bc

R2

book_age18+
416
FOLLOW
4.6K
READ
arrogant
dominant
badboy
goodgirl
badgirl
drama
tragedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

"Kenapa, sih, nama lo Ribut?"

"Karena gue selalu membawa masalah. Simbol a*b, derita, kesialan, pemicu perseteruan, dan berbagai simpul luka lainnya."

Ini terlalu rumit untuk dijabarkan.

Terlalu berkelit untuk diucapkan dengan sepatah kata.

Terlalu sukar untuk dimengerti dengan nalar.

Terlalu banyak terlalu yang mubazir.

Ini semua tentang kesedihan, kekecewaan, ketidak tahuan untuk terus menjalani hidup atau menyerah di awal.

Ini adalah kisah dari anak-anak manusia yang tengah berebut kebahagiaan, mengejarnya penuh asa.

chap-preview
Free preview
•Awalnya Begini•
Di antara mimpi, harapan, dan kenyataan. Untuk kamu yang percaya akan mimpi bisa menjadi nyata, yang percaya akan adanya perwujudan dari keajaiban, dan yang percaya akan campur tangan Tuhan. •••••••••• "Bu, tapi Rahma masih pengin lanjut sekolah lagi." "Lanjut sekolah apa maksud kamu Rahma?!" seolah perkataannya itu sebuah tindak kriminal. "Ibu tidak mengizinkan." Semua orang berhak mendapatkan pendidikan, 'kan? Namun, mengapa untuk Rahma itu perkecualian? "Rahma janji akan cari beasiswa, cari kerja paruh waktu juga," Rahma mengikuti derap langkah sang ibu, seseorang yang telah melahirkannya ke dunia ini. Bagaimana keras ibunya menolak, tidak mengizinkannya untuk kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ia yakin bisa meluluhkan hati beliau sebentar lagi. Dirinya hanya perlu terus memohon. "Rahma janji nggak akan nyusahin Ibu sama Bapak lagi." Seorang wanita paruh baya yang bernama lengkap Marni Areta itu menghela napas kasar sembari mematikan kompor. Makanan yang ia masak sudah matang semua, tinggal menyajikannya dengan rapi di piring lalu menghidangkannya. Beliau berbalik lalu menatap tajam kedua bola mata putrinya. "Wajib belajar yang dianjurkan pemerintah itu cuma 9 tahun, Rahma. Dan Ibu sudah menyekolahkan kamu sampai sini. Sudah, cukup." "Tapi, Bu... Rahma juga pengin sekolah SMA kayak temen-temen yang lain." Cicit Rahma dengan tangan yang menarik-narik ujung kausnya sendiri. "Kamu jangan selalu melihat ke atas, Rahma. Kamu harus sadar, kamu ini anak siapa? Kamu lahir dari keluarga kurang mampu. Mimpimu terlalu tinggi untuk jadi Dokter!" Sekali lagi, ibunya mematahkan mimpinya. Sudah berapa kali Rahma bilang, ia ingin menggapai impiannya. Mewujudkan mimpi-mimpi yang ada di kepalanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa harapan, impian, mimpi-mimpi nan semu yang terangkai selama ini akan disusun secara nyata. Rahma akan melakukan apa pun untuk hal itu. Untuk meraih cita-citanya. "Kamu ini mbok, ya, mikir. Udah besar. Udah baligh," Marni berkata sambil menata hidangan makan malam. Beliau sesekali melirik pada jam dinding yang menempel pada dinding dapur. Takut-takut terlalu lama menyiapkan makan malam itu. "Sudah cukup Bapak sama Ibu biayain kamu dari kecil. Ganti kamu yang kerja buat keluarga." Kerja apa? Coba sebutkan pekerjaan yang bisa Rahma lamar hanya dengan mengandalkan ijazah SMP? Yang lulusan S1 saja sekarang masih banyak yang terlantar, apalagi dirinya yang hanya pendidikan rendahan. "Bapakmu koma di rumah sakit, Adikmu juga masih sekolah, Ibumu cuma babu di rumah yang kayak istana ini. Udahlah, Rahma. Mbok, ya, kamu bangun. Mimpimu terlalu tinggi." Kata demi kata dari Marni sungguh mengiris hati Rahma. Perih sekali. Kata-kata itu seperti pisau yang dihujamkan pada jantungnya, juga seperti gaya gravitasi bumi yang selalu membawanya jatuh ke bawah. "Mending kamu cari pekerjaan. Lumayan uangnya buat bantu Ibu bayar hutang. Kamu nggak lupa 'kan kalau keluarga kita terlilit banyak hutang di bank?" Marni mengingatkan lagi betapa penderitaan keluarganya yang tidak pernah berakhir. Sulit untuk mengakhirinya. "Rahma bisa sekolah sambil kerja, Bu." Sepertinya, Rahma masih gigih terhadap mimpinya. "Kerja paruh waktu?" tanya ibunya yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh Rahma. "Kalau kamu kerja paruh waktu sambil sekolah, uangnya cuma bisa buat bayar SPP sekolah kamu. Lagian itu, sekolah yang kamu daftari, apa itu tadi namanya... SMA Cendekia Bangsa, kamu pikir Ibu nggak tahu itu sekolah apa? Itu sekolah terfavorit di kota kita ini, 'kan?" Marni memamg benar. Rahma mengusap kelopak matanya yang akan mengeluarkan tangis. "Kita bisa makan hari ini saja, udah syukur, Rahma. Lah, kok, mau gaya-gaya sekolah di sana. Kamu harus lihat orang-orang yang ada di bawah kita, yang tinggal di kolong jembatan. Masih untung kita masih punya tempat tinggal..." Rahma berbalik sembari menutup kedua telinganya dengan tangan lalu berlari cepat keluar dari dapur rumah bak istana itu. Ia menangis tersedu. Hatinya serasa dihancurkan dengan palu, remuk redam. Rumah bak istana itu memiliki halaman yang sangat luas, di dalamnya ada paviliun yang menghubungkan rumah utama dengan rumah sopir dan pembantu. Rahma mengunci diri dalam kamar. Menangisi kehidupannya, mengapa seperti ini? Kata-kata ibunya tadi terus terngiang di telinga Rahma. Semua benar. Jika dipikir-pikir lagi, Rahma memang anak yang tidak tahu diuntung. Selalu merasa kurang bersyukur. Namun, mempunyai mimpi setinggi langit apa salah? Ada pepatah mengatakan, gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang. Kata bijak dari presiden pertama RI. Rasa-rasanya sulit sekali, bahkan hanya sebatas mimpi saja sudah banyak halangannya. Rahma menatap foto keluarganya, di sana ada Bapak, Ibu, dirinya, dan adik laki-lakinya. Lama sekali Rahma menatap foto itu dalam hatinya ia juga memikirkan tentang apa yang tadi ibunya katakan. Tentang hutang keluarganya, tentang biaya pendidikan adiknya, juga tentang biaya rumah sakit sang bapak. Lalu Rahma malah menambah beban dengan menjabarkan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan. Sungguh, Rahma anak yang tidak tahu diri. Ia merutuki dirinya dengan penuh sesal. Sebagai anak pertama, seharusnya Rahma membantu meringankan beban keluarga dengan ikut banting tulang. Iya, seharusnya begitu. Tok... tok... tok... "Rahma, maafin Ibu..." suara Marni dari luar kamarnya, tepat di depan pintu kamar sempit itu. "Ibu nggak bermaksud bikin kamu sakit hati. Ibu cuma pengin kamu... ngerti gimana keadaan keluarga kita." Iya, Bu. Iya, Rahma mengerti. Sangat mengerti. Rahma perlahan menyeka air mata yang sempat dengan deras menghujani wajahnya. Ia lalu bangkit berdiri dan membukakan pintu lantas langsung memeluk wanita paruh baya itu sambil terus menggumamkan kata maaf. Marni sempat kelimpungan dengan pelukan Rahma yang tiba-tiba, tapi beliau bisa mengendalikan diri. Tangannya mengusap-usap rambut panjang putrinya penuh sayang. Seandainya Rahma terlahir di keluarga yang serba ada, pasti Marni tidak akan melarang anaknya bersekolah. Akan mengizinkannya menuntut ilmu setinggi yang ia mau. Namun, keadaan memaksa dirinya untuk mematahkan mimpi sang anak. "Maafin, Ibu, ya. Maaf, Ibu..." "Enggak, Bu. Rahma yang minta maaf," ucap Rahma dengan senyum sendunya. "Rahma sayang Ibu, sayang Bapak, sayang Reno juga." Mereka berdua saling berpelukan untuk melapangkan hati masing-masing. Hidup ini harus dimaknai sedemikian rupa. Tidak melulu tentang mengejar, kita harus tahu di tempat mana waktunya untuk berhenti mengejar. Bukan karena kelelahan, tapi karena memang sudah bukan jalannya. Pak Darno, sopir keluarga itu memanggil Marni dan anaknya. Memberitahukan pada mereka berdua bahwa jam makan malam sudah tiba. Marni dibantu dengan Rahma bergegas menghidangkan masakan yang ada di dapur ke ruang makan, meletakkannya di meja makan bundar yang besar. Rahma berpikir, orang kaya itu aneh, murka, terlalu serakah, boros juga. Lihat saja, di meja makan ada banyak makanan yang jika disuruh untuk dimakan oleh orang sekampung pun tidak akan habis. Marni menyuruh Rahma menunggu sampai majikannya selesai makan malam. Biasanya Marni yang akan melakukan pekerjaan itu. Karena malan ini Marni belum menyelesaikan menyetrika baju, jadilah Rahma yang menggantikannya. Sedikit