Para prajurit telah berjejer rapi menunggu intruksi dari sang pemimpin, hari untuk latihan gabungan telah tiba dan mereka pun sudah bersiap-siap berangkat ke tempat yang telah ditentukan yakni padang rumput perbatasan.
“Wahai para prajuritku, bersiap kah kalian untuk berlatih bersama pasukan kerajaan Janardana?” tenya putra mahkota Hansa sembari menatap lautan prajuritnya.
“SIAP!” Seru mereka semua.
Putra Mahkota Hansa menatap puas pada prajuritnya. Akhirnya mereka pun berjalan menuju perbatasan padang rumput.
“Kakak.”
Putra Mahkota Hansa menoleh ke belakang dan mendapati dua adiknya yang terburu-buru menyusul dirinya.
“Ada apa Hara dan Haridra?”
“Aku ingin ikut bersamamu dan para prajurit ke perbatasan,” ucap Haridra.
“Apakah kau yakin untuk ikut bersamaku?”
“Aku dan kak Hara sudah membulatkan tekad untuk ikut besamamu, Kak.”
“Baiklah, ayo ikut bersamaku.” Hansa menyetujuinya.
Ketiganya pun memimpin jalannya prajurit. Selama kurang lebih dua jam akhirnya mereka pun sampai di lokasi, terlihat banyak perkemahan yang sudah didirikan, tanah lapang yang awalnya tandus nan panas kini menjelma manjadi kamp militer prajurit.
Tak berselang lama prajurit kerajaan Janardana juga sampai di sana, kedua prajurit kerajaan tersebut saling bergabung menjadi satu.
Putra Mahkota Hansa berdiri paling depan memandang semua pasukan gabungan tersebut lalu berkata, “Kita sudah sampai di sini kuharap semua prajurit gabungan dapat berlatih bersungguh-sungguh demi perlindungan kerajaan dan negara.”
“Siap laksanakan,” ujar prajurit gabungan begitu menggelegar.
Hansa memandang semua prajurit dengan bangga.
Di sisi lain datang lah Putra Mahkota Laksmana mengenakan baju zirah dengan begitu gagah sambil menenteng pedang laras panjangnya, masih mengenakan topeng diwajahnya tapi aura tegas nan berwibawa sangat begitu kentara.
Kedatangan Putra Mahkota Laksmana membuat mereka semua mengalihkan tatapan, sosok itu memang dapat membuat suasana menjadi berubah. Laksmana memang dikenal sebagai sosok doyan perang, ia mendapatkan begitu banyak kemenangan untuk negeranya, tidak heran jika ia dijuluki ‘iblis perang’.
“Kakak, kau lihat itu? Aura dari Putra Mahkota Laksmana sangat mengerikan.” Haridra berbisik di telinga kakak perempuannya.
“Ia memang pemimpin yang disiplin,” balas Hara sekenanya.
“Kabarnya Putra Mahkota Laksmana sendiri yang akan memimpin latihan gabungan ini, aku yakin pelatihannya pasti tegas.”
“Omong-omong, untuk apa kita berada di sini? Bukankah seharusnya kita tinggal di istana untuk berjaga-jaga, saat ini istana tengah kosong.” Hara berujar, tadinya ia tidak berniat ikut ke medan pelatihan, hanya saja Haridra memaksanya untuk ikut ke sini dan akhirnya di sini lah ia berada.
“Aku ingin melihat pelatihan yang diberikan Putra Mahkota Laksmana, karena rumornya ia adalah ksatria yang begitu tangguh.” Haridra ingin melihat ilmu dari calon penerus kerajaan sahabat, ia ingin memastikan sendiri sehebat apa Laksmana.
“Lalu, kenapa kau mengajakku?” Hara menaikkan sebelah alisnya.
“Karena ingin, kita bisa sama-sama belajar darinya.”
“Baiklah.”
Laksmana pun mulai melatih para prajurit dengan begitu sungguh-sungguh, tidak ada yang berani bermalas-malasan ketika seorang Laksmana sudah turun tangan.
Hara dan Haridra ikut memperhatikan pelatihan dari kejauhan, mata mereka memandangi setiap gerakan yang diajarkan oleh Laksmana. Ksatria yang sudah berpengalaman di medan perang pasti tidak diragukan kemampuannya, dilihat dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Laksmana sudah dapat ditebak bahwa pria itu sangat berpengalaman.
“Ilmuku bahkan tidak sebanding dengan Putra Mahkota Laksmana,” gumam Haridra. Padahal di tatar Narayana, Haridra lah yang dikenal memiliki ilmu paling tinggi, tapi ketika mendengar kehebatan Laksmana, ia menjadi tidak percaya diri dan bukan apa-apa dibandingkan dengan pria Janardana tersebut.
Latihan dilakukan dari pagi hingga siang hari, sorot matahari yang begitu terik membuat para prajurit terlihat kelelahan dan kehausan, keringat mereka menetes begitu banyak.
“Latihan selesai, kalian bisa beristirahat.”
Akhirnya kalimat yang ditunggu-tunggu tiba juga, para prajurit segera membubarkan diri dan mencari air untuk menghilangkan dahaga mereka.
