Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area ...
Berkali-kali Alesha menelfon Bima, tapi ponsel Bima tidak aktif. Gadis yang lumayan bar-bar itu tersesat di Jogja karena diam-diam menyusul Bima ke Jogja tanpa sepengetahuan orang tuanya dan orang tua Bima. Alesha tidak tahu sekarang dirinya ada di daerah mana, yang jelas sekarang dirinya sudah berada di Jogja.
“Non, sudah bisa dihubungi belum nomor Mas Bima?” tanya sopir pribadi Alesha.
“Nomornya tidak aktif, Pak. Mana udah malam lagi? Kita tersesat dong pak?” gerutu Alesha.
“Ini di Jogja, Non. Saya tahu daerah sini, mana ada tersesat, memang di hutan?” jawab Sopir pribadinya.
“Ya kan belum ketemu alamat Bima, Pak? Jadi tersesat dong ini?” Alesha tetap bilang dirinya tersesat. Seperti itu Alesha, benar kata Bima dia seperti anak kecil yang masih sekolah di Paud.
Sopir Alesha hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja melihat tingkah bodohnya Alesha. Untung saja sopir Alesha sudah tahu Alesha sejak masih bayi.
“Non, tanya sama Mas Bagas atau Non Aina coba, pasti tahu alamat Mas Bima,” ucap Sopirnya.
“Bapak itu gimana sih? Aku kan ke sini diam-diam dari mereka, masa aku harus tanya mereka di mana alamat Bima, dan bilang aku sekarang ada di Jogja? Bapak ini gak mikir banget sih!” Selalu saja belum apa-apa sudah ngenyel, itulah Alesha, sampai sopirnya geleng-geleng kepala.
‘Pantas Mas Bima selalu jengkel sama ni bocah! Oon nya minta ampun!’ gerutu sopir probadinya dalam hati.
“Non apa tidak bisa tanya alamat Mas Bima sama Mbak Aina, alasan kek mau kirim paket buat Mas Bima. Apa tanya alamat harus kita datang ke alamat itu, Non? Kan bisa tanya alamat buat kirim surat, buat kirim paketan, buat kirm hadiah, dan buat kirim mak ....” Alesha menghentikan ucapan sopir nya dengan menepuk jok mobil tempat di mana sopirnya duduk.
“Stop! Oke aku tanya Bagas sama Aina,” potong Alesha,
“Nah gitu dong! Harus bisa mikir, Non. Jangan emosi aja yang di pakai,” cibir sopir pribadinya.
“Seperti tidak tahu saja bapak ini?!” tukas Alesha.
Alesha mencoba menelfon Aina. Tengah malam dia menelfon saudara perempuan Bima, hanya untuk bertanya alamat Bima saja. Beruntung Aina belum tidur, dan dia lega sekali telfonnya di angkat oleh adik Bima. Alesha langsung menanyakan alamat Bima pada Aina.
“Mau buat apa tanya alamat Kak Bima di Jogja, Kak?”
“Aku mau kirim sesuatu sama Bima, habis nomornya tidak aktif dari tadi siang, jadi aku tanya kamu.”
“Oke aku kirim alamatnya.”
Telfon terputus saat setelag tujuan Alesha berhasil meminta alamat Bima pada adik perempuan kesayangan Bima. Ponsel Alesha berdenting, ada notifikasi pesan dari Aina.
“Ini Pak alamat Bima.” Alesha memberikan alamatnya pada sopirnya.
“Ini sudah dekat dari sini, Non. Tapi, apa pantas bertamu di tengah malam gini? Non cewek lho, masa non mau menginap di rumah laki-laki? Mau dianggap wanita yang enggak baik?” tutur sopirnya.
“Lalu? Masa iya mau tidur di mobil sampai pagi, Pak?” ucap Alesha dengan kesal dan oon nya keluar lagi.
“Non, lihat tuh, banyak hotel, banyak penginapan, non nginep saja di hotel. Biar bapak tidur di mobil, non nyaman tidur di hotel, nanti besok pagi-pagi bapak antar ke rumah Mas Bima,” saran sopir pribadinya.
“Ah ... Pak Roni bisa aja. Oke, antar aku ke sana, Pak. Kalau bapak mau sewa kamar, silakan. Aku kasih uang tambahan buat bapak. Masa iya aku enak tidur di kamar hotel, bapak tidur di mobil. Nih, buat sewa kamar hotel.” Alesha memberikan uang pada sopirnya, dan langsung meminta pada sopirnya untuk diantar ke hotel.
Alesha menarik kopernya, dia langsung menuju ke resepsionis dan memesan kamar hotel.
^^^
Pagi harinya, Bima sedang mengoles roti tawar dengan selai kacang dan cokelat kesukaannya. Dia pagi ini akan ke cafenya, setelah agak siangan, dia akan ke toko bunga Sovia. Bima sudah lega, karena dia sudah bertemu Sovia kembali. Semalam dia juga sudah bertukar pesan dengan Sovia. Rasanya Tuhan masih berpihak pada hubungan Bima dan Sovia, meski mamanya Bima sangat menentang hubungannya dengan Sovia.
‘Aku akan membuktikan pada Mama, kalau kamu wanita yang terbaik untukku, Sov. Aku tahu perasaan mama kalau mengingat saat Papa Reza dan Tante Dilla menyakitinya, tapi kamu tidak seperti Tante Dilla, kamu wanita yang sangat baik, Sov,’ gumam Bima.
Bima mendengar bel rumahnya berbunyi. Bima sedikit bingung, siapa yang datang sepagi ini, biasanya tukang korang Cuma meletakkan koran di depan pintu, dan tidak pernah menekan bel rumah.
Bima beranjak dari tempat duduknya, dia berjalan ke depan untuk membukakan pintu, memastikan siapa yang datang sepagi ini. Bima membuka pintunya, dan melihat seorang perempuan yang sangat ia kenal.
“Al? Kenapa kamu bisa sampai sini?” Bima sedikit shocked kedatangan sosok wanita setengah bocah itu.
“Bima ....” Alesha langsung memeluk Bima. Bima berusaha melepas pelukan Alesha, tapi Alesha tambah mengeratkan pelukannya.
“Eh ... ini datang-datang langsung main peluk aja kamu!” tukas Bima dengan melepaskan pelukan Alesha sedikit kasar.
“Aku kangen ... kamu susah banget di hubungi? Nomornya selalu tidak aktif, dan kalau pun aktif sebentar,” jawab Alesha, memelas.
“Aku sibuk, Al. Lagian ngapain ke sini? Terus kamu dapat alamat aku dari mana? Pasti mama, ya? Tapi, mama belum tahu alamat aku yang di sini. Tahunya rumah yang dulu? Lalu kamu tahu alamatku dari mana?” tanya Bima.
“Aina. Memang kenapa sih? Pakai rahasiain alamat? Aku ini calon istrimu, Bima ... pakai rahasia-rahasiaan segala!” gerutunya dengan memonyongkan bibirnya.
“Calon istriku bukan anak paud!” tukas Bima.
“Ih, Bima ... ngeselin!” Alesha tambah mengerucutkan bibirnya dengan kesal.
“Masuk deh! Kamu itu benar-benar, ya?” Bima mengacak-acak rambut Alesha dengan sedikit kesal dan sewot.
Bima hanya menganggap Alesha seperti adiknya saja. Dia cewek yang terlalu manja, padahal usia Alesha sama dengan Bima. Dia sudah berusia tiga puluh tahun, tapi masih saja bertingkah seperti anak kecil. Namanya juga anak tunggal dan anak yang dimanja, ya seperti itu kelakuannya. Meski Bima kesal, dia menerima tamunya dengan baik. Menyuruh Alesha masuk ke dalam rumahnya.
“Kamu pasti tidak pamit orang tua kamu, kan?” tanya Bima.
“Kalau pamit mana boleh?” jawabnya.
“Bener-bener ya, kamu? Pamit kalau mau ke mana-mana?” tegas Bima.
“Iya, Bim ... iya ...,” jawabnya.
“Kamu sudah sarapan?” tanya Bima.
“Sudah, aku sudah sarapan di hotel,” jawab Alesha.
“Bagaimana kantor? Aman, kan?” tanya Bima.
