"Lu parah. Dokumen atau apa dikirimnya telat pas gue udah nyampe tuh ruangan direktur!"
Ia mengomel begitu masuk ke kantor Gian. Gian terbahak. "Ya sorry deh. Lo tahu lah bos gue kayak apa kejamnya. Bisa mendadak dikirim ke mana-mana gue hari itu. Untung aja cuma dikirim sampai Bogor."
Serena menghela nafas. Ia masih berkacak pinggang. Bajunya masih sama dengan yang ia kenakan di kampus tadi. Ia baru membeli motor sih. Jadi bisa tiba di sini dengan uang yang lumayan dihemat. Biasanya kan selalu naik ojek. Ya lumayan lah. Mending ia beli motor. Toh ibunya juga menyuruh dan tak masalah kalau urusan rumah nanti patungan dengan ibunya.
"Lagian gue ngira bakal lu tolak."
"Gak mungkin lah, Ser. Bunuh diri kali si Gian."
Begitu kata Ramzi. Serena terkekeh. Sementara Gian menatapnya.
"Kayaknya kita bakalan pindah kan ke sana bulan depan setelah urusan legal keluar dengan resmi dari mereka. Lo gimana? Denger-denger ada yang mau daftar PNS."
Serena terpingkal. "Cewek, Gi. Maunya orangtua pasti yang aman-aman begitu deh. Gak berani berjudi sama nasib. Lagi pula, gak begitu masalah juga. Kan gue ngajar juga gak full tiap jam setiap hari. Kerjaan di kantor lo juga gak mesti butuh gue setiap hari."
"Ya sih. Cuma gue pengen lo ada terus nih kalo kita hubungi. Gimana?"
"Ya doain aja pas gue gak sibuk rapat atau ngajar depan kelas. Paling slow responnya kan pas di situ."
Ramzi menjentikkan jari. "Ada satu pengumuman lagi nih, Ser, buat elo."
Ia menarik bangku. Baru juga mau duduk. Ia melihat di atas meja sudah dipenuhi makanan. Tumben banget. Ada syukuran? Hahaha.
"Apaan lagi nih?"
Gian terkekeh. Ramzi sudah memberikan kode. "Dari Depok ke kantor kan lumayan tuh, Ser. Kalo naik motor sebenarnya lebih cepet."
"Tapiii, masa manajer proyek naik motor sih?"
Ramzi yang menyambung. Mereka tertawa bersama.
"Gue hitung-hitung dari list pembiayaan mereka kan emang ada jatah buat para atasan. Terlebih kita adalah startup yang mereka pinta untuk bergabung. Jadi ada sedikit privilege dibandingkan yang lain atau kalau kita menang karena kontes sih."
Serena langsung paham arahnya ke mana. Hahaha. "Seriusan nih?"
Kedua lelaki itu terkekeh. "Makanya itu, kira-kira lo bisa gak belajar nyetir mobil gitu, Ser. Entar kalo udah keluarin SIM, gue beliin mobil nih."
"Aseeeek! Kak Ramzi dapat juga gak?"
"Udah belii dong barusaaan!"
Ia tertawa. Tentu saja ini kabar bagus. Tak sia-sia ia datang malam-malam begini. Ia kira ada kabar urgent apa sampai-sampai Gian memintanya untuk segera datang. Eeh ternyata.
"Biar hemat, entar kalo gak gue ya si Gian yang ngajarin elo sabtu-minggu gimana?"
Serena mengacungkan jempolnya. Tentu saja ia tak keberatan. Ia sudah sangat lama mengenal kedua orang ini. Sudah seperti saudara laki-laki. Maka diskusi selanjutnya adalah tentang mobil. Serena tidak meminta yang mewah. Karena menurutnya, lebih baik uangnya untuk yang lain. Tapi Gian tidak bisa menerima itu. Karena memang sudah dipatok sekian untuk membeli hal-hal yang dapat membantu pekerjaan mereka untuk dinas sehari-hari. Akhirnya ya Serena terima. Meski uangnya juga belum cair sih. Masih menunggu legal dan lain-lainnya dari Won Shik Group. Namun mereka bersiap-siap. Akhirnya yaa karena Serena ingin punya rumah sendiri, ia akan membeli mobil yang harganya biasa-biasa saja dan sisanya akan digunakan untuk membeli rumah di sekitar Jakarta Selatan. Jadi biar tak terlalu jauh ke kampus. Ia juga tak terlalu jauh kalau harus ke kantor. Dengan begini akan lebih efisien. Meski rumahnya mungkin tak besar. Ya tahu lah harga rumah di perkotaan itu mahalnya kayak apa. Apalagi ini Jakarta loh. Pusat bisnisnya Indonesia.
