LARA - 12

1569 Words
Lagi-lagi Alesha hanya mendapatkan jawaban dari opreator saat menelefon Bima. Dia kesal, tapi dia pun sadar, karena memang Bima seperti itu. Alesha tahu kalau Bima itu laki-laki yang sangat fokus ketika bekerja, jadi telefon pun jarang diangkat kalau sedang kerja. Sekali lagi Alesha menelefon Bima, dan yang ia dapatkan jawaban dari operator lagi. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area.” Alesha menirukan suara operator yang ia dengar saat menelefon Bima. Alesha meletakkan poselnya di atas meja. Dia berjalan ke dapur, perutnya dari tadi sebenarnya sudah menahan lapar, tapi dia malas untuk pesan makanan, atau menyuruh sopirnya membelikan makanan dan mengantarkan ke rumah Bima. Dia membuka kulkas, melihat ada bahan masakan apa di dalam kulkas. Lengkap, banyak sayuran, dan bahan masakan lainnya. Untungnya  Alesha bisa sedikit-sedikit masak, meski dia sangat manja sekali. Tapi, dia selalu ingat apa kata eyang utinya, kalau wanita itu harus bisa masak, karena suatu hari akan mengurus anak dan suami. “Oke, aku mau masak. Anggap saja aku masakin suami yang sedang kerja, lalu kalau Bima pulang aku langsung ajak Bima makan. Latihan dulu, biar nanti jadi istrinya Bima aku sudah bisa melayaninya dengan baik,” ucapnya lirih dengan senyuman yang mengembang menunjukkan bahagia saat membayangkan menjadi istri Bima kelak. Seketika senyum bahagianya sirna, karena mengingat Bima hanya menganggap dia bocah kecil yang belum bisa apa-apa. Kerja pun masih belum becus. Dan, yang lebih menyesakkan dadanya, Bima sangat mencintai Sovia, sampai sekarang pun Alesha tahu, Bima masih mencari Sovia. “Beruntung sekali jadi Kak Sovia, sudah pergi entah ke mana saja, Bima belum bisa melupakannya. Sedang aku yang di sini, dekat dengan Bima, tidak pernah terlihat spesial. Ah ... aku tidak mau pusing memikirkan ini. Yang penting aku bisa melihat Bima, juga sudah bahagia,” gumam Alesha. Alesha tidak memedulikan hatinya yang masih sedikit ngilu, mengingat Bima yang tidak pernah mau membalas perasaannya. Alesaha menghela napasnya dengan kasar, dia terus membuang rasa sakit karena Bima selalu mengabaikan dirinya, dan mengabaikan perasaannya. Alesha melanjutkan rencananya untuk memasak. Dia pun mengurungkan niatnya untuk mengajak Bima makan malam nanti malam. Alesha menata makanan yang sudah selesai ia masak di meja makan kecil. Meja makan minimalis, mungkin Bima memilih itu karena dia hidup sendiri. Bima juga selalu masak di rumah, dia jarang makan di luar, meski sendirian Bima selalu masak sendiri. Hari sudah semakin petang, Bima belum kunjung pulang. Alesha sudah rapi dan wangi, karena baru saja mandi. Setelan kaos dan celana pendek selutut, style Alesha saat santai di rumah, ia kenakan juga di rumah Bima. Tidak peduli nantinya Bima mengejek dia seperti anak, yang masih suka pakai baju motif kartun. Padahal Aina yang umurnya cukup jauh dari dia pun sudah tidak suka memakai baju yang bermotif gambar kartun. Ya, Alesha memakai kaos yang berwarna putih, dengan gambar Winnie The Pooh. Alesha mengernyitkan keningnya, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan jam enam sore. “Bima katanya pulang jam lima? Kok jam enam belum sampai?” ucapnya lirih. Pintu depan terdengar terbuka, Alesha langsung berlari ke depan melihat siapa yang