Laksmana sendiri menyarungkan pedangnya, ia berjalan menuju ke kamp milik Hansa. Melihat kedatangan Laksmana segera membuatnya bangkit.
“Putra Mahkota Laksmana, hari ini kau terjun melatih para prajurit, apakah ini tidak membuatmu kelelahan?” Pasalnya setelah melatih prajurit, Laksmana akan kembali ke kerajaannya untuk mengurus pemerintahan di sana.
“Aku sudah terbiasa di medan pertempuran, hanya latihan kecil tidak membuatku kelelahan.” Laksmana seolah-olah terbuat dari besi yang sangat kokoh, meskipun ditempa sedemikian rupa tapi tak pernah roboh.
“Adik-adikku ikut ke sini bersamaku, jika kau berkenan biarkan ia ikut dalam pelatihan yang kau lakukan.” Hansa memberitahu, setelah bertanya pada kedua adiknya—Hara dan Haridra mengaku ingin banyak belajar dari Putra Mahkota Laksmana ini.
“Tentu, mereka bisa melakukannya.”
Setelah mengobrol kecil, Laksmana pun keluar dari tenda milik Hansa. Matanya melihat ke sekelompok prajurit yang tengah mengerubungi sesuatu, feelingnya mengatakan bahwa ia harus melihatnya.
Hara tengah membagikan camilan manis, gadis itu ingin memberikan semangat pada prajurit yang tengah berlatih demi negaranya.
“Silahkan dinikmati, Paman.” Senyuman gadis itu begitu tulus, Hara selalu memperhatikan orang kecil.
Laksmana melirik pada wadah persediaan makanan, matanya memicing saat melihat keranjang itu penuh dengan camilan manis.
“Sudahi pekerjaanmu itu, Putri.” Laksmana mencekal tangan Hara dengan begitu kuat, saat gadis itu hendak menyendokkan manisan ke dalam mangkok.
Hara melirik tangannya yang dicekal erat oleh Laksmana, ia meringis pelan. “Lepaskan aku!”
Laksmana mendelik tajam pada gadis itu.
Hara menyentak tangannya sendiri hingga mangkok yang ia pegang pun terjatuh ke tanah, dan ya akhirnya ia berhasil melepaskan cekalan dari Laksmana. Matanya balik menatap Laksmana, tidak ada sorot takut dalam kornea semanis madu itu.
“Apa maksudmu menghentikanku?”
“Para prajurit tidak boleh mengonsumsi makanan manis, ini tidak baik bagi daya tahan tubuhnya.”
“Ini hanya sedikit untuk menambah semangat mereka, aku tidak melakukannya setiap hari.”
“Peraturan tetap lah peraturan, aku adalah pemimpin mereka di pelatihan ini. Kau tidak berhak melanggar aturan yang ku buat!” Laksmana berkata dengan penuh penekanan.
Mata mereka saling menatap satu sama lain, Hara menyimpan kekesalan luar biasa. Hanya sekali ini ia akan memberikan camilan manis pada prajurit karena ini adalah hari pertama mereka berlatih, tapi Laksmana yang begitu kaku justru melarangnya.
Hara menelisik ke dalam mata hitam legam itu, meskipun Laksmana mengenakan topeng untuk menutupi wajahnya, tapi pria itu tampak tak memiliki cacat—jika diperhatikan begitu detail.
“Baik, kau memang pemimpin mereka. Maaf karena telah lancang melanggar peraturan yang kau buat!” Hara memutuskan untuk mengalah, tak mau berdebat lagi.
Gadis itu membersihkan camilan yang tersisa, dengan hati yang begitu dongkol ia melenggang pergi dari hadapan Laksmana. Baginya, Laksmana memiliki hati yang kaku dan sulit diajak bernegosiasi, pria seperti ini pasti sulit untuk diajak bekerjasama dalam semua hal.
Hara meletakkan wadah camilannya ke dapur, ia duduk di kursi kayu sambil menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Sabar, ia harus sabar.
“Putri Hara, ada apa dengan Anda?” Seorang koki yang dipercaya untuk memasak sajian untuk para prajurit mendekatinya.
“Tidak apa-apa, Bibi.”
Wanita baya itu melihat pada wadah camilan Hara yang masih bersisa. “Anda memberikan camilan manis pada prajurit?”
“Iya.” Hara mengangguk kecil.
“Apakah Putra Mahkota Laksmana menegur Anda?”
“Bagaimana bisa Bibi tahu?” Hara langsung menatap wanita tua berusia limapuluh tahunan itu.
“Putra Mahkota memang kurang suka makanan manis, ia juga melarang setiap koki memasak camilan manis untuk para prajurit apalagi ketika tengah berlatih atau hendak pergi berperang. Katanya, dapat membuat tubuh cepat lelah.” Wanita itu menjelaskan panjang lebar.
Hara paham sekarang, jadi kebiasaan Laksmana dibawa hingga ke sini.
“Putri Hara jangan tersinggung dengan teguran Putra Mahkota Laksmana, ia hanya ingin melakukan yang terbaik untuk pasukan.”
