasa, dengan begitu ia bisa melakukan perjalanan mengembara untuk mencari ilmu baru dan bisa menolong orang-orang yang ditemuinya. Terlebih lagi, Haridra sangat menghargai kakak sulungnya, ia merasa bahwa Hansa lebih pantas dibandingkan dirinya.
Haridra menoleh menatap kakak sulungnya. “Aku merasa tidak pantas, Kakak adalah anak sulung, kau juga memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Aku lebih suka hidup bebas keluar masuk kerajaan, dibandingkan duduk dikursi politik.”
“Ya, sebenarnya aku juga ingin seperti itu, tapi takdir berkata lain. Aku harus menerima titah Ayah yang memintaku untuk menjadi penerus kerajaan.” Hansa menghela napas pelan.
Haridra menepuk-nepuk pundak kakaknya untuk memberikan semangat. “Kau pantas menduduki takhta Narayana!”
Tak berselang lama, Dashan dan istrinya pun keluar sambil membawakan banyak makanan, pria usia duapuluh tujuh tahun itu tergopoh-gopoh membawa nampan anyaman yang berisi piring-piring penuh makanan. Tanpa diminta, Hara pun membantu istri Dashan membawa nampan tersebut, jika dilihat dari fisiknya, nampaknya istri Dashan sedang mengandung karena perutnya yang terlihat membesar.
“Bibi, biarkan aku yang membawanya, kau sedang hamil ‘kan?” Hara berkata dengan penuh kelembutan.
Astri, istri dari Dashan itu tersenyum malu-malu, baru kali ini ia melihat wajah manis Hara dari dekat, seperti sebuah keberuntungan yang menimpa dirinya. Ia berharap suatu saat nanti jika anak yang dikandungnya perempuan, akan sama cantiknya seperti Hara.
“Putri Hara, biarkan saya saja yang membawanya, Anda tidak pantas membawa benda-benda ini.” Astri bersikukuh untuk menolak tawaran Hara, bukan apa-apa, ia hanya tidak ingin merendahkan derajat tuan putrid dari kerajaan Narayana itu.
“Tidak apa-apa, Bibi. Biarkan aku membantumu, ya?” Ujar Hara.
Akhirnya pun Astri mengangguk mengiyakan, ia menyerahkan nampan tersebut pada Hara sambil meringis pelan karena tidak enak hati. Dalam hati Astri mengangumi kebaikan hati Hara, putrid satu-satunya dari Raja Rawindra berhati lemah lembut.
Hara membawa nampan tersebut dan mengantarkannya ke meja yang ia duduki bersama Hansa dan Haridra. Ia juga meletakkan piring-piring yang terbuat dari tanah liat itu pada meja makan, Hansa senang melihat adik perempuannya yang tumbuh dengan sopan santun dan adab yang baik.
“Terimakasih, Paman dan Bibi.” Ujar Hansa pada Dashan dan Astri.
“Sama-sama, Putra Mahkota.”
Dashan sudah beranjak dari posisinya, tapi Astri masih berdiri di dekat meja tiga bersaudara itu. Dashan menoleh ke belakang melihat Astri yang memilin-milin jarinya, tatapannya masih tertuju pada mereka.
Haridra yang menyadari tatapan Astri pun menatapnya. “Ada apa, Bibi?”
Sontak saja Astri pun menunduk malu-malu karena ketangkap basah sedang mengamati tiga bersaudara itu, sebenarnya ia masih terkagum-kagum dengan Hansa, Hara dan juga Haridra.
“Astri, kenapa?” Tanya Dashan, ia tersenyum kaku pada Haridra karena merasa sungkan atas ulah istrinya.
Hansa dan Hara menghentikan aktivitas makan mereka, keduanya turut menatap ke arah yang sama.
“B-bisakah anda mendoakan calon anak kami?” Tanya Astri dengan sangat lirih, tapi mereka masih bisa mendengarnya.
Dashan mengerti sekarang, Astri dan dirinya sama-sama mengagumi dan menjunjung tinggi keluarga kerajaan Narayana, oleh sebab itu mereka ingin mendapatkan doa dari putra-putri ksatria itu.
Hara tersenyum maklum, ia pun berdiri dari duduknya dan mendekati wanita hamil itu. Astri sempat mematung sesaat, ia tidak percaya jika Hara si putrid cantik itu mau mengabulkan permintaannya.
