Hari, bahkan bulan telah berlalu. Semua hal yang sangat menjengkelkan kini mulai menjadi bagian dari kehidupan Arana. Empat bulan sudah Ara dan Alex menjadi pasangan kekasih. Jujur saja, Ara mengakui jika Alex benar-benar memanjakannya, tapi tetap saja, Ara yang biasanya bebas tidak bisa langsung berubah dalam waktu sebentar. Dan itu yang terkadang membuat bumbu dalam hubungan mereka, lambat laun Ara pun mulai terbiasa dengan kehadiran Alex dalam kehidupannya.
Seperti saat ini, Alex terlihat berada di dalam kelas kekasihnya. Ia hanya duduk dan menatap Ara yang masih sibuk menyalin catatan Rere, sahabatnya.
"Aku gak suka yah, kamu cuekin aku." Ucap Alex.
Ara tidak menghiraukannya sama sekali.
"Ra, aku udah jauh-jauh dari kelas mau ngajak kamu makan, istirahat. Malah di cuekin." Tambahnya yang mulai mengerucutkan bibirnya.
Pluk.
"Yah jatoh, ck." Pulpen yang digunakannya terjatuh ke bawah meja. Ara pun membungkukkan tubuhnya untuk meraih pulpennya kembali.
Alex yang melihat ada paku pada samping meja, langsung menutupi kepala Ara.
"Awas ada--"
DUGH.
Awwwsh...
Ara yang sudah kembali duduk tegak, langsung melirik ke arah Alex yang terlihat meringis sakit seraya memegangi lengan kirinya.
"Lex, Alex tangan kamu..." Dengan panik, Ara langsung mengambil tissue dari dalam tasnya.
"Eh... Darahnya turun," panik Ara yang langsung saja membersihkan luka pada tangan kekasih menyebalkannya itu.
Menatap dalam diam, itu yang Alex lakukan. Ia tidak menyangka jika Ara akan sepanik itu. Ia tidak menyangka jika Ara akan perduli kepadanya.
"Ini kok bisa berdarah sih? Kepala aku ada belingnya, heuh?" Ujar Ara dengan masih fokus mengobati luka Alex.
"Tadi kena--kamu dapet plester dari mana?" Tanya Alex saat Ara menempelkan plester pada punggung tangannya yang terluka.
"Aku beli dua tadi,"
Damn.
"Shit." Ara langsung saja menyibukkan diri dengan catatannya kembali.
"Kamu luka?"
"Eh? Eng--enggak kok," jawab Ara gugup. "Itu tangan kamu, kenapa bisa berdarah sih, Lex?"
Ara mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraannya.
"Kena paku di meja,"
"Lah b**o,"
Alex menatap Ara tak suka. "Yang b**o tuh kamu, kalau gak aku tutupin, kepala kamu yang bakalan luka."
Diam. Ara menghentikan kegiatan mencatatnya. Kemudian ia melirik Alex yang saat ini bersandar pada dinding kelasnya, mata indahnya terpejam. Tenang, itu yang Ara rasakan. Tampan, itu yang sering Ara akui ketika Alex tengah tertidur.
"Ra,"
"Eh iya?" Kaget Ara yang langsung memalingkan wajahnya.
"Plester ini?"
Ara menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Masih aja inget, ish."
"Kenapa?"
Ara tersenyum manis. "Tadi aku jatoh, lutut aku luka mhehe..."
Alex menidurkan kepalanya di atas meja. "Aku berusaha buat jagain kamu, loh. Aku rela luka supaya kamu enggak. Harusnya kamu bisa lebih jaga diri, dibanding aku."
Tersentuh? Entah sejak kapan tapi Ara benar-benar terbiasa dengan apa yang Alex lakukan. Dan jujur saja, ia jatuh hati pada sosok Alex yang lembut seperti ini.
"Maaf," sesal Ara.
"Jangan ceroboh, lagi. Kalau ada aku, aku bisa aja jagain kamu. Tapi kalau gak ada, yah kamu harus bisa jaga diri kamu." Ucap Alex.
Ara mengangguk paham. "Siap."
Hangat. Itu yang Alex rasakan. "Cie meluk-meluk," goda Alex.
Ara tidak peduli, toh tidak ada orang di dalam kelasnya. "Biarin, kan kamu pacar aku."
Senang, Alex sangat senang mendengar pengakuan itu. Sejak pertama kali Alex mengklaimnya, Ara tidak pernah mengakui hubungan mereka tanpa paksaan dari Alex, tapi hari ini, Ara mengakuinya dengan sendiri.
Ara melepaskan pelukannya. "Kita mulai dari awal yah, tapi kamu jangan nyebelin..." Ucap Ara.
"Kamu nurut, aku baik. Kamu sayang, ya aku senang."
Ara langsung memasang wajah datar. "What the-- hehe, maaf."
Ara selalu saja lemah jika Alex sudah menatapnya dengan tajam. Ia sangat takut melihat itu.
"Kamu kenapa? Kok kayak lemes gitu?" Tanya Ara seraya mengusap helaian rambut halus Alex.
Alex menggelengkan kepalanya perlahan. "Gak pa-pa, kurang tidur aja."
Ara mengernyit heran. "Kok bisa? Ngapain aja semalam? Aku sampe gak nonton drakor gara-gara kamu nyuruh tidur, loh. Aku kira kamu juga tidur,"
"Main PS, sama si Reno nih pasti?" Tanya Ara.
"Enggak, Ra." Jawab Alex seraya terkekeh pelan. Ia tidak pernah tahu jika Ara akan semenggemaskan itu ketika kesal sekaligus khawatir.
Teeeet...
Waktu istirahat akan berakhir lima menit lagi.
"Eh? Kok udah mau masuk lagi sih." Kaget Ara yang baru saja tersadar bahwa dirinya belum memakan apapun sejak pagi.
Alex berdiri dari duduknya. "Kita ke kantin dulu, masih ada waktu." Ucapnya.
Ara menghela nafas berat. "Tapi catatan aku belum beres,"
Siswa dan siswi mulai masuk ke dalam kelas satu persatu.
"Hey!" Panggil Alex pada salah satu siswi yang baru saja masuk ke dalam kelas.
"I--iya kak, kenapa?" Tanya siswi tersebut dengan gugup. Alex terbilang disegani di sekolah, bukan hanya karena Ayahnya sebagai pemilik yayasan, tapi juga karena sikap yang tidak bisa kita tebak.
"Tolong lo salin catatan ini, okay? Nanti gue, gue anter pulang."
Siswi itu terlihat mengulum senyum malu. Sedangkan Ara hanya menatap Alex tak percaya. Ia pun langsung melarang teman sekelasnya itu untuk membantu catatannya.
"Gak usah. Makasih yah." Ara langsung berlalu meninggalkan kelas, kemudian di susul oleh Alex.
"Kak, ini jadi?"
"Enggak." Jawab Alex. "Ara! Tungguin dong, yaang..."
Sampai akhirnya Alex berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Ara.
"Masih mau nganterin temen sekelas aku pulang?" Tanya Ara dengan tiba-tiba, yang langsung membuat Alex mengangguk paham sekaligus senang.
"Itu, bohong kok. Cuma iming-iming doang, jangan cemberut gitu dong. Tapi, tapi aku suka deh liat kamu cemburu kayak gini."
Mendengar kalimat itu, Ara hanya memutar bola mata sebal. Namun beberapa detik kemudian langkahnya terhenti dengan tiba-tiba.
"Selamat siang, Bu." Sapa Alex pada guru yang berpapasan dengan mereka.
"Si--siang Bu," tambah Ara.
Guru tersebut memberikan sebuah sapu tangan dan batu berukuran kecil. Kemudian Ara menerimanya seraya terkekeh pelan.
Alex mengernyit heran.
"Lain kali jangan ngelempar sembarangan, untung gak kena saya." Ucap Guru tersebut seraya berlalu.
Ara langsung menarik Alex agar mempercepat langkahnya.
"Itu bekas apa?"
"Syuut... Tadi ada Kakak kelas yang bilang aku kecentilan, ya udah aku lempar pake batu yang digulung sapu tangan, biar benjolnya gak gede. Eh, batunya malah jatoh di depan Bu Sri." Jelas Ara yang benar-benar membuat Alex tak habis pikir.
"Jangan marah," tambah Ara.
"Siapa yang bilang kamu kecentilan?" Tanya Alex.
Ara langsung menggelengkan kepalanya. Akan berabe jika ia memberitahu Alex, bisa-bisa orang itu semakin membencinya. "Cepet Lex, keburu masuk..." Ucap Ara.