“Apakah Bibi berasal dari kerajaan Janardana?”
“Benar, Putri. Hamba adalah koki di istana Janardana, hanya saja diminta datang ke sini sebagai penyedia sajian untuk para tentara kita.”
“Aku mengerti, terima kasih banyak.”
Sepeninggalan koki tersebut, Hara menghela napas kasar, diliriknya camilan yang masih separuh wadah.
“Camilan sebanyak ini harus ku kemanakan?” Tidak etis rasanya bila ia membuang-buang makanan, sementara masih banyak orang yang membutuhkannya diluaran sana.
“Putri Hara!” Sebuah suara yang tak asing menginterupsi Hara dari lamunannya. Ia menoleh mendapati Laksmana berdiri di ambang pintu dapur.
“Ada apa mencariku?” Tanpa mau susah payah berdiri menyapa, Hara langsung blak-blakkan menjawab, nada suaranya juga terdengar cuek.
“Camilanmu memang tidak bisa dikonsumsi oleh prajurit, tapi dapat bermanfaat untuk orang lain.”
“Maksudmu?”
“Di dekat sini ada perkampungan warga, kau bisa memberikan itu pada anak-anak yang bermain di perbatasan ini.”
Hara tertarik dengan ucapan Laksmana, ia pun bangkit berdiri lalu menatap pria itu dengan penuh harap.
“Kau serius?”
“Apa aku terlihat becanda menurutmu?” Ekspresi Laksmana kembali dingin, pria itu menatap Hara dengan datar.
“Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi.” Hara berbalik mengambil camilan yang tersisa lalu membawanya untuk dibagikan pada anak-anak.
Ia terlihat bingung karena kurang tahu mengenai perkampungan di sekitar perbatasan ini, kakinya melangkah dengan asal yang penting sampai.
“Ada di sebelah utara hutan itu,” ujar Laksmana yang ternyata sejak tadi mengikuti Hara.
Hara diam, ia memang tidak bertanya apa-apa lagi.
Ia pun mengikuti instruksi Laksmana, hingga terlihat lah sekumpulan anak kecil yang tengah bermain-main di area perbatasan ini.
Anak-anak itu sangat kurus, tubuhnya juga kotor, Hara melihatnya dengan miris.
“Hai, kalian datang lah.” Hara memanggil mereka.
Anak-anak yang awalnya fokus bermain kejar-kejaran pun menatap ke arahnya. Warga di perbatasan ini memang kurang mendapat perhatian dari kerajaan, pasalnya mereka adalah pengungsi yang tak diketahui asal-usulnya.
Bukan bermaksud menelantarkan warga, tapi kerajaan Narayana dan Janardana sama-sama tak mau mengambil resiko bila pengungsi ini malah menjadi-jadi. Mereka bukan warga asli Narayana maupun Janardana, melainkan dari daerah lain yang tak diketahui jelas identitasnya.
“Bagikan ke teman-teman kalian,” pinta Hara pada dua anak yang terlihat lebih dewasa dari yang lainnya.
“Terima kasih.” Keduanya mengambil camilan itu dan memberikannya pada teman-temannya yang lain.
Mereka makan dengan lahap, memang benar bahwa camilan ini sangat berguna bagi warga pengungsi yang kekurangan makanan.
Hara berniat mendekati mereka, dilihatnya anak-anak itu usia sekitar lima sampai sepuluh tahun. Kasihan sekali, masih kecil tapi harus hidup dalam pengungsian yang tidak pasti tujuannya.
“Kau siapa?” tanya salah satu di antara mereka.
“Panggil saja Kak Garwita, aku kebetulan melintas di tempat ini.” Hara tidak ingin mengungkapkan identitas lengkapnya.
“Kenapa kau memberikan kami makanan?” Si yang tertua bertanya. Pasalnya selama ini warga pengungsi tak mendapat bantuan apa pun dari dua kerajaan perbatasan ini, hanya karena mereka tak mempunyai identitas resmi sebagai warga Narayana ataupun Janardana.
Hara tak menjawab, ia hanya tersenyum kecil.
“Makan lah yang banyak, perjalanan hidup kalian masih sangat panjang.” Jika berkata kemanusiaan, ia juga merasa kasihan pada mereka. Namun, karena asal usul dan latar belakang yang tidak jelas, baik Narayana dan Janardana tak berani mengambil tindakan pada mereka.
Kedua kerajaan itu hanya bisa memberikan tempat tinggal—yakni sebagian kecil wilayah di perbatasan ini, selebihnya Narayana dan Janardana tak dapat membantu. Jika warga ini merupakan pengungsi tak resmi, maka Narayana dan Janardana bisa mendapat hukuman karena dinilai ikut campur urusan warga kerajaan lain, memang serba salah.
Laksmana melihat interaksi Hara dan anak-anak itu dari jauh, ia pikir tuan putri terhormat akan jijik bersinggungan dengan para pengungsi, tapi Hara justru terlihat memanusiakan mereka. Sedikitnya senyuman Laksmana terukir diam-diam, gadis ini ternyata memiliki hati yang baik.