Bagian 5
Jam pelajaran untuk hari ini telah usai. Kirana mengucap hamdalah, merasa lega karena dia masih bisa mengajar seperti biasanya di tengah kekacauan hatinya.
Setelah membereskan peralatannya, Kirana pun menuju kantin untuk meminta uang hasil penjualan keripik. Setibanya di kantin, sang penjaga kantin pun menyerahkan uang tersebut kepada Kirana.
"Masih banyak sisanya, yang lakunya cuma segini, Bu Kirana," ucap sang penjaga kantin dan Kirana hanya mengangguk sambil tersenyum menerima uang itu.
Berapapun hasil yang diterimanya, Kirana tetap bersyukur. Ayahnya selalu mengajarkan padanya untuk senantiasa menjadi manusia yang pandai bersyukur. Berapapun yang didapat, jika kita bersyukur maka Allah akan menambahkannya lagi. Insyaallah.
Kirana memasukkan uang tersebut ke dalam tasnya, lalu berpamitan kepada penjaga kantin. Setelah ini, dia berencana akan pergi ke toko sembako untuk membeli beras, minyak, telur dan yang lainnya. Kebetulan juga tadi Kirana habis gajian dan rencananya dia akan menggunakan uang itu untuk membeli perlengkapan dapur untuk jatah sebulan.
"Bu Kirana mau pulang, kan? Mari saya antar," ajak Wahyu sambil menghentikan motornya di depan Kirana.
"Tidak usah, Pak, saya jalan kaki saja," tolak Kirana.
"Kasihan Bu Kirana, mana panas banget lagi! Lebih baik saya antar saja ya Bu."
Cuaca memang sangat panas. Namun, Kirana tidak takut untuk berjalan di bawah teriknya sinar matahari yang bisa saja membuat kulitnya menghitam. Kirana tidak peduli akan hal itu. Yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya agar segera tiba di toko sembako langganannya. Setelah itu, baru pulang karena pasti Ayah dan ibunya sudah menunggunya di rumah.
"Tidak usah, Pak Wahyu. Saya jalan kaki saja. Tidak terlalu jauh, kok. Lagian saya tidak mau merepotkan. Permisi!"
Kirana merasa tidak enak hati karena sudah terlalu sering merepotkan Wahyu. Wahyu begitu baik padanya dan Kirana takut jika dia tidak bisa membalas kebaikan Wahyu.
Wahyu sedikit kecewa mendengar penolakan Kirana. Namun, dia juga tidak bisa memaksa Kirana. Jika saja Kirana mau menerima ajakannya, maka Wahyu akan sangat senang. Seandainya jika Kirana memintanya untuk mengantar jemputnya setiap hari pun, Wahyu tidak akan keberadaan dan dengan senang hati melakukannya.
***
"Assalamualaikum, Ayah, Ibu," ucap Kirana begitu tiba di teras rumahnya.
Setelah memastikan bahwa semua barang belanjaannya sudah diturunkan oleh sang supir ojek yang ditumpanginya, Kirana lalu mendorong pintu yang tidak dikunci sambil membawa kantong plastik yang lumayan berat di tangannya.
"Sudah pulang, Nak? Tumben pulangnya lama?" tanya Ilham. Lelaki yang merupakan ayah dari Kirana itu tersenyum saat menyambut kepulangan anak gadisnya.
"Iya, Yah, tadi aku mampir dulu ke toko sembako, habis itu ke apotek buat beli obat Ibu. Oh ya, Yah, di teras ada beras. aku enggak kuat bawa ke dalam."
"Biar Ayah yang bawa, Nak. Alhamdulillah kamu udah beli beras." Lelaki itu kemudian mengangkat karung beras yang ada di teras dan membawanya ke dapur. Sedangkan Kirana meletakkan kantong plastik yang dibawanya tadi, setalah itu segera ibunya yang sedang berbaring lemah di atas tempat tidur.
"Assalamualaikum, Bu." Kirana meraih tangan ibunya, lalu menciumnya.
"Waalaikumsalam, udah pulang, Nak?"
"Sudah, Bu. Oh ya, ini aku beliin obat buat Ibu. Sama ini ada buah juga." Kirana kemudian meletakkan kantong plastik yang berisi obat dan juga buah tersebut di atas meja yang terletak di samping tempat tidur sang ibu.
"Makasih banyak ya, Nak. Maaf jika Ibu selalu merepotkanmu."
"Iya, Nak, Ayah juga minta maaf, ya. Seharusnya Ayah yang menjadi tulang punggung keluarga, bukan kamu. Maafkan Ayah karena tidak bisa membahagiakanmu. Maafkan Ayah karena belum bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu dan juga ibumu."
Air mata Ilham menetes. Ia merasa bersalah dan merasa tidak berguna karena tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Sejak mereka terusir akibat fitnah keji itu, Ilham tak lagi memiliki penghasilan. Bukan tidak mau bekerja, hanya saja tak ada yang mau memakai jasanya meningkat Ilham juga sudah berumur.
Ilham kembali teringat saat-saat dulu. Saat di mana ia masih bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anak dan istrinya. Bahkan Ilham juga bisa menyekolahkan Kirana hingga lulus dan menjadi sarjana.
"Ayah, Ibu, aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Itu memang sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang anak. Sudah seharusnya aku sebagai seorang anak berbakti kepada Ibu dan Ayah."
Ilham pun mendekat, lalu memeluk putri kesayangan itu. "Terima kasih, Nak. Ayah beruntung memiliki putri sepertimu. Ayah bangga sama kamu."
"Aku juga bangga memiliki orang tua seperti Ayah dan Ibu."
Seorang anak memang sudah seharusnya berbakti kepada kedua orang tua, dan itulah yang dilakukan Kirana. Jika dulu Ayah dan ibunya berjuang mati-matian untuk menyekolahkannya, maka sekarang Kirana akan berjuang untuk membahagiakan kedua orang tuanya.
"Kirana, kamu pegang uang ini ya, Nak, buat tambahan beli beras." Ilham menyerahkan lima lembar uang berwarna merah ke tangan Kirana. Ilham hanya bisa memberikan nafkah sebesar lima ratus ribu untuk anak dan istrinya. Uang yang tidak seberapa itu dia dapat dari hasil kerjanya yang merupakan marbot masjid.
"Bapak pegang aja, Kirana masih punya uang, kok," tolak Kirana.
"Kalau begitu Ibu saja yang simpan ya. Buat bayar kontrakan bulan depan."
Syafitri pun menerima uang pemberian suaminya tersebut sambil mengucapakan hamdalah. Setidaknya ia bisa tenang karena uang untuk bayar kontrakan bulan depan sudah ada di tangan.
Jarum jam menunjukkan pukul 15.00. Itu artinya tak lama lagi waktu sholat ashar akan tiba. Ilham pun segera berpamitan kepada anak dan istrinya. Sudah saatnya baginya untuk kembali melaksanakan tugas sebagai seorang marbot masjid.
Setelah ayahnya pergi, Kirana juga segera mengganti pakaian dinasnya dengan baju rumahan. Buru-buru dia mengambil sapu dan lanjut beres-beres rumah karena setelah sholat ashar nanti masih ada tugas mulia yang menanti dirinya.
Ilham kini sudah tiba di masjid. dia melepas alas kaki, lalu meletakkannya di tempat khusus. Ia langsung ke kamar mandi untuk mengambil kain pel, lalu mengepel lantai yang sedikit berdebu sambil bersholawat.
Sementara itu, seorang lelaki dan wanita sedang memantaunya dari dalam mobil dan Ilham tidak sadar akan hal itu. Mereka adalah Raka dan Widya. Mereka begitu penasaran bagaimana kehidupan keluarga Kirana yang sekarang.
"Rupanya si dukun santet itu aktif di mesjid ini," ucap Widya sambil menatap Ilham yang sudah hampir selesai dengan tugasnya itu dengan tatapan benci.
"Jangan-jangan, warga di sini tuh belum pada tahu siapa Kirana dan keluarganya! Duh, aku jadi takut ada korban lagi loh, Bang."
Raka tak menanggapi ucapan Widya. Dia menghela napas panjang. Matanya masih fokus menatap lelaki yang hampir jadi mertuanya itu.
"Jika dilihat-lihat, Om Ilham terlihat seperti orang baik. Tahu agama lagi! Sering menjadi imam di masjid dan merupakan guru mengaji juga. Apa iya orang alim seperti Om Ilham merupakan dukun santet? Dan apa iya putri dari seorang yang tahu agama bisa menjadi p*****r? Ah, sungguh tidak masuk akal!" Raka bergumam. Sekarang, ia mulai meragukan kebenaran fitnah itu.
Raka masih mengingat dengan jelas bawa lelaki yang merupakan ayah dari Kirana itu dulunya merupakan orang baik. Semua orang menyukai sikafnya yang ramah, rendah hati dan suka menolong sesama. Jika mengingat semua itu, Raka tidak yakin jika Ilham merupakan seorang dukun santet. Namun, kenyataan berkata lain. Bukti dan fakta yang ada sudah menjawab semuanya.
"Bang, gimana kalau kita ngasih tahu warga siapa sebenarnya mereka. Biar warga hati-hati sama mereka. Tidak menutup kemungkinan kan, kalau mereka nyari tumbal lagi?"
"Bukankah kamu hanya ingin mengetahui tempat tinggal Kirana? Terus sekarang kenapa jadi merembet ke mana-mana?" Raka protes, tidak setuju dengan usul Widya.
"Abang kenapa, sih? Apa jangan-jangan, Abang senang ya bisa ketemu lagi sama Kirana?" Widya merengut. Ia kesal mendengar jawaban Raka.
"Lebih baik kita pergi saja dari sini. Sekarang aku akan mengantarmu ke pelabuhan. Kamu harus kembali ke Dumai, Widya!"
"Apa? Abang menyuruhku pulang?" Widya tidak terima. Dia takut jika calon suaminya itu punya banyak kesempatan untuk bertemu Kirana. Mengingat sekarang mereka mengajar di sekolah yang sama.
"Iya, kamu harus pulang. Tidak mungkin kita tinggal serumah, Widya!" tegas Raka.
Widya terdiam. Apa yang diucapkan Raka itu memang benar. Namun, Widya tidak peduli. Yang jelas, dia tidak akan kembali ke kota kelahirannya sebelum berhasil menyingkirkan Kirana. Itu adalah janjinya.
Bersambung