Bagian 14
Ahmad tiba di masjid saat jamaah sedang melaksanakan sholat ashar berjamaah. Buru-buru Ahmad mengambil wudhu dan langsung mengikuti sholat berjamaah yang sudah masuk rakaat kedua.
Subhanallah. Meskipun hujan lebat, ternyata masih ada orang-orang yang bersedia menginjakkan kakinya di masjid. Ahmad merupak jamaah ke-delapan dan setelahnya masih ada satu jamaah lagi yang menyusul. Disaat kebanyakan orang memilih berdiam diri di rumah karena takut basah terkena air hujan, mereka malah mendatangi masjid untuk melaksanakan kewajibannya menghadap sang pencipta, Allah SWT.
"Assalamualaikum warahmatullah. Assalamualaikum warahmatullah."
Imam mengucapkan salam dan Ahmad kembali melanjutkan sholat untuk mengejar ketinggalannya.
Setelah selesai berdoa, para jamaah pulang satu persatu dan kini hanya tersisa Ilham dan Ahmad saja.
"Om." Ahmad langsung menyalami calon mertuanya itu setelah dia selesai berdoa.
"Loh, Nak Ahmad rupanya," sapa Ilham sambil mengelus kepala Ahmad.
"Iya, Om. Aku sekalian mau jemput Om."
"Oh iya, Nak Ahmad, apa kamu bersedia membantu Om? Om mau minta tolong, tolong temani Om menyusul Kirana ke sekolahan. Dari tadi dia belum pulang juga. Tidak biasanya seperti ini. Om sangat khawatir."
Ahmad melihat kekhawatiran di wajah Ilham dan itu adalah hal yang wajar menurutnya.
"Om tidak usah khawatir. Kirana sudah berada di rumah. Aku sendiri yang mengantarnya."
"Alhamdulillah ya Allah. Engkau telah mengabulkan doa hamba. Terima kasih ya Allah." Ilham langsung sujud syukur setelah mendengar kabar bahagia tersebut.
"Alhamdulillah, terima kasih Nak Ahmad."
"Om tidak perlu berterima kasih. Sudah tugasku sebagai calon suaminya Kirana untuk menjaga dan melindunginya, Om."
"Tapi Om tetap berterima kasih. o*******g Kirana sudah pulang dan Om sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya."
"Kalau begitu lebih baik kita pulang sekarang ya, Om. Nanti akan saya jelaskan di mobil kenapa Kirana pulang terlambat."
"Baik, Nak Ahmad, mari."
Ahmad segera membantu Ilham menggulung sajadah. Setelah selesai, mereka berdua berjalan menuju pintu. Setelah mereka berada di teras, Ilham menutup pintu kembali. Saat melihat teras yang basah, Ilham masih menyempatkan diri untuk mengambil kain pel dan membersihkan. Dia takut ada orang yang terjatuh nantinya kalau tidak dibersihkan karena lantai terasnya sangat licin saat terkena air. Alangkah mulia hatinya.
Ahmad yang melihat hal itu pun langsung menyingsingkan lengan baju dan segera membantu calon mertuanya itu. Setelah selesai, mereka berdua pun segera menuju mobil.
Ahmad mengendarai mobil dengan kecepatan sedang sambil bercerita tentang Kirana. Ahmad hanya mengatakan bahwa Kirana pingsan karena masuk angin. Ahmad tidak menceritakan tentang Raka dan Widya karena takut ayah dari gadis yang dia cintai itu kepikiran nantinya.
Ilham manggut-manggut mendengar cerita Ahmad. Baginya, yang terpenting adalah anak gadisnya itu sudah pulang ke rumah. Lelaki yang merupakan marbot masjid itu terus mengucap hamdalah yang disertai dengan dzikir sebagai bentuk rasa syukurnya.
"Alhamdulillah ya Allah. Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaha illalloh, Allahu Akbar." Itulah dzikir yang tidak pernah lupa dilafalkan oleh Ilham baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan suka maupun duka.
"Om, kita cari makan dulu, ya. Kebetulan ada Hamidah yang hobbi makan di rumah," tawar Ahmad.
"Terserah Nak Ahmad saja," jawab Ilham.
Setelah mendapat persetujuan dari Ilham, Ahmad pun mempercepat laju kendaraannya untuk mencari penjual makanan.
"Om mau makan apa?"
"Apa aja, Nak Ahmad. Om suka semua makanan asalkan itu halal."
"Masya Allah, aku salut sama om karena Om tidak pilih-pilih makanan."
"Makanan apapun itu, akan terasa lebih lezat jika kita senantiasa bersyukur, Nak Ahmad. Bahkan Om, tantemu dan juga Kirana sering makan nasi pakai garam. Rasanya tetap enak. Bisa mengenyangkan perut. Intinya, rasa syukur kita harus senantiasa dijaga, Nak Ahmad."
Ahmad sedih mendengar cerita Ilham, tetapi dia juga salut akan kesabaran calon mertuanya itu. Berulangkali diuji oleh Allah SWT, Ilham tatap sabar dan bahkan kecintaannya terhadap Allah SWT semakin bertambah.
"Ada warung nasi Padang, Om. Kita beli nasi Padang aja ya, Om. Cuaca dingin kayak gini membuat perutku lapar," ucap Ahmad sambil terkekeh.
Ilham menatap ke arah warung nasi Padang yang dimaksud Ahmad. Matanya kemudian tertuju pada penjual jagung rebus yang ada di samping warung tersebut. Seorang bapak tua sedang duduk merenung sambil melipat kedua tangannya. Sepertinya dagangannya tidak laku. Terlihat dari raut wajah sang Bapak yang menunjukkan raut sedih. Gerobak siomay, gorengan, bakso dan cilok yang berada di sebelnya ramai pembeli. Hanya dagangan bapak tua itu saja yang tidak ada pembelinya.
Lama Ilham menatap bapak tua tersebut beserta dagangannya. Dia kasihan melihatnya. Hingga akhirnya Ahmad telah kembali dari membeli nasi Padang, tapi dagangan bapak tua tersebut belum ada satu orangpun yang membelinya.
Ahmad telah kembali sambil menenteng beberapa bungkus nasi Padang dan juga gorengan di tangannya. Setelah Ahmad duduk di bangku kemudi, Ilham pun menyampaikan niatnya.
"Nak Ahmad, apa Nak Ahmad masih punya uang? Boleh Om pinjam?"
Pertanyaan Ilham tersebut berhasil membuat kening Ahmad mengernyit.
"Ada, Om. Om butuh berapa? Katakan saja, enggak perlu meminjam segala, Om." Ahmad sedikit keberatan mendengar kata Meminjam karena dia sudah menganggap Ilham seperti orang tuanya sendiri.
"Om butuh dua puluh ribu untuk membeli dagangan Bapak penjual jagung rebus yang ada di sana. Om kasihan karena tak ada yang membeli dagangannya. Pasti beliau adalah tulang punggung keluarganya. Om tidak bisa membayangkannya jika Bapak itu pulang tanpa membawa uang," jelas Ilham.
Hati Ahmad langsung tersentuh. Dia bahkan sudah melewati gerobak jagung rebus tersebut tanpa berniat membelinya.
"Om tunggu di sini, biar aku saja yang belikan." Ahmad kembali turun dan segera menuju gerobak jagung rebus tersebut. Dia memborong hampir setengah dari dagangan bapak tersebut serta melebihkan bayarannya.
Bapak penjual jagung rebus bahagia sekali saat ada yang membeli dagangannya. Air matanya menetes saat mengucapkan terima kasih kepada Ahmad. Dia membayangkan wajah istrinya yang menunggunya dengan setia di rumah.
"Alhamdulillah ya Allah, terima kasih atas rezeki yang engkau berikan. Dengan uang ini hamba bisa membeli obat untuk istri hamba," ucap sang penjual jagung rebus sambil mengusap air mata di sudut netranya.
"Banyak sekali jagungnya, Nak. Beli berapa?" tanya Ilham saat Ahmad kembali ke mobil.
"Ah, tidak seberapa kok, Om. Hitung-hitung, kita bisa berbagi sesekali dengan tetangga."
"Alhamdulillah. Memang begitulah seharusnya, Nak. Allah menyuruh kita untuk peduli kepada orang lain. Walaupun kita tidak suka apa yang dia jual, jika kita punya rezeki lebih, kita bisa membelinya dan bisa dibagikan ke tetangga. Barangkali dengan kita membeli dagangannya, bisa mengurangi sedikit bebannya."
"Terima kasih, Om. Om telah mengajariku tentang peduli kepada orang lain. Sebagai lelaki yang nantinya akan menjadi imam di rumah tangga, aku ini masih banyak kekurangan dan harus banyak belajar, Om."
"Semua manusia punya kekurangan, Nak Ahmad. Dan Om bangga sama kamu karena kamu mau belajar memperbaiki diri. Om semakin yakin untuk menitipkan Kirana padamu. Semoga saja kalian berjodoh."
"Aamiin, Om. Insyaallah aku akan menjaga Kirana sepenuh hatiku."
***
"Yuhuu, ada nasi Padang dan gorengan. Eh, ada jagung rebus juga. Mantap!" ucap Hamidah begitu membuka satu-persatu kantong plastik yang dibawa Ahmad.
"Makan aja yang kamu pikirin. Lihat tuh body udah kayak drum, enggak berbentuk," ledek Ahmad.
"Biarin. Dari pada Abang yang kayak tiang PLN," balas Hamidah.
"Kalian ini ada-ada saja," ucap Ilham, lalu segera menghampiri putrinya yang sedang beristirahat di kamar.
"Kirana baik-baik saja kan, Nak? Ayah tadi khawatir sekali," tanya Ilham sambil mengelus kepala putrinya.
"Alhamdulillah aku baik-baik saja, Yah. Seperti yang ayah lihat."
"Lain kali kamu harus siapin balsam sama kayu putih di tas. Buat jaga-jaga kalau masuk angin lagi. Ayah tidak mau putri ayah kenapa-kenapa."
"Siap, Yah."
"Kirana, kamu enggak mau nasi Padang? Apa kamu mau terus rebahan? Kalau gitu jatah kamu buat aku ya. Lanjutin aja rebahannya," olok Hamidah sambil membawa nampan berisi gelas dan piring di tangannya. Hamidah sedang mempersiapkan piring untuk makan bersama, tapi dia malah menyempatkan diri mampir ke kamar Kirana.
Ilham hanya tersenyum mendengar candaan Hamidah yang dibalas lemparan bantal oleh Kirana.
"Nak, kita makan dulu, yuk, habis itu baru minum obat. Nak Ahmad udah membelikan banyak makanan dan Hamidah sudah selesai menyiapkannya," ajak Syafitri.
"Mari, Yah, Kirana."
"Iya, Bu."
Mereka bertiga pun menghampiri Ahmad dan juga Hamidah yang sudah menunggu di atas tikar ruang tamu.
***
Di sisi lain, Raka sudah tiba di rumah kontrakan. Ia segera membuka pintu setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumah terlebih dahulu.
Raka merasa lega karena Widya sudah pulang. Setidaknya untuk sementara dia bisa bebas dari Widya.
"Aduh, dingin sekali," ucap raka sambil melepas sepatunya.
Raka tiba-tiba pingin kopi, tapi dia malas untuk membuatnya.
"Kalau udah punya istri, enak kali yah, ada yang layanin. Mau kopi dibikinin, mau makan diambilin. Tidur pun ada yang nemenin. Bisa dipeluk sesuka hati apalagi pas cuaca dingin kayak gini, Pasti seru." Raka berbicara sendiri, tertawa sendiri.
Raka menghempaskan bobotnya di atas kursi, lalu tiba-tiba wajah Kirana hadir di benaknya.
"Aduh, ini otak bisa berhenti mikirin Kirana enggak, sih? Dia udah punya calon suami dan aku juga sudah punya calon istri."
Raka heran, seharusnya wajah Widya yang muncul saat dia membayangkan tentang pernikahan. Tapi kenapa malah wajah Kirana yang muncul.
Raka segera mengusap wajahnya dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri karena tak lama lagi waktu sholat magrib akan tiba.
Selesai berpakaian, Raka pun mengunci rumah, kemudian mengambil payung karena di luar masih hujan. Memang tidak selebat tadi, tapi jika diterobos begitu saja, pasti akan basah.
Tujuan Raka kali ini adalah ke masjid yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah kontrakannya. Rumah Raka berada di sebelah timur masjid, sedangkan rumah Kirana berada di sebelah barat. Raka tidak bisa meninggalkan kebiasaannya. Rasanya ada yang kurang jika sehari saja Raka tidak mendatangi mesjid.
Di masjid masuh tarhim, tapi Raka sudah tiba. Setelah melepas alas kaki, Raka pun memasuki masjid dan meletakkan payungnya di teras Masjid.
Saat hendak berwudhu, tiba-tiba dia bertemu dengan Ilham. Ilham yang juga hendak berwudhu terperanjat kaget melihat Raka. Seketika, lelaki yang hampir menjadi mertuanya Raka itu terpaku di tempat. Lidahnya seolah kelu, tak mampu mengucap sepatah katapun.
Bersambung