datang, dan pasti itu Bima yang datang. Benar, Bima pulang. Alesha langsung menyambutnya dengan senyuman hangat, tapi Bima hanya tersenyum tipis membalas senyuman Alesha. “Kamu sudah makan, Al? Maaf ya, aku sibuk, jadi tidak sempat angkat telefon kamu,” ucap Bima sambil melepas sepatunya. “Aku belum makan, tapi aku sudah masak. Sorry aku seidikit memberantaki dan mengotori dapur kamu, Bim,” jawab Alesha. “Kamu masak? Bisa memang?” Bima tertawa sedikit mengejek mendengar Alesha yang bilang sudah masak. “Bisa dong, masa cewek gak bisa masak? Cobain masakanku, ya? Besok kan aku sudah balik Surabaya,” ucap Alesha. “Boleh, aku juga belum makan. Tapi, kalau masakan kamu tidak enak, bayar denda, karena sudah menghabiskan bahan masakan, mengotori dapur, dan memberantaki dapur. Bagaimana?” tantang Bima. “Oke, kita buktikan aku bisa masak atau tidak. Sana mandi dulu, baru makan,” ucap Alesha, menyuruh Bima bersih-bersih sebelum makan. Alesha duduk di sofa yang berada di ruang tengah. Dia mengambil remote televisi lalu menyalakan televisi. Merasa lelah dia merebahkan tubuhnya di sofa dengan menonton TV. Matanya semakin tidak kuat menahan kantuk, padahal waktu maghrib tidak baik untuk tidur, tapi Alesha sudah tidak kuat lagi menahan kantuknya. Dia memejamkan matanya, terengkur di Sofa. Bima keluar dari kamarnya. Dia terlihat mengenakan baju koko dan sarung, karena selesai sholat maghrib. Bima tidak mengganti pakaian sholatnya, menurutnya itu tanggung, karena jarak antara Maghrib ke Isya cuku dekat. Bima menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Alesha yang tertidur cukup pulas di sofa ruang tengah, dengan televisi yang menyala dan menonton Alesha yang tertidur. “Al, bangun ... jam segini tidak baik buat tidur. Kamu tidak sholat?” Bima membangunkan Alesha yang sepertinya tidurnya sangat pulas. Alesha mengerjapkan matanya, merasa ada yang membangunkannya. Dia melihat Bima yang berdiri di depannya. Alesha langsung duduk dan mengusap matanya. “Aku ketiduran?” tanya Alesha. “Iya, aku kira kamu sholat,” jawab Bima. “Aku sedang datang bulan, Bim,” jawabnya. “Pantas waktu maghrib malah tidur, bukannya bergegas sholat. Tapi, jangan tidur di jam-jam seperti ini, Al. Gak baik buat kesehatan,” tutur Bima. “Hoooaammzz ... iya aku tahu, Bim.” Jawabnya dengan menguap dan menutup mulutnya. “Aku siapin makan, ya?” ucap Alesha. “Bukannya sudah siap makanannya di meja makan?” tanya Bima. “I—iya sudah siap memang, tapi kan aku belum ambil piring sama gelas, Bim,” jawab Alesha. “Oh ya sudah sana siapkan,” ucap Bima. “Bim, kamu makan dengan pakaian yang seperti itu? Ganti, gih! Itu kan pakaian untuk sholat, Bim ...,” titah Alesha. “Biar sekalian nanti habis Isya gantinya,” jawab Bima. “Bim, nanti kotor bajunya. Aku saja pakaian untuk Sholat sendiri, kok,” ucap Alesha. Meski dia cewek manja, bar-bar, ngeselin, cerewet, tapi Alesha tahu kewajibannya. Dia tetap menunaikan sholat jika waktu sholat tiba, di mana pun dia tidak melupakan itu. Meski dia bawel, ngenyelan, dan masih banyak lagi yang kurang pada diri Alesha, tapi dia tidak melupakan Tuhannya yang sudah memberikan hidup nikmat di dunia ini. “Oke, aku ganti,” jawab Bima. Alesha melanjutkan menyiapkan piring dan gelas. Dia mengambilkan nasi untuk Bima dan dirinya, lalu mengangsurkan air putih ke dalam. Alesha memasak ayam kremesan, sayur sop, lalu ada lalapan juga yang ia siapkan. Bagi Alesha ini makanan sederhana, dan tidak sulit memaskanya. Bima keluar dari kamarnya, dia langusung ke ruang makan. Menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengan Alesha. “Nasinya kebanyakan gak, Bim?” tanya Alesha. “Atau mungkin malah kurang?” imbuhnya. “Cukup, sih,” jawabnya. Bima mengedarkan pandangannya ke arah masakan yang ada di depannya. Bima menautkan alisnya, dia tidak peraya kalau Alesha memasak semua ini. Ayam kremesan yang Bima anggap masakanya cukup ribet, tidak mungkin Alesha yang memasaknya. “Ini benar kamu yang masak? Atau ini pesan di restoran? Lalu kamu bilang ini masakan kamu?” tanya Bima. “Iya, ini aku yang masak. Kalau enggak percaya, tengok dapur saja sana, masih ada wajan yang aku gunakan masak tadi, belum aku cuci, sekalian nanti selesai makan beresinnya,” jawab Alesha. “Yakin ini masakanmu?” tanya Bima lagi yang belum percaya. “Jangan ngejek, ya? Disangka aku yang kata kamu manja, seperti anak TK, aku tidak bisa masak. Cicipi saja, kalau ada yang kurang rasanya bilang saja,” jawab Alesha, santai. “Ya, nggak percaya saja sih? Kamu bisa masak, oke aku coba,” ucap Bima. Bima mengambil sepotong ayam, mengambil lalapan dan juga sambal. Bima mulai mencicipi masakan yang katanya benar-benar masakan Alesha. Bima merasakan masakan Alesha yang terbilang sempurna rasanya. Bima benar-benar tidak percaya, kalau Alesha bisa masak seperti ini, bahkan sambalnya juga sangat enak sekali menurut Bima. “Yakin ini masakanmu?” tanya Bima lagi yang masih belum percaya pada Alesha. “Iya, Bima ... cerewet ih, tanya terus!” jawab Alesha sedikit kesal. “Bagaimana? Komentarin masakanku dong? Itu resep yang diajarkan eyang uti ku, Bim,” ucap Alesha. “Kamu belajar masak dengan utimu?” tanya Bima. “Iya, kalau aku liburan ke Semarang, aku selalu diajari eyang uti,” jawab Bima. “Katanya kamu punya saudara di sini, Al?” tanya Bima. “Ehm ... enggak tahu, Bim. Kamu kata siapa?” jawab Alesha. “Bukannya kamu kelahiran Jogja, Al? Di KTP kamu sih?” tanya Bima. “Oh, itu. Iya, pernah menetap saja di sini. Setelah mama dan papa menikah, papa memutuskan tinggal di Jogja sampai aku laghir. Saat aku kecil, usiaku kurang lebih emopat tahun. Dan, setelah kejadian itu ... ah sudah jangan bahas itu. Jangan ingatkan itu lagi, Bim. Kalau enggak ada kejadian itu, aku mungkin masih punya kakak, bukan kakak kandung, tapi dia teman yang sudah seperti kakakku sendiri, papa dan papanya sahabatan, tapi sejak kejadian itu, aku pindah ke Semarang, lalu ke Surabaya. Dan, aku tidak tahu bagaimana kabar anak sahabat ayahku itu,” jelas Alesha. “Ya sudah, kalau kamu tidak mau mengingatnya. Jangan diingat kalau menyakitkan, Al,” ucap Bima. Mereka melanjutkan makan malamnya. Bima dengan tumbennya bisa nyambung ngobrol dengan Alesha, setelah makan malam. Hingga selepas waktu Isya Bima masih mengobrol di ruang makan bersama Alesha, entah apalagi yang mereka obrolkan saat itu. Bima juga tidak menyangka Alesha bisa masak seenak ini. Yang dia tahu, Alesha itu gadis yang manja, kekanak-kanakkan, cengeng, bawel, dan masih banyak sekali kekurangan Alesha di mata Bima. Tapi, ternyata Alesha bisa memasak seenak ini. Bima sangat tidak percaya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD