Anggasta Chapter 02

1062 Words
Angga baru mau menuliskan kata pertama di buku tulisnya yang kosong, namun sedetik setelah itu, Bu Rosi sudah berada di ambang pintu kelas, Angga langsung menggerutu, nasib s**l kembali hadir menemani hari-harinya. Catatan milik Puji terpaksa Angga robek, lalu ditempel di bukunya. Setelah melakukan hal senonoh itu, Angga langsung melempar buku itu ke meja Puji. Ya, jaraknya memang tidak terlalu jauh. Puji hanya melempar tatapan sinis kepada Angga. Cowok itu langsung menyeringai tanpa dosa. Sejak kelas sepuluh, Puji sudah melemparkan sinyal permusuhan kepada Angga. Ini bukan salahnya, melainkan Angga  terlebih dahulu yang usil melemparkan kaos olahraga milik Puji ke arah kipas angin yang berputar. Sejak saat itulah, Puji tidak suka dengan Angga. "Kenapa kelasnya kotor kayak gini? Ibu nggak mau ngajar kalian kalo kelas masih banyak sampah," ujar Bu Rosi dengan lantang. "Ye...dasar guru somflak. Bukannya salam, malah marah-marah nggak jelas." Angga mencibir tidak suka. Bu Rosi langsung keluar dari ruangan kelas XI IPS 5, para murid yang hari ini jadwal piket dengan cekatan buru-buru pergi ke belakang hendak mengambil sapu dan peralatan kebersihan lainnya. Bu Rosi salah satu tipe guru yang banyak tidak disukai oleh para siswa. Bagaimana tidak? beliau merupakan maniak kebersihan. Hanya kelas dalam keadaan kotor sedikitpun, Bu Rosi enggan mengajar. Dasar menyebalkan! "Nah, kayak gini kan, enak kalau dilihat," puji Bu Rosi setelah kelas dalam keadaan sudah bersih. "Oke, Ibu akan mengecek catatan kalian. Kalo masih belum ada yang mencacat, terima aja konsekuensinya yang sudah disepekati." Bu Rosi mulai keliling dari deretan bangku paling depan. "Puji, mana catatan kamu, Ibu mau lihat!" cewek itu langsung menyerahkan benda berbentuk persegi. Bu Rosi langsung membuka satu persatu halaman. "Catatan kamu mana, Ji?" tanya Bu Rosi, beliau masih membolak- balikkan kertas. Namun sama, hasilnya tetap nihil. Puji mengambil bukunya, dan lantas membuka. Dia terkejut bukan main, tampak ada bekas sobekan di bukunya. Dengan garang, Puji langsung menatap ke bangku Angga. Cowok itu berpura-pura sedang menulis. Takut ketahuan. Puji hampir menangis karena catatan sudah hilang dan ini semua real salah Angga. "Angga! Lo nyobek catatan gue, ya? Ngaku lo!" Puji berteriak. "Tadi buku saya di pinjem Angga, tanya aja sama Asni, Bu," ucap Puji. Asni mengangguk setuju. Guru killer itu menghampiri meja Angga. "Coba lihat catatan kamu!" sergah Bu Rosi—galak. Angga menyodorkan buku catatannya sedikir ragu. "Nah, ini kenapa pakek di lem segala? Bener kamu nyobek catetan punya Puji?" Angga berusaha mengelak. "Nah, saya kan, cuma bantuin dia biar nggak kena omelan Ibu, gimana sih. Bukannya terima kasih malah nyalihin gue." Angga menatap sinis ke arah Puji. "Bantuin pala lo peang. Buku gue elo sobek, itu namanya nambah masalah," Asni yang melihat pertikaian itu juga mulai sewot. Kribo menatap Angga dengan kening berkerut. Begitulah Kribo, sedikit lemot untuk mencerna sesuatu hal. "Eh Puji! Tulisan lo kan jelek. Makanya gue sobek biar Bu Rosi nggak lihat tulisan ceker ayam milik lo itu. Yang ada lo kena marah karena dikatain nggak niat nulis. Nah, makanya gue tempel di buku gue aja biar lo bisa tenang. Gue rela kok kalau kena marah," jelas Angga panjang lebar. "Udah cukup! Ibu pusing nih jadinya. Kamu yang salah," gertak Bu Rosi menunjuk Angga. "Nah, kok malah saya sih bu." "Sukurin lo, mampuss!" Puji mendelik ke arah Angga. Asni tampa menjulurkan lidahnya ke arah Angga. Cowok itu memutar bola matanya malas. "Kamu yang malas nulis, buktinya punya Puji aja kamu sobek. Udah, sana berdiri di tengah lapangan sampai jam Ibu abis!" perintah guru itu. Angga melotot, "nah, nggak bisa gitu dong Bu. Masa' saya doang. Malu lah Bu berdiri di sana, kayak kurang kerjaan aja." Bu Rosi tersenyum kecut. "Kalau gitu, Ibu tambahin lima belas menit lagi." Buset! Begitu berat, kah? Jika tahu ujung-ujungnya kayak gini, lebih baik Angga membolos saja tadi. Entah karena apa ia tidak berpikir sampai sana. "Kamu itu mau sekolah atau mau main? Masukin bajunya!" omel Bu Rosi. Sudah ada dua guru yang menyuruh melakukan hal sama. Dengan terpaksa, Angga menurutinya. "Kamu itu udah kelas XI, sebentar lagi mau naik kelas, kurangin nakal kamu dikit kek." "Bosen saya Bu, tiap hari dapat omelan kayak gitu terus. Sesekali saya dipuji kek," celetuk Angga. Bu Rosi jadi gemas meladeni muridnya yang begitu nakal. Beliau sampai belum memulai pelajaran karena meladeni Angga. Semua siswa diam-diam juga terhibur akan hal itu. "Kalau gitu, belajar yang rajin," ucap beliau seraya menjewer telinga Angga keras. "I-iya Bu." Angga memegangi telinganya yang masih merasakan perih. Bu Rosi memang penjewer telinga yang handal. "Ibu butuh bukti, nggak cuma omongan. Coba kamu contoh tuh sih Cherry anak XI IPA 1, dia pinter. Nggak kayak kamu." Alah udah basi! Siapa yang bilang kalau anak IPA itu nggak pintar? Nggak perlu diragukan lagi. Inilah yang Angga tidak suka. Guru selalu membanding-bandingkan jurusan mereka. "Namanya juga anak IPA Bu, ya wajarlah. Jangan bahas itu Bu, Saya udah enek ndengernya. Kenapa sih, semua guru selalu membanding-bandingkan. Apa mereka terlalu spesial? Bukannya kita sama-sama murid di dalam satu sekolah yang sama, ya?" Alis Angga naik keatas. Bu Rosi tampak menghela napas. "Ibu bukannya mau membandingkan anak IPS dengan anak IPA. Ibu cuma mau memberi kalian acuan supaya kalian nggak kalah sama mereka. Jadikan itu sebagai patokan dan motivasi," terang beliau bijak. "Alah, sama aja Bu. Kelakuan kita emang b***t kan, Bu?" "Bukan semua. Tapi cuma kamu, kamu biang keroknya. Semua ini berasal dari kamu. Udah, buruan sana ke lapangan!" Dasar rese! Angga mulai berjalan dengan malas menuju lapangan basket. Dia terus menggerutu tidak terima. Lagi dan lagi, hukuman selalu menemani harinya. Tiada hari tanpa hukuman. Anehnya, Angga masih belum kapok. Begitu masalah satu sudah kelar, muncullah masalah baru yang lebih rumit. Begitu seterusnya. "Emang cuma gue di dini yang nakal? Perasaan gue nggak nakal-nakal amat tuh!" Angga menggerutu sambil berdiri tegap di tengah lapangan. Panas matahari sangat tidak bersahabat. Sinarnya mampu membakar kulit. Hawa panas mulai menyelubungi raga Angga. Keringat mulai keluar dari leher, pelipis, hingga wajahnya yang tampan. "Iya gue tahu, anak IPA notabene emang kebanyakan murid baik. Tapi nggak semua kali, pasti ada satu diantara mereka yang sama kayak gue. Tapi cuma beruntung aja nggak ketahuan guru karena tetutup sama jurusannya." Angga hanya bisa mengumpat. Mencaci anak IPA yang selalu disanjung. Sudah dua puluh menit lamanya Angga berdiri di sini, rasa lelah sudah menjalar. Namun, ia harus kuat bertahan lebih lama. Angga berpikir, apabila dirinya kabur, mungkin masalah baru yang lebih ekstrim akan menimpanya lagi. Angga tidak mau itu. Hari ini sudah terlalu banyak mendapatkan hukuman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD