Keesokan harinya setelah sarapan pagi, para pekerja dan pengungsi kembali membangun desa, Ponda dan sebagian lainnya menggali sumur untuk pengaliran lahan pertanian. Sedangkan Hansa akan pergi kembali ke istana kerajaan.
"Paman, aku akan kembali ke istana, lanjutkan penggalian sumur agar beberapa hari kedepan sumur dapan digunakan," pinta Hansa pada Ponda selaku penanggung jawab di sana.
"Saya akan melaksanakan perintah Anda dengan segera Pangeran." Ponda membalas.
"Baiklah, aku akan kembali ke sini dalam beberapa hari lagi." Setelah menyampaikan hal itu pada Ponda, Hansa segera menaiki kuda yang ia bawa kemarin siang.
Para pengungsi yang melihat Hansa akan hendak kembali itu pun menghentikan aktivitas mereka sejenak, untuk mengantar kepulangan Hansa, mereka berbondong-bondong menghampirinya.
"Apakah Pangeran akan kembali ke istana?" Tanya seorang pengungsi.
"Iya, aku memiliki segudang urusan yang harus segara aku selesaikan," jawabnya.
"Apakah Anda akan kembali ke sini setelah urusan Anda telah selesai?"
"Aku akan usahakan secepatnya menyelesaikan urusanku, dan aku akan berkunjung ke mari, aku juga akan mengajak adik-adikku, tetapi aku tidak bisa berjanji bisa datang di waktu dekat ini."
Seusai pembicaraan pendek tadi, Hansa memulai langkah kudanya untuk menuju istana kerajaan. Para pengungsi bersorak mengagungkan nama Hansa Ekata.
"Hidup Putra Mahkota Hansa Ekata!" Mereka menyorakkan nama Hansa denga keras untuk beberapa saat. Ponda yang melihat hal itu tersenyum bahagia, karena Hansa dapat memenangkan hati para pengungsi.
Di saat Hansa tak lagi nampak, Ponda membubarkan para pengungsi dan menyuruh mereka kembali ke pekerjaan mereka masing-masing.
"Kalian kembalilah bekerja, agar jika Pangeran Hansa datang berkunjung lagi, desa telah tertata dan rapi."
"Siap," ujar semua para pengungsi secara bersamaan.
Mereka tampak semangat dan menantikan kedatangan Hansa selanjutnya.
Sedangkan di waktu yang sama, di Janardana, Laksmana hendak berpamitan pada ayahnya guna mengantar surat balasan. Laksmana sendiri lah yang di utus Raja Shangkali untuk menulis balasan beserta mengantarkannya. Ia segera menemui ayahnya yang sedang berada di taman.
Sesampainya ia di taman, benar saja ayahnya sedang duduk di salah satu bangku di sana, ia segera menghampiri ayahnya itu.
"Ayah, aku meminta ijin untuk pergi ke kerajaan Narayana, guna memberi balasan surat ajakan kerja sama."
"apakah kau akan pergi pada pagi ini juga?"
"Iya ayah, aku ingin segera menjalin hubungan perdagangan ini, dan aku tidak ingin menunda-nundanya lagi," jawab Laksmana
"Pergilah dan sampaikan salamku pada Raja Rawindra."
Laksmana nampak terburu-buru ingin segera pergi ke Narayana tidak semata-mata hanya untuk memberi surat balasan, sebenarnya ia juga ingin bertemu dengan Hara. Ternyata ia diam-diam juga sering memikirkan tentang dirinya.
Setelah mendapatkan ijin dari ayahnya, ia segera berangkat menuju Narayana dengan menggunakan kereta kuda. Pria itu terlihat menawan dengan jubah putih dipadukan dengan topeng hitam yang ia kenakan.
Sementara di istana Narayana, setelah sarapan pagi Hara dan Haridra sedang menunggu kedatangan dari Hansa, guna melaporkan hasil tugas mereka. Sembari menunggu kedatangan Hansa, mereka berjalan-jalan di taman milik istana Narayana, ketika mereka berjalan sembari berbincang-bincang mereka bertemu dengan Daneswari yang sedang merawat tanaman.
Daneswari memang terkenal sangat gemar merawat bunga-bunga di taman, ia terlihat sedang menyirami bunga yang sedang bermekaran. Hara dan Haridra menghampiri ibunya itu.
"Selamat pagi ibu, apa yang kau lakukan?" Tanya Hara memastikan.
Daneswari menoleh kebelakang sambil tersenyum kepada Hara dan Haridra.
"Pagi juga anak-anak ibu, ibu sedang menyirami tanaman."