“Kantor aman-aman saja, tapi aku yang gak aman! Bagas selalu saja memarahiku kalau kerjaku salah,” jawab Alesha.
“Makanya kerja yang benar! Sudah tahu bosnya sekarang galak! Jangan kek anak kecil. Kerja jangan manja! Bagaimana kamu bisa hidup mandiri, bisa pegang perusahaan papa kamu, kalau kamu gini? Kek anak Paud saja!” tutur Bima.
“Iya, iya ... nanti aku perbaiki deh,” jawabnya, manja.
“Mau minum apa?” tawar Bima.
“Air putih dingin saja,” jawabnya.
“Ini masih pagi, sudah minum yang dingin-dingin, aku buatkan teh hangat saja,” ucap Bima.
“Serah, deh!” tukas Alesha.
Alesha masih duduk di sofa yang berada di ruang tamu, sedangkan Bima, dia ke dapur membuatkan teh untuk Alesha.
‘Mau aku usir kasihan? Enggak ku usir rasanya kesel lihat kelakuan bocahnya! Aku harus gimana? Mana tuh bocah ember lagi mulutnya!’ gerutu Bima dengan membuatkan teh untuk Alesha.
Bima keluar menuju ke ruang tamu dengan membawakan nampan berisi secangkir teh dan cemilan untuk Alesha. Bima mengedarkan pandangannya, karena Alesha tidak ada di ruang tamu.
‘Ini bocah ke mana?’ ucap Bima lirih. Bima menaruh cangkir dan toples kecil di atas meja, dan menuju ke luar. Terlihat Alesha sedang berfoto di taman kecil di teras rumah Bima.
“Astaga ... kamu aku cariin ternyata di sini! Lagi apa sih?” Bima menggerutu kesal melihat Alesha berpose sedang mengambil gambarnya sendiri.
“Habis tamannya bagus, ya aku foto saja. Kamu mau ikut foto?” tanya Alesha.
“Ogah!” tolaknya dengan keras. “Tuh tehnya diminum dulu,” ucap Bima dengan meninggalkan Alesha.
Bima duduk di sofa yang berukuran lebih kecil yang berada di depan Alesha. Alesha meminum teh yang Bima buatkan dan mencicipi kue kering yang Bima sediakan di toples kecil.
“Al, aku mau ke Cafe. Kamu di sini saja, atau kamu mau kembali ke Hotel?” tanya Bima.
“Aku ikut kamu ke Cafe,” jawabnya.
“Enggak ada tawaran kamu ikut ke Cafe, Al! Aku bilangnya mau di sini saja, atau kembali ke Hotel!” tegas Bima dengan lugas.
“Ehm ... di sini saja deh, eh nanti aku bosan? Ikut ke cafe, Ya? Please ....” Alesha memohon pada Bima supaya diajak ke cafenya.
“Al, aku itu mau kerja! Sudah kamu tunggu aku saja di sini!” ucap Bima.
“Tuh kan ...? Jan lama-lama pulangnya!” ucap Alesha.
“Sorean aku pulang,” jawab Bima dengan bersiap akan ke cafenya, dan ke restoran barunya.
“Oke deh, aku di sini saja. Lagian aku sudah check out dari hotel,” jawab Alesha.
“Kamar tamu di sebelah sana, silakan kalau mau istirahat. Aku mau kerja dulu,” ucap Bima.
Bima mengunci pintu kamarnya, dia membawa kunci kamarnya. Takut kalau Alesha masuk ke kamarnya, dan macam-macam di kamar Bima. Dia pengin ngusir Alesha, tapi dia pun tidak tega. Walau bagaimana pun, Alesha pernah jadi partner kerjanya, meski kadang enggak bener kerjanya.
‘Dasar bocah kecil! Ganggu hidupku saja dia! Bagaimana kalau dia tahu aku di sini sudah bertemu Sovia? Ah, bodo amat! Apa urusannya? Lagian aku nolak dijodohkan dengan dia? Dan, siapa suruh dia nyusulin aku ke sini, ya sudah, kudu siap patah hati, kalau lihat aku dengan Sovia,’ gumam Bima. Bima melangkahkan kakinya keluar untuk berangkat ke Cafenya, setelah melihat Alesha masuk ke kamar tamu.