Setelah Alesah pergi dari toko bungan Sovia, Sovia masih terus mengingat di mana dia pernah lihat sorot mata yang ia ridukan. Seperti sorot mata Alesha tadi, kalau Sovia menerawang mengingat semua nya. Sovia masih terdiam, terus mengingat siapa pemilih sorot mata yang sama dengan sorot mata Alesha.
“Sovia ....?” Bima dari tadi memanggil Sovia, tapi Sovia masih saja bengong. Bima tahu, mungkin Sovia memikirkan keberadaannya di sini diketahui mamanya, karena Alesha melihat dirinya.
“Sovia?” Bima memanggil Sovia sekali lagi dengan menyentuh tangannya.
“Ah, i—iya Bim. Ma—maaf,” ucap Sovia dengan sedikit terjingkat dan gugup.
“Kamu kenapa, Sov? Kamu takut kalau mama tahu semua ini?” tanya Bima.
“Eng—enggak ... aku tidak mempermasalahkan itu, kalau mama kamu tahu ya sudah aku bilang apa adanya,” jawab Sovia.
“Lalu kamu mikirin apa? Alesha?” Bima semakin penasaran dengan Sovia, yang selepas Alesha pergi malah jadi diam dan melamun.
“Enggak mikirin apa-apa, Bima ...,” jawab Alesha.
“Kok ngelamun?” ucap Bima.
“Ya, enggak nyangka saja Alesha di sini. Kata kamu kan dia sudah berangkat ke Surabaya,” ucap Sovia.
“Aku juga tidak tahu, dia kok jadinya naik taksi? Padahal tadi pagi, jelas-jelas dia dijemput sama Pak Roni, sopir pribadinya,” ucap Bima.
Sovia mengangkat bahunya mendengar Bima menjelaskan soal Alesha. Sovia juga tidak peduli, kalau nantinya Alesha mengadu ke mamanya Bima dan menceritakan semuanya, lalu mamanya Bima akan menghampirinya ke Jogja, dan memarahinya. Itu semua tidak pengaruh untuk Sovia.
Jogja sudah bisa menenangkan hatinya, menentramkan pikirannya. Jadi, mau hidupnya diusik oleh siapa pun itu, Sovia akan tenang. Di Jogja, dia menemukan kebahagiaan sendiri, memiliki Aksa, memiliki orang-orang yang sangat menyayanginya, dan ingin menemukan seseorang yang dulu menjadi sahabat kecilnya meski hanya sementara.
^^^
Alesha sudah dalam perjalanan pulang ke Surabaya. Dia bukannya memikirkan Bima yang bertemu dengan Sovia, tapi dia terus mengingat sahabat kecilnya dulu. Alesha sampai sekarang belum bisa melupakannya. Melupakan kejadian tragis yang menimpanya dengan sahabat kecilnya dulu.
“Kalau kakak waktu itu enggak nolongin aku, pasti kakak baik-baik saja, dan kita masih sama-sama,” gumam Alesha.
Alesha mendengar ponselnya berdenting, karena ada notifikasi pesan. Alesha mengambil ponselnya di dalam tas, dan melihat siapa yang mengirim pesan padanya. Bima. Sebuah nama yang tertera di layar ponsel Alesha. Bima yang mengirimkan pesan pada Alesha. Alesha langsung membukanya.
“Jangan coba-coba ngadu ke mama, kalau aku di sini bertemu Sovia. Kalau sampai ngadu, aku tidak akan pernah mau menyapamu lagi!”
Alesha langsung memasukkan ponselnya lagi setelah membaca pesan dari Bima. Di otaknya sama sekali tidak kepikiran soal mengadukan semua pada mamanya Bima. Menurutnya percuma saja, mengadu pun Bima masih akan tetap memilih Sovia, dan mungkin menurut Alesha, Bima malah akan semakin nekat kalau diaduin, lalu mamanya tahu kalau Bima sudah ketemu dengan Sovia, dan menyusul Bima ke Jogja.
“Sedikit pun aku tidak berpikiran ke situ. Enggak ada untungnya juga aku ngadu, ujung-ujungnya kamu tetap milih Sovia! Kesel sih, aku kejar kamu dari SMA, kuliah, dan sampai sekarang kamu sama sekali tidak peduliin aku. Kamu terus menganggap aku anak kecil, Bim. Mungkin memang aku seperti ini, aku manja, kekanak-kanakan, pokoknya selalu bikin kamu ilfeel sama aku. Sudah, aku tidak mau peduliin kamu, Bim. Silakan saja terus sakitin Tante Riri. Kamu harusnya tahu, Bim. Mama kamu menderita karena siapa? Karena Sovia dan Bundanya sudah merebut papa kamu. Mungkin kalau aku jadi tante Riri pun aku akan melakukan hal yang sama, karena aku perempuan, tahu bagaimana rasanya kalau disakiti,” gumam Alesha dengan menyandarkan kepalanya di jok mobil.
Alesha mendengar ada pesan masuk lagi di ponselnya. Dia tahu, siapa yang mengirim pesan padanya. Pasti itu dari Bima lagi. Sovia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang mengirim pesan padanya. Benar dari Bima lagi. Sovia menddengus kesal, membuang napasnya dengan kasar, karena pasti pesan Bima berisi ancaman untuk dirinya supaya tidak mengadu pada mamanya Bima, kalau Bima di sini sudah bertemu dengan Sovia.
“Kenapa di read saja?! Iya, kamu mau ngadu? Atau kamu sudah ngadu? Bener-bener kamu ya, Al? Tukang ngadu kamu!”
“Jangan di baca saja, balas dong! Jangan main-main kamu sama aku! Kamu mau aku pecat?!”
Alesha yang sudah tidak bisa menahan amarahnya, karena Bima selalu berpikiran negatif tentangnya, akhirnya dia gemas dan membalas pesan dari Bima.
“Untuk apa ngadu? Enggak ada gunanya, Bim! Kalau mau pecat, pecat saja, Bim! Aku sudah tidak butuh pekerjaan! Oke, kalau mau kamu aku keluar dari kantor kamu, aku ajukan surat pengunduran diriku pada Bagas, besok pagi. Happy selalu di situ sama Kak Sovia. Sorry selama ini aku selalu mengganggu hubungan kalian.”
Alesha dengan kasar memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia tidak tahu, kenapa dia bisa semarah itu dengan Bima. Dia juga berani bilang sudah tidak butuh pekerjaan lagi, padahal dia masih butuh pekerjaan, karena dia ingin menjadi perempuan yang mandiri, dia ingin belajar mandiri meski semuanya serba tercukupi. Papanya juga memiliki perusahaan di Ibu Kota, perusahaan yang lebih besar daripada perusahaan milik keluarga Bima.
“Kamu bodoh, Alesha! Kamu kan janji sama papa-mama, kalau kamu bisa mandiri, kamu bisa kerja dengan baik. Kamu tidak ingat kata papamu, Al? Memimpin perusahaan butuh kematangan, dan skill yang bagu. Sekarang kamu diberi kesempatan bekerja di perusahaan Bima, karena kamu yang mau, kamu yang membujuk papa, dan alasan kamu ingin belajar seperti apa mengurus perusahaan, sebelum kamu mengurus perusahaan papamu! Dasar, Alesha bodoh!” Alesha merutuki dirinya dalam hati.
^^^
Bima membaca pesan dari Alesha. Dia menaikkan alisnya, tidak percaya Alesha membalas pesannya seperti itu. Biasanya kalau diancam akan dipecat, Alesha merajuk dengan kalimat manja, dan dia ancam balik Bima. Tapi, sekarang Bima bingung dengan Alesha yang sudah lama sekali tidak pernah lagi bertemu setiap hari. Bima merasa ada yang aneh dengan Alesha, setelah hampir tujuh bulan tidak bertemu Alesha.
Bima mendengar ponselnya berdering. Ada telefon masuk. Bima mengepalkan tangannya, melihat siapa yang menelefonnya. Mamanya menelefon, dan dia langsung terarah pikirannya pada Alesha.
“Pasti tuh bocah ngaduin!” ucap Bima dengan kesal.
“Kenapa, Bim? Siapa yang ngadu?” tanya Sovia.
“Alesha, pasti ngadu ke mama, kalau aku di sini ketemu kamu,” jawab Bima.
“Jangan langsung menuduh Alesha, kali saja pas kebetulan mama telefon. Jangan langsung emosi dan menuduh orang, Bim. Lagian kalau Alesha ngadu ya sudah, mama kamu ke sini menemui aku, ya aku temui baik-baik. Katanya kita mau bicara baik-baik sama mama kamu soal hubungan kita? Sudah angkat dulu telefonnya, bicara yang baik-baik. Gak usah langsung marah dan bicara soal Alesha, karena dia ke sini juga kabur dari rumah, kan?” tutur Sovia.