"Bolehkah kami membantu ibu juga?" Sekarang Hansa yang bertanya.
"Jika kalian mau, kalian bisa membantu ibu menyirami tanaman ini." ajak Daneswari sembari menyodorkan alat penyiram tanaman.
Haridra meraih alat penyiram tanaman itu dan membantu ibunya dengan menyirami bunga-bunga yang ada di taman, mereka menyirami bunga sembari berbincang bincang.
"Oh iya, ibu dengar Pangeran Laksmana akan datang ke Narayana untuk mengantar surat balasan ajakan kerja sama, ia sendiri yag akan menjadi duta diplomatik untuk kerajaan Janardana."
"Apakah itu benar Bu?" Hara memastikan.
"Ya benar, karena itu merupakan hasil pemikiran dari kakak kalian Hansa dan Pangeran Laksmana, jadi Pangeran Laksmana dan Kakak kalian sendiri yang akan menjadi diplomatik untuk masing-masing kerajaan," jelas dari Daneswari.
Mereka asik berbincang bincang dan tak terasa beberapa jam telah berlalu, Hansa yang dari perbatasan telah tiba di istana,ia langsung bergegas menuju taman setelah mengetahui adik dan ibunya berada di sana.
“Putraku Hansa, bagaimana kabarmu selama berada di sana?” Daneswari segera menyudahi acara menyiram bunga, mengetahui sang putra tiba membuatnya lekas menghampiri putra sulungnya.
Hansa segera menyambut pelukan dari ibunya yang lembut dan penuh kasih, selama beberapa detik keduanya saling tertaut.
“Hansa baik, Bu. Semuanya berjalan dengan lancar,” balasnya dengan senyuman terukir manis dibibir pria dewasa tersebut.
“Syukurlah kalau begitu, semoga saja pembangunan rumah-rumah untuk para pengungsi itu segera selesai dengan lancar.” Daneswari melepaskan tautan pelukan dari putranya, ia menatap Hansa dengan pancaran kasih sayang khas ibu kepada anaknya, teringat betapa bahagianya kala pertama kali memiliki putra hingga membesarkan anak sulungnya itu.
Hansa melirik pada adik-adiknya, memberi kode pada mereka mengenai laporan tugas masing-masing.
Haridra mengangguk kecil.
“Bu, aku merindukan Kak Hansa, kami ingin mengobrol dulu di kamar.” Haridra berkata.
Daneswari mengangguk paham. “Baiklah, kalian bisa mengobrol banyak.”
“Kami permisi.”
Ketiga bersaudara itu pun pergi dari sana, mereka langsung menuju ke kediaman milik Hansa untuk berbicara lebih privasi.
Sesampainya di sana, Hansa segera melempar pertanyaan mengenai tugas yang ia berikan pada adik-adiknya.
Haridra menggeleng kecil. “Nihil, aku tidak menemukan tanda-tanda pelaku yang membunuh Kumala.”
Terlihat sorot kecewa dari mata si bungsu, ia sudah mencaritahu dengan detail tapi tidak menemukan keanehan dari kasus kematian Kumala.
Hansa mengangguk paham, ia tidak menyalahkan adiknya.
“Tidak apa-apa, untuk saat ini mungkin belum menemukan pelakunya, aku yakin suatu saat pasti kebusukan akan tercium baunya.” Hansa menepuk pundak adiknya memberi semangat.
“Iya, Kak.”
“Hara, bagaimana dengan tugasmu?”
“Akhir-akhir ini keadaan rakyat tengah kacau, sumber mata air perkampungan tercemar oleh racun.” Ini lah yang mengganggu Hara, keadaan rakyat sedang tidak baik-baik saja.
Hansa memicingkan mata menatap sang adik dengan serius. “Tercemar racun? Memang bagaimana kronologisnya?”
“Sumur di pusat desa, di sana merupakan sumber air untuk perkampungan rakyat. Namun, akhir-akhir ini justru menjadi penyebab penyakit, banyak rakyat yang mual-mual bahkan mengalami penyakit gatal hingga anak bayi pun meninggal.”
“Apakah sudah diteliti penyebabnya?”
“Sudah, tapi para tabib tidak bisa mendeteksi racun jenis apa, ku rasa ini bukan racun biasa melainkan menggunakan ilmu sihir hitam.” Lapor Hara, pasalnya tabib-tabib yang ia bawa pun tak dapat mendeteksinya, ini aneh padahal tabib istana merupakan pengobat handal.
Hansa terdiam selama beberapa saat, akhir-akhir ini masalah terjadi secara beruntun. Ia tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat sehingga mengakibatkan rakyat menjadi korban kejahatan orang.
“Sihir hitam hanya dimiliki oleh orang-orang jahat, jika dugaanku benar, maka masalah ini bukanlah main-main.”
“Benar, biasanya pemilik sihir hitam merupakan musuh besar istana. Jika sampai ada orang yang menumbalkan rakyat demi ketidak sukaannya terhadap istana, orang itu benar-benar sungguh tega.” Haridra menimpali.
“Kalian sudah melaporkan masalah ini pada ayah?”
Hara menggeleng, “Ku rasa ayah akan mengetahuinya dari para prajurit yang berpatroli.”
“Kita hanya perlu menunggu ayah memberi titahnya.”
“Kita tidak bisa mengandalkan tabib untuk memeriksanya, sepertinya aku harus turun tangan sendiri.” Disela-sela keterdiaman mereka, Haridra menyahut. Di antara mereka bertiga, Haridra lah yang memiliki ilmu sangat tinggi dibandingkan kedua kakaknya, ia berinisiatif untuk mengecek sendiri ke sumur itu.
“Aku setuju denganmu, di antara kita—kau lah yang memiliki ilmu tinggi, harus turun tangan sendiri untuk memeriksanya.” Hansa sangat setuju dengan ide adiknya.
Tak berselang lama kemudian pintu kediaman Hansa diketuk dari luar, sepertinya ada salah satu prajurit yang hendak menyampaikan pesan untuknya.
Hansa membuka pintu dan langsung bertanya, “Ada apa?”
“Raja Rawindra memanggil Putra Mahkota Hansa beserta yang lainnya.”
Hansa berpikir bahwa ini pasti terkait dengan masalah sumur di perkampungan. “Baiklah, kami akan ke sana.”
Prajurit itu pun menunduk sambil pergi dari sana.
Hansa menatap adik-adiknya. “Ayah memanggil kita.”
“Kita ke sana sekarang.”
Mereka pun akhirnya sampai di aula utama, di sana sudah ada Mahabala yang duduk di kursi baris depan.
“Salam hormat untuk ayah.”
“Silahkan duduk, putra-putriku.”
“Baik, Ayah.”
“Kalian berempat ku panggil ke sini untuk membahas permasalahan yang terjadi di kalangan rakyat, terjadi keracunan di sumber mata air perkampungan. Tidak ada tabib yang bisa memeriksa jenis racun apa yang terkandung di dalamnya, dengan ilmu yang telah kalian pelajari sepertinya dapat membantu mencaritahu penyebabnya.”
Benar perkiraan Hansa, ayahnya pasti akan membahas masalah ini.
“Ayah, aku akan memeriksanya dengan ilmu yang sudah kupelajari.” Haridra menawarkan dirinya.
“Aku juga akan memeriksanya, kali ini ayah harus percaya padaku.” Mahabala ikut menyerobot.
Haridra menoleh pada adiknya beda ibu, keningnya mengkerut heran. Tumben sekali Mahabala mau ikut membantu permasalahan rakyat.
Raja Rawindra menatap kedua putranya, mereka berdua menawarkan diri tanpa paksaan, ini adalah hal yang bagus.
“Kalian berdua bisa bekerja sama menyelesaikan masalah ini, ayah yakin dengan kerjasama maka akan segera menyelesaikannya.”
Mahabala terlihat tidak senang, kenapa harus dilakukan berdua? Apakah ayahnya tidak percaya dengan kemampuan miliknya? Ia juga tidak suka dengan Haridra.
“Ayah, bisakah kau mempercayakan hal ini padaku saja? Ku rasa Kak Haridra dapat melakukan tugas lainnya saja.” Mahabala menyela.
Itu membuat Haridra menatap dengan tidak suka.
“Kalian berdua sama-sama putraku, tidak elok rasanya jika harus memilih di antara kalian, lebih baik kerjakan bersama-sama saja.” Putus Raja Rawindra.
“Baik, ayah.” Mahabala terlihat tidak suka, tapi bagaimana lagi.
“Kau lihat itu, Kak? Sepertinya Mahabala ingin mencari muka di depan ayah.” Hara berbisik pelan.
“Ssst, tidak boleh berpikir seperti itu, bisa saja Mahabala benar-benar ingin membantu rakyat.” Hansa tetap berpikir positif.
Di saat yang bersamaan, muncul lah Laksmana di sana, pria itu membawa surat yang telah ditaken oleh ayahnya mengenai persetujuan kerjasama pangan.