Selesai makan, mengobrol soal mobil, dan rencana selanjutnya, Serena berpamitan. Ia tentu saja diolok-olok soal motor baru yang ia beli. Ia memakai helm lalu tak lama sudah mengendarai motornya menuju kos-kosan. Sejujurnya, ia juga pindah kos-kosan agar bisa menyimpan motor dan ada penjaganya. Harganya tentu saja lebih mahal. Itu artinya harus ada yang ia irit. Tapi dari segi ongkos sudah jauh lebih membantu kok. Ia yang biasanya selalu berdesak-desakan dengan mahasiswa untuk ke kampus, kini cukup dengan mengendarai motor lima menit ke kampus. Walau yaa tahu kan jalanan menuju kampus itu pasti macet. Terutama di dekat lingkar UI. Makanya ia berencana mencari rumah di sekitar Jakarta Selatan itu, niatnya memang untuk melawan arah. Jadi ia dapat menghindari macet luar biasa di pagi hari di sekitar jalanan itu.
Ia tiba di kosan. Terharu sih dengan banyaknya rezeki yang Allah berikan untuknya. Dengan perlahan, hidupnya kembali menanjak. Ya setelah penderitaan yang cukup panjang. Ia ingat bagaimana ia dan ibunya harus selalu mengirit demi menabung untuk pendidikannya. Tekadnya untuk bisa menjadi dosen pun sangat luar biasa.
Dari sejak lulus sarjana, tak terhitung lagi berapa kali kegagalan yang ia capai. Dari berkali-kali gagal CPNS di kementerian, gagal juga di BUMN, dan nasib malah membawanya bekerja di kantor kecil. Lalu mengejar beasiswa S2 di kampus UI. Ya walau setengahnya ia bayar sendiri dari tabungan dan dibantu sedikit oleh ibunya. Begitu lulus, malah ditawarkan menjadi dosen, kini mau mencoba CPNS lagi tapi khusus dosen. Ditambah ya ada beberapa pekerjaan freelance lain dan juga dari Gian. Pemasukannya memang sudah sangat lumayan. Meski rasnaya ia merangkak ke posisi ini sungguh lama sekali. Ingatan betapa susahnya ia saat kuliah sarjana dulu amsih juga terkenang. Saat ia harus mengirit beras dan lauk-pauk. Ia betul-betul kurus. Bahkan hingga sekarang sih. Berat badannya tak lagi ideal. Tapi setidaknya beberapa bulan terakhir, ia bertekad untuk menaikan berat badan dan mulai ada hasilnya.
Yeah, ia baru saja beryeye ria mendapati berat badannya naik 2 kilogram. Dari 44 kilogram menjadi 46 kilogram dengan tinggi badan 160 sentimeter. Ya masih kurus sih. Setidaknya ia butuh 49 atau 50 kg kan? Ia juga sedang mengejar ke arah sana kok. Hanya saja, semuanya tentu butuh proses. Ia harus menaikan berat badan dengan cara yang sehat. Jadi ia juga memperhatikan asupan makanannya.
@@@
Ia sebetulnya sudah nervous sejak awal. Dan ini tentu saja bukan Rangga. Selama ini kan, jalan Rangga memang tampak mudah. Ia bisa membangun startup sendiri dengan berbekal yah banyak hal termasuk privilege. Selain memang ia sudah cerdas, ia bisa dibilang mapan juga sehingga tak kesulitan mendapatkan modal. Karena sejujurnya meski ia bukan artis, ayah dan ibunya kan artis. Ia sudah punya nama dan memang cukup banyak dikenal oleh masyarakat luas. Apalagi ketika ia masih sekolah atau kuliah, ia selalu menjadi bahan pembicaraan. Di sini?
Tidak ada yang mengenal hal itu. Terlebih di hadapan direktur marketing yang satu ini. Ia sangat jeli dalam melihat sesuatu. Termasuk potensi yang menurutnya masih kurang dimunculkan.
"Seperti yang kita tahu bahwa, sudah banyak pesaing yang sejenis dengan apa yang anda dan tim kembangkan. Mungkin memang memiliki perbedaan dari segi pengajar. Tapi saya tidak menemukan itu berbeda dibandingkan dengan yang lain. Metode pembelajaran mungkin tampak menarik tapi dari semua evaluasi, banyak materi yang belum memiliki satu pun penonton. Terkait harga ya mungkin bisa dibilang sedikit bersaing dengan yang lain dan itu wajar. Namun harga itu belum menunjukkan kualitas di mana seseorang harus menjadi klien kalian. Harusnya ada alasan untuk itu. Harus ada alasan tertentu kenapa klien memilih kalian dibandingkan dengan yang lain."
Baru hari kedua dan sudah dikritik sedemikian tajam. Ya ini sebenarnya yang sempat Rangga khawatirkan sejak awal ia mengikuti konter di kementerian itu. Tahu kenapa? Karena privilege yang ia punya. Kedua orangtuanya artis dan keluarga lainnya memiliki relasi yang banyak di pemerintahan. Ya oke, ia hanya ingin menunjukkan kebagusan dari startup-nya bahwa mereka bisa bersaing dan dapat menjadi yang terbaik dalam kontes itu. Ya mungkin dengan kemenangan hingga membawanya ke sini memang berhasil membuktikan hal itu. Namun mata lelaki ini begitu tajam. Tak bisa menerima begitu saja pendapat orang lain. Ia punya pikirannya sendiri termasuk memberikan banyak kritikan yang secara tidak langsung memang membuat mental siapapun pasti akan down karena ucapan-ucapannya.
"Saya akan berikan waktu untuk kalian mengembangkan dan mengemas produk kalian dengan lebih unik. Mungkin dua tahun rasanya tidak terlalu sesuai dengan kontrak. Tapi grup perusahaan ini akan merugi kalau mempertahankan sesuatu yang tidak menghasilkan keuntungan. Yang perlu saya garis bawahi adalah tujuan kalian berada di sini memang untuk menjadi sumber penghasilan perusahaan. Kalau kalian ingin menjadi wadah untuk amal, bukan di sini tempatnya."
Ia menutup dengan kata-kata yang lebih menusuk ke hati. Lalu lelaki itu beranhak dari bangkunya. Ia seperti baru saja membunuh Rangga dan timnya habis-habisan. Benar-benar tanpa ampun.
"Setan emang tuh orang!"
Ya mereka marah lah. Tapi baru berani mengomel begitu masuk ke dalam kantor mereka. Satu orang menendang kaki meja saking kesalnya. Ada yang menggebrak. Ada juga yang hanya bisa berekspresi. Sementara Rangga sibuk berpikir. Ya, ia ke sini untuk membuktikan kalau startup-nya bukan lah hasil privilege melainkan kerja keras. Namun kata-kata tadi justru menggoyahkannya.
"Gimana coba dia bisa ngomong begitu sementara kita menang telak waktu kontes kemarin?"
Putri masih tak terima. Rangga hanya diam. Ya kalau ingat kontes kemarin, ia jadi ingin memastikan sesuatu. Ia tahu kalau kedua orangtuanya sangat memanjakannya dan selalu mengabulkan apapun yang ia inginkan. Semoga kali ini tak ada peran dari mereka. Ya semoga. Walau harapan itu tampaknya semu.
Ketika ia pulang ke rumah dan bertemu papanya yang baru saja pulang dari kantor manajemen.....
"Papa gak ada urusan sama itu. Tapi kan teman-teman papa memang banyak di kementerian itu. Apalagi rata-rata adalah bawahan kakekmu dulu, Rangga."
Ya itu pun baginya sudah cukup menjadi jawaban kok kenapa ia bisa menang dengan begitu mudah. Ia menghela nafas panjang. Merasa kecewa sendiri tapi tak bisa marah.