Hara sedikit menunduk, tangannya bergerak menuju perut Astri yang buncit.
“Semoga adik bayi yang ada di dalam kandungan selalu sehat, setelah lahir nanti ku harap bisa menjadi anak yang berbakti pada orangtua.” Hara mengelus-elus perut Astri, Dashan dan Astri melihatnya dengan penuh haru.
“Terimakasih, Putri Hara.” Ujar Astri.
Saat Hara berdiri dengan tegap, ia memeluk Astri dengan erat, Hara tidak pernah membeda-bedakan manusia dari derajat dan kedudukannya. Di mata Hara, semua manusia sama dan sebanding derajatnya.
Astri semakin berkaca-kaca, ia pun membalas pelukan Hara.
“Sama-sama, Bibi. Selalu sehat ya, jaga kandunganmu dengan baik.” Ujar Hara setelah melepaskan pelukan mereka.
Hansa dan Haridra pun turut mengelus perut buncit Astri, mereka menggumamkan doa-doa baik agar calon bayi itu tumbuh kembang dengan baik.
Warga yang melihat kejadian itu pun semakin bertambah mengagumi putra-putri Raja Rawindra dan Ratu Daneswari. Seharian ini, nama Hansa, Hara dan Haridra menjadi topik pembicaraan yang paling hangat.
Sanjungan demi sanjungan terucap dari bibir warga mengenai sifat baik tiga bersaudara anak-anak dari Daneswari, hal ini sampai ditelinga Ankara. Ia adalah kakak laki-laki dari Jyotika, yang berarti paman dari Mahabala. Ankara merupakan ksatria dari kerajaan seberang, tapi ia seringkali tinggal di kerajaan Narayana agar dekat dengan adik dan keponakannya. Ankara sangat licik dan juga jahat, ia selalu menghasut Mahabala agar merebut takhta dari Hansa.
Ankara marah saat warga memuja-muji nama anak-anak Daneswari, bukan Mahabala. Ia memiliki sifat iri dan dengki, Ankara tidak suka saat Hansa menjadi putra mahkota kerajaan besar Narayana. Bagi Ankara, takhta itu hanya pantas diduduki oleh keponakannya, Mahabala.
Ankara berjalan tergesa-gesa untuk menemui adik dan keponakannya, wajahnya terlihat mengeras penuh akan amarah, tangannya saling mengepal dengan erat.
“Adikku, keponakanku!” Sesampainya di pintu ruangan, Ankara memanggil-manggil Jyotika dan Mabahala.
“Ada apa, Paman?” Mahabala bangkit dari duduknya, ia mengepakkan jubah khas pangeran yang dikenakannya.
Jyotika datang dari arah lain, ia mengerutkan keningnya melihat sang kakak sedang menahan api amarah. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangi Ankara sambil bertanya-tanya.
“Kau kenapa?” Tanya Jyotika sesampainya ia berada di depan sang kakak.
Ankara mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, matanya memincing ke arah Jyotika dan Mahabala.
“Warga sedang mengagung-agungkan nama anak-anak Daneswari, mereka memuji Hansa, Hara dan Haridra. Mahabala keponakanku, apakah kau akan diam saja melihat warga yang menyanjung tinggi tiga bersaudara itu, sedangkan kau seakan-akan tidak dianggap di dalam kerajaan besar ini?” Ankara mulai menjelaskan.
Mahabala mengetatkan rahangnya, giginya saling bergemalatuk mendengar ucapan pamannya.
“Tidak akan ku biarkan mereka bersenang-senang di atas penderitaanku, kenapa warga selalu memihak mereka dibandingkan aku?” Mahabala mengepalkan tangannya.
Ankara mendekati keponakannya, ia memegang pundak Mahabala dan mengitarinya.
“Karena mereka bertiga pandai mencari muka, terutama Hansa, ia adalah kandidat terpilih yang akan menjadi penerus kerajaan Narayana. Oleh sebab itu, Hansa berpura-pura baik di depan warga.” Ujar Ankara, ia menggertakkan giginya hingga bergemelatuk.
Mahabala adalah anak dari Jyotika, ia memiliki sifat pemarah dan juga dengki. Mahabala menanamkan kebencian pada Hansa, Hara dan juga Haridra karena baginya, ketiga saudaranya itu adalah batu pengganggu jalannya.
“Hansa, Hansa, Hansa! Kenapa Ayah memilihnya menjadi putra mahkota, kenapa bukan aku? Ayah selalu berpilih kasih, ia tak pernah menganggap keberadaanku.” Mahabala berteriak nyaring, ia bahkan melempar barang-barang yang ada dikamarnya sehingga berbunyi nyaring.
Jyotika dan Ankara meringis pelan, seperti itulah sifat pemarah Mahabala.
Mahabala selalu berambisi untuk mendapatkan takhta kerajaan Narayana, sayangnya hal itu tidak bisa ia dapatkan karena terkendala oleh aturan-aturan yang ada pada kerajaan. Ayahnya sama sekali tidak meliriknya untuk dijadikan kandidat, Mahabala sangat membenci Hansa dan yang lainnya.
Jyotika yang melihat putranya selalu diabaikan pun turut membenci Daneswari dan putra-putrinya, bahkan Daneswari sendiri pun lebih disayang oleh Rawindra dibandingkan dirinya.
“Mahabala, kau harus bertindak, buat nama Hansa dan saudara-saudarirnya menjadi buruk di mata warga.” Jyotika mendekati putranya dan berkata demikian, ia tak mau jika anaknya terus disudutkan dan tak dianggap seperti ini, Mahabala juga memiliki hak untuk diagung-agungkan seperti anak-anak Daneswari.
“Adikku, Jyotika! Aku sudah memiliki rencana untuk menghancurkan nama Hansa.” Ankara terseyum miring saat otak liciknya memiliki ide untuk menjelek-jelekkan Hansa di mata masyarakat.
“Benarkah itu, Paman?” Mahabala menghentikan kegiatan memecah barang-barang, matanya menatap Ankara dengan penuh tanya.
“Ya, keponakanku. Pamanmu ini akan melakukan segala cara agar kau bisa merebut gelar putra mahkota dari Hansa dan menjadikanmu penerus takhta kerajaan ini.” Ankara menyeringai dengan licik.
Jyotika dan Mahabala turut tersenyum licik, Ankara selalu bisa diandalkan dalam hal seperti ini.
Sudah sejak dari dulu ia tidak menyukai Daneswari, begitu pula dengan ketiga anaknya. Jyotika selalu iri dan dengki atas pencapaian mereka, ia juga berusaha untuk menghancurkan nama baik Daneswari di depan sang suami, Raja Rawindra, tapi upayanya selalu gagal.
Daneswari adalah ratu yang baik, maka Raja Rawindra tidak akan mudah terkena hasutan Jyotika.
***
Sepulangan ketiga bersaudara Hansa, Hara dan Haridra, ketiganya pun langsung memasuki gerbang istana, mereka berjalan beriringan sambil menyapa para prajurit yang berjaga. Memang benar bahwa anak-anak dari Ratu Daneswari berbudi luhur, bahkan sangat sopan tanpa mempedulikan kedudukan atau derajat seseorang.
"Selamat datang, Pangeran dan Putri." Prajurit yang sedang berdiri tak jauh dari gerbang istana menyapa ketiganya, ia berani melakukan hal itu karena tiga kakak beradik tersebut memang sangat baik dan ramah.
"Terimakasih, Paman." Sahut Haridra.
Sedangkan Hansa dan Hara tersenyum sopan padanya, inilah yang selalu diajarkan oleh sang ibunda, Daneswari sering menekankan bahwa sebagai manusia, mereka tak boleh sombong atas apa yang telah dimiliki. Meskipun mereka adalah putra-putri kerajaan besar Narayana, tapi ketiganya harus bersikap rendah hati.
Dari arah depan sana, ada Daneswari yang sedang berjalan-jalan di sekitar istana. Wajahnya sangat ayu, tingkah lakunya begitu lembut, ia adalah ratu yang disayangi oleh rakyatnya. Didikan baik yang anak-anaknya dapatkan merupakan ajaran dari Daneswari.
Hara berjalan terlebih dulu, ia ingin menyapa ibunya. Hara adalah anak perempuan satu-satunya, oleh karena itu ia lebih dekat dengan sang ibu, tapi itu bukan berarti bahwa Hansa dan Haridra jauh dari ibunya, mereka tetap sama-sama dekat.
Hara Garwita merupakan seorang putri yang cantik jelita, wajahnya yang manis, lesung pada kanan dan kiri pipinya serta aura yang memancarkan keteduhan, ia adalah sosok putri yang sangat agung.
Sudah banyak pria yang ingin meminangnya, tapi Hara berkata bahwa ia belum ingin menjalin sebuah asmara, Hara masih ingin memiliki banyak waktu untuk berpetualang dengan sadara-saudaranya. Belum lagi jika nantinya Hansa sudah diresmikan menjadi Raja, maka ia dan kakaknya akan jarang bepergian lagi. Oleh sebab itu, Hara ingin menghabiskan banyak waktu dan kenangan bersama kakak dan adiknya.
"Ibu!" Hara berseru, ia menambah laju langkahnya hingga berlari kecil. Walaupun usianya telah menginjak duapuluh tahun, tapi sifatnya yang sangat menyayangi sang ibu membuatnya sangat lengket terhadap Daneswari.
Daneswari menoleh mencari keberadaan suara dari putrinya, benar saja di sana Hara sedang berlari kecil menghampirinya.
"Hara, kau selalu saja berlari." Ujar Daneswari tatkala sang putri sudah tiba didepannya.
Hara menyengir kuda, ia memeluk ibunya dengan erat. "Apa kabar, Bu?"
Selama tiga hari kemarin Hara tidak bertemu dengan Daneswari karena wanita itu sedang pergi menghadiri undangan para ratu, oleh sebab itu tatkala Hara melihat ibunya, ia langsung menempel seperti perangko.
"Kabar Ibu baik, Nak. Kalian sendiri bagaimana?" Tanya Daneswari, ia mengusap kepala Hansa, Hara dan Haridra bergantian.
"Kabar kami baik, yah seperti ini." Balas Haridra, ia tersenyum lebar.
"Syukurlah kalau begitu, lalu darimana kalian ini?" Daneswari tidak mendapati putra-putrinya berada di istana saat ia pulang tadi.
Hara melepas tautan mereka, ia menatap ibunya sambil menunjuk ke arah perkampungan.
"Seperti biasa, kami baru pulang dari perkampungan, melihat-lihat pasar dan sekitarnya." Hara berujar dengan gembira.
"Benar, pasar dalam keadaan aman dan terkendali, kegiatan jual beli juga sangat lancar." Hansa menimpali, sebagai calon penerus takhta kerajaan, ia harus bisa memperhatikan keadaan rakyat, perkampungan dan juga akses perdagangan serta lainnya.
Sejujurnya Hansa tidak berkeinginan menjadi calon raja selanjutnya, ia lebih suka hidup selayaknya pangeran biasa dan akrab dengan penduduk. Jika kelak ia menjadi raja, maka Hansa akan disibukkan dengan urusan pemerintahan dan tidak sempat memiliki waktu untuk bercengkrama dengan rakyatnya.
Dalam peraturan kerajaan, anak sulung dan hanya anak dari permaisuri sah lah yang akan menjadi penerus kerajaan. Bisa saja Hansa memberikan hak ini pada adiknya, meskipun Haridra bukan anak sulung, tapi ia adalah anak sah dari Raja Rawindra dan Ratu Daneswari, maka dari itu jikalau Hansa menyerahkan jabatan penerus kerajaan pada sang adik, maka boleh-boleh saja.
Namun, Haridra selalu menolak saat sang kakak menawarinya jabatan itu. Haridra sama sekali tidak tertarik dengan politik pemerintahan, ia lebih suka bertualang ke perkampungan-perkampungan, mencari ilmu bela diri sebanyak-banyaknya dan juga saling membantu orang lain.
"Kalian anak-anak yang rajin, Ibu bangga pada kalian, Nak. Teruntuk Hansa, kau adalah calon raja di kerajaan Narayana ini, maka kau harus semakin rajin menilik keadaan penduduk ya." Ujar Ratu Daneswari pada putra-putrinya, selanjutnya ia merentangkan tangan lebar-lebar.
"Tentu saja, Bu." Jawab Hansa.
Setelahnya, Hansa, Hara dan Haridra pun masuk ke dalam pelukan ibunya bersama-sama, ini adalah momen yang paling mereka suka, yakni saling berbagi cerita keseharian bersama sang ibu.