“Hormat saya pada Yang Mulia Raja Rawindra.” Laksmana memberikan hormat pada Rawindra.
“Putra Mahkota Laksmana, tidak perlu sesopan itu.”
“Saya diutus Ayah untuk memberikan surat kerja sama ini, Raja Shangkali telah setuju dengan kerja sama yang Anda tawarkan.” Laksmana memberikan surat itu.
Raja Rawindra membacanya dengan teliti, senyuman terukir dari bibirnya, ia senang karena sahabat baiknya menerima kerjasama ini, dengan begitu maka dua kerajaan akan semakin baik hubungannya.
“Terima kasih telah datang memberikan persetujuan ini, Putra Mahkota Laksmana bisa beristirahat dulu di istana ini.”
Laksmana menolak dengan halus, bukan karena tidak ingin, hanya saja ada hal yang perlu ia selesaikan.
Hara menatap pria itu dalam diam, meski mengenakan topeng tapi aura Laksmana tetap berkharisma.
“Tidak perlu, Yang Mulia. Saya akan langsung kembali karena ada hal lain yang perlu saya kerjakan,” balasnya dengan penolakan halus agar tidak menyinggung. Walau ia kaku, tatepi ia bisa membaca suasana, Laksmana yang tahu ada masalah internal itu pun tak mau menambah beban untuk Narayana. Walau sejujurnya ia masih ingin berada di Narayana untuk lebih lama bertemu dengan Hara.
“Baiklah kalau begitu, Aku akan segera mengirimkan gandum untuk memasok kebutuhan Janardana. Hati-hati di jalan."
Laksmana pun berbalik badan hendak pergi, tapi matanya sempat bersitatap dengan seorang gadis manis yang duduk diapit dua saudaranya. Hara, gadis itu juga tengah menatap Laksmana.
Untuk sesaat tatapan keduanya saling terkunci, Laksmana senang karena melihat Hara baik-baik saja dan sehat, entah kenapa jantungnya terasa begitu bergetar saat melihat Hara.
Saat ini melihat gadis itu baik-baik saja pun sudah cukup, meski tidak ada obrolan yang keluar dari bibir mereka, tapi Laksmana sangat bersyukur.
Haridra mengikuti arah pandang Laksmana yang menatap kakak perempuannya begitu lekat, ia mengulum senyumnya samar.
Detik selanjutnya Laksmana pun memutus tatapan keduanya, ia bergegas pergi dari istana itu.
Hara merasa kehilangan saat Laksmana memutus kontak mata mereka, terasa ada yang hilang, tapi apa?
“Kak Hara?!” Haridra menggoyangkan jari telunjuknya, menginterupsi Hara yang tengah melamun.
“Kakak!!” Panggil Haridra lagi saat Hara tidak menyahut.
“Eh iya, apa?” Hara langsung terkesiap.
“Melamunkan Putra Mahkota Laksmana, ya?” Haridra menggoda kakaknya.
“Tidak, jangan aneh-aneh.” Hara mengelak.
Haridra terkekeh kecil, padahal sudah jelas kentara bahwa ada ketertarikan dari keduanya.
“Ku rasa Putra Mahkota Laksmana tidak buruk juga bila menjadi kakak iparku.” Haridra masih tidak berhenti menggoda Hara.
Hara mendengus kasar. “Haridra, mau ku pukul?”
Si bungsu segera menggeleng. “Tidak, terima kasih.”
Obrolan kecil mereka harus terputus saat Raja Rawindra melanjutkan pembicaraan. Pada intinya, anak-anaknya diminta untuk saling bekerja sama guna membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di sumur sumber mata air perkampungan.
“Kalian adalah putra-putri dari kerajaan Narayana, ayah harap kalian dapat melakukan yang terbaik. Dan khususnya Hansa, kau adalah putra mahkota yang akan meneruskan takhta ini.”
“Baik, Ayah. Hansa akan melakukannya dengan baik.”
Mahabala terlihat tidak suka saat Raja Rawindra menyebut bahwa Hansa akan melanjutkan takhta, ia sangat benci kalimat itu!
Ini adalah kesempatan Mahabala untuk menunjukkan taring, ia juga bisa melakukan jasa pada rakyat. Ia akan membuktikan bahwa ia juga layak menjadi calon penerus, lihat saja nanti!
Mahabala hanya berfokus pada citra namanya saja, sejujurnya tak peduli dengan masalah yang menimpa rakyat. Toh, racun di sumur sumber mata air itu merupakan ide dari pamannya, yang bekerja sama dengan Gandini.