"Rangga, tante Erlita sama Shina mau ketemu sama kamu besok. Katanya, mereka mau ke kantor kamu kalau diperbolehkan."
Ibunya muncul dari tangga. Yeah dengan baju tidur dan juga masker wajah. Kecantikan adalah segalanya. Lalu akhir-akhir ini sedang berupaya mendekatkannya dengan gadis bernama Shina yang katanya artis pendatang baru. Ia bisa menebak kalau ini tak akan jauh berbeda dari sebelumnya. Hanya gimmick. Ya kan?
"Besok Rangga sibuk."
Papanya yang baru mulai makan terkekeh mendengar jawabannya itu. Ia sudah menduga kalau Rangga akan menolak. Tapi jangan harap kalau istrinya akan menyerah.
"Hanya sebentar, Ga. Mereka tak akan menghabiskan waktumu. Lagi pula kan, di kantor biasanya ada jam istirahat. Ditambah lagi, kamu kan bosnya. Masa gak bisa meladeni tamu sebentar sih?"
Tentu saja mamanya akan mengotot. Ia hanya menghela nafas sambil berjalan menuju kamar. Percuma berdebat. Kata-ata keberatannya tak akan pernah didengar. Makanya ia lebih suka dengan caranya. Ia sebetulnya sedang pusing kepala karena memikirkan kejadian tadi. Sungguh tak mudah menjalani hidup seperti ini. Herannya, banyak orang di luar sana yang justru ingin hidup sepertinya loh. Kalau sudah melihat dari dekat, ia tak yakin mereka masih mau sepertinya. Lihat saja keadaannya. Ia bahkan tak tahu apakah ia memang benar seperti yang orang-orang nilai dari luar. Atau kah kehebatan itu hanya buatan kedua orangtuanya?
@@@
"Kak Riniiii!"
Orang-orang di kantor begitu heboh saat melihat kemunculannya. Ia tak terlihat di kantor selama tiga bulan belakangan marena ikut summer school di Belanda. Ya berhubung mendapatkan beasiswa, kenapa ia tidak memanfaatkan?
Bianca melengos ketika tak sengaja bersitatap dengannya. Ia sungguh membenci perempuan itu. Sungguh benci. Walau yang dibenci justru tak tahu. Ya kalau soal ketidakakurannya dengan Bianca sih, semua orang di kantor juga sudah hapal. Tapi hingga sekarang, ia tak benar-benar tahu bagaimana masalah yang sebenarnya terjadi. Mungkin tampak sepele bagi Rini tapi tidak bagi Bianca. Gadis itu benar-benar menaruh dendam. Suatu saat pasti akan ia balas. Meski ia tak tahu bagaimana membalasnya.
Rini tak langsung ke ruangannya. Ia menyerahkan beberapa barang bawaannya pada rekan-rekan satu timnya. Sementara ia bergegas menuju lantai lain. Yang tentu saja langsung diolok-olok. Satu kantor juga tahu ia naksir siapa sejak dulu. Sejak bermukin di Singapura. Tapi cowok itu tak pernah meresponnya. Ia tak pernah menyerah. Itu justru semakin membuatnya bersemangat untuk mengejar cinta lelaki itu. Persetan dengan harga diri. Toh ini adalah sesuatu yang sangat wajar dan menurutnya memang pantas untuk diperjuangkan.
"Oppa Han ada, Sis?"
Ia bertanya dengan sangat ramah. Tapi tentu saja perempuan ini tak menyukainya. Semua orang iri loh karena ia berada di posisi ini. Bahkan Rini pun sebenarnya tak suka. Tapi di dunia ini menurutnya, yang bisa menolongnya hanya lah Siska jika menyangkut oppa-oppa Korea yang satu itu.
"Mister Han sedang ada tamu," bohongnya.
"Oh ya?"
Ia berdeham lalu sengaja pura-pura sibuk. Tapi Rini? Ia tentu saja tak percaya negitu saja. Maka tak heran kalau detik berikutnya, ia berlari menuju ruangan Han Young Jae. Hal yang membuat Siska gelabakan. Padahal kejadian ini selalu berulang. Tapi ia selalu lupa kalau yang namanya Rini tak perduli dengan aturan batas-batas tertentu.
"Heiiish!"
Jelas saja ia dongkol. Nanti ia yang malah dimarahi mister Han Young Jae. Mana Rini sudah terlanjur masuk. Lalu apa hasilnya.
"Oppa!"
Han tampak menoleh. Lelaki itu sedang menelepon. Kaget juga karena tiba-tiba ada yang masuk. Dan Rini mengatupkan mulutnya. Oke, perkiraannya memang benar kalau Young Jae tidak sedang bertemu siapapun. Tapi ia juga punya urusan dengan seseorang dibalik telepon. Entah siapa, yang jelas Han Young Jae merasa terganggu begitu mematikan teleponnya. Ia kan sedang menerima telepon yang sangat penting.
"SISKA!"
Siska langsung meringis mendengar namanya diteriakan. Ia sudah menduganya. Senentara Rini langsung beraksi. Ia tentu saja meminta maaf karena telah menyelonong masum. Lalu ya buru-buru memberikan hadiah atau ya oleh-oleh yang sengaja ia belu jauh-jauh ketika tiba di Belanda. Ia berharap kalau Han Young Jae bisa luluh dengan apa yang ia bawa ini. Meski tak yakin pula. Apalagi melihat wajah marahnya kali ini.
Rini membungkuk sebagai permintaan maaf kemudian berpamitan. Ia tak bisa menduga kepribadian Han Young Jae. Lelaki itu benar-benar dingin dan tampaknya tak menyukainya eeh perempuan pada umumnya. Entah apa yang salah, ia juga tak paham.
@@@
Serena baru saja pulang usai melihat beberapa rumah bekas. Ya harganya sangat tidak terjangkau. Kalau hanya ratusan juta, ia masih bisa. Kan sesuai dengan sisa uang membeli mobil. Sayangnya, sisa uang itu tak bisa disimpan. Karena Gian perlu rincian dan bukti pembelian untuk diserahkan pada perusahaan. Kalau ada penyelewengan kan berbahaya.
Ini sudah satu minggu setelah terakhir kali ia datang ke sana. Surat-surat sudah ada di tangan Gian. Bahkan dana mereka sudah mulai turun. Gian juga berencana memindahkan barang-barang secara bertahan. Meski mereka tetap baru memulai bulan depan.
Serena mampir ke salah satu toko resmi sebuah merk mahal dari ponsel, laptop, dan lain-lain. Ia mendatangi sebuah mall dan sengaja membeli beberapa barang baru untuk diri sendiri seperti laptop, ponsel, dan yah sejenis tablet yang bernama ipad. Jangan lupa menyimpan nota dan segera beranjak pulang karena sudah mendekati waktu magrib. Ia menyimpan barang-barang itu dengan baik ke dalam tasnya. Lalu kembali mengendarai motor menuju Depok.
Ia masih belum menentukan rumahnya karena harga-harga tadi memang cukup mahal untuk kantongnya yang tak seberapa. Ia sebenarnya tak butuh rumah yang besar. Hanya yang sederhana dan bisa memarkir satu mobil. Tapi tadi pun ya yang seperti itu namun harganya bisa sampai miliaran. Itu terlalu tinggi. Ya ia maklum sih kalau agak mahal, namanya juga Jakarta. Lalu di mana ia harus mencari?
"Apa di Depok aja ya?"
Ia sebenarnya agak berat. Ia cukup memperhitungkan jalan pergi dan pulang yang menurutnya akan lebih strategis kalau tinggal di Jakarta Selatan dibandingkan di Depok.
Ia mencoba bertanya pada beberapa teman yang tinggal di sekitaran Jakarta Selatan. Barangkali ada yang bisa membantu?
Ia baru mendapatkan jawaban dari salah satu di antara mereka ya saat selesai mandi dan hendak tidur. Satu pesan masuk dan mengatakan.....
Ada nih perumahan gitu, Ser. Punya bos sih tapi gue marketing di situ. Kalo lo mau, bisa beli tunai kok. Kalo mau beli nyicil juga bia, kan syariah yang bener-bener syariah. Jadi aman dari riba. Yang punya itu loh, Ser. Lu pasti tahu deh Juna yang orang Aceh itu.
Aaah. Ia mengangguk-angguk. Kemudian segera membalas pesannya.
Lama gak ketemu malah pindah dari bank ke marketing lo yak? Alamatnya di mana, Tom? Besok bisa gak ketemu? Gue mau lihat rumahnya.
Teman lelakinya itu mengirim pesan emotiko tawa. Ya memang sudah lama tak bersuah. Kalau soal pekerjaan, ia sih mau bekerja apa saja. Hanya saja karena bekerja di bank itu riba, ia memilih keluar demi anak dan istrinya. Masa memberi nafkah dari itu? Ia sangat hati-hati sekarang. Namanya juga orang dalam berproses untuk memperbaiki diri. Ya kan?
Gue kirim besok lokasinya ke elo. Bisa aja lu, yang udab jadi dosen sih enak. Besok mau datang jam berapa?
Ya obrolan mereka sederhana. Setidaknya Serena jadi tahu kabar teman lamanya. Mereka memang benar-benar sudah lama tak bertemu. Setelah itu, ia jatuh tertidur. Lelah sekali. Pekerjaannya begitu banyak loh. Ini belum ditambah nanti dengan pekerjaan sebagai orang kantoran. Ya mumpung bisa punya banyak pekerjaan sekaligus.
Esok paginya, ia buru-buru ke kampus. Hanya setengah hari di sana lalu buru-buru kabur. Alasannya? Ya ada banyak alasan sih. Yang penting kan sisa pekerjaan ia kerjakan. Tidak ditinggalkan begitu saja. Ia buru-buru ke tempat Tomi karena sudah tak sabar ingin melihat rumah baru. Tiba di sana, ia celingak-celinguk. Ya bingung lah karena tampak sepi. Baru juga hendak mengidim pesan, seseorang menggeplak helmnya. Begitu menoleh....si Tomi terkikik.
"Ah elo gak pernah berubah!"
Tomi tertawa. Ya ia juga bisa melihat Serena masih sama.
"Gue kira lo balik ke Malaysia. Eeh masih nyantol di sini. Gosip lo jadi dosen baru-baru ini tersebar. Hebaat temen gue."
Ia hanya terkekeh. Ia melepas helmnya lalu keduanya berjalan masuk ke dalam rumah yang dimaksud. Rumah yang sudah hampir jadi. Ya tinggal bagian dalam saja.
"Sesuai permintaan elo nih. Gak terlalu besar dan ada garasi mobil."
Ya memang. Jadi begitu melihat dari depan, ya rumah berpagar dengan satu garasi mobil. Lalu ada taman kecil di sebelah kanannya. Dekat taman, ada pintu masuk rumah. Ada ruang tamu yang yah hanya sekitar 12 meter persegi luasnya. Kemudian berjalan masuk ada ruang keluarga yang bergabung dengan dapur dan juga ruang makan. Bagian ini memang sangat luas. Mungkin hampir 4 kali lipat dari ruang tamu. Di samping televisi itu ada pintu kamar pertama. Lalu berjalan lurus dari pintu kamar itu, ada pintu kamar kedua. Dari dapur, ada halaman belakang yang memang tak seberapa luas. Tapi setidaknya ada ruangan hijau. Di sebelah kiri taman, ada tempat untuk jemuran. Ya lumayan luas. Ia mengangguk-angguk.
"Ini juga bisa lo bikin 2 tingkat nanti, Ser. Untuk ukuran 700 juta di tengah-tengah kota kayak gini udah yang paling murah."
Memang ia tahu kalau memcari rumah ditengah kota tak akan mudah. Apalagi kalau yabg dicari adalah yang harganya sangat ekonomis. Kalau 700 ratus juta rupiah ya masih masuk budget-nya.
"Kalau yang lain, tampolannya begini juga?"
"Lo mau lihat?"
Ia mengangguk. Tomi mengajaknya pergi dari sana. Mereka pindah lagi ke lokasi lain. Ya kalau dari segi jarak ke kampus atau kantor, sedikit lebih jauh. Tapi begitu melihat penampilan rumah dua tingkat itu membuatnya langsung jatuh hati.
"Ini harganya sama sih, Ser. Cuma memang lebih kecil aja ruang keluarganya."
@@@