Bima menganggukkan kepalanya. Benar kata Sovia, dia tidak boleh emosi dulu, dan menuduh orang sembarangan. Bima menggesar tombol hijau di layar ponselnya.
“Hallo, Ma? Tumben mama telfon pagi-pagi?”
“Enggak boleh mama telfon anak mama kalau masih pagi?”
“Enggak gitu, Ma. Tumben saja.”
“Mama kangen sama kamu, sudah mau satu tahun kamu tidak pulang. Kamu marah sama mama?”
“Bima kan di sini ngurus pekerjaan, Ma. Bukan Bima marah dengan mama. Kok mama bilang gitu?”
“Ya kali saja kamu marah, karena kamu kecewa sama mama yang tidak menyetujui kamu dengan Sovia, dan terus mendekatkan kamu dengan Alesha.”
“Pasti mama yang suruh Alesha ke sini, ya?”
“Kamu bilang apa, Bima? Mama enggak ketemu Alesha sudah dua mingguan. Apa Alesha ke situ? Dia kan tidak tahu Jogja, meski orang tuanya asli dari Jogja, karena dia sama sekali belum pernah ke Jogja lagi, sejak papanya mengurus perusahaan di Jakarta.”
“Ya, Alesha ke sini sih, tapi dia sudah pulang, kemarin dia ke sini. Gak bilang sama orang tuanya lagi. Bima terpakasa semalam suruh Alesha tidur di rumah Bima.”
“Kamu bawa perempuan bermalam di rumahmu? Bim, kenapa enggak di inapkan saja di hotel? Mama memang suka dengan Alesha, tapi kamu di situ sendirian, apa kata orang, kamu satu rumah dengan perempuan?”
“Mama, dia menginap saja, memang aku ngapain dengan dia? Lagian rumah baru Bima kan kamarnya tiga, Ma.”
“Lalu Alesha benar sudah pulang?”
“Iya, sudah. Sama Pak Roni.”
“Ya sudah, mama hubungi Alesha saja. Oh iya, Bim. Mama sama ayah ada rencana mau ke Jogja bulan depan, mama kan belum lihat rumah baru kamu, nanti mama mampir ke rumah kamu, setelah urusan ayah dengan klien selesai.”
“Bima tunggu, ajak Aina, Ma. Aku kangen dia.”
“Itu pasti.”
Bima menngakhiri panggilannya dengan mamanya. Dia meletakkan telefonnya di atas meja. Bima memandangi Sovia yang masih saja melamun, dan sedang memikirkan sesuatu.
“Mama enggak tahu Alesha ke sini, Sov,” ucap Bima.
“Tuh kan, aku bilang apa, pasti tante Riri gak tahu, Bim,” jawab Sovia.
“Mama minggu depan mau ke sini, Sov. Mungkin ini saatnya aku akan bicara dengan mama. Kamu mau, kan? Menemui mama, meminta restu mama lagi?” ucap Bima.
“Bim, kamu juga belum menemui eyang. Kamu belum bicara apa-apa sama eyang. Aku di sini punya eyang, jadi tolong hargai eyang, kamu juga harus bicara baik-baik dengan eyang,” ucap Sovia.
“Itu pasti, Sov.” Bima menggenggam tangan Sovia. Menenangkan hati Sovia yang dari tadi terlihat tidak baik-baik saja.
“Ada waktu satu bulan, untuk aku mengenal lebih dekat dengan eyang kamu,” ucap Bima.
Sovia hanya tersenyum. Dia meyakinkan dirinya, kalau nanti mamanya Bima akan menerimanya. Dia tidak mau bersusah payah memikirkan semua yang membuat sakit hati. Yang Sovia tahu, selama ada Bima di sisinya, dia merasa aman, meski seumur hidupnya dia tidak mendapat restu dari mamanya Bima, dia tetap pada keputusannya. Mencintai tanpa memiliki Bima. Sovia tetap pada pendiriaannya, seperti yang Bima katakan juga, meski tidak pernah mendapatkan restu, akan tetap menjaga cinta sucinya dan bertahan tanpa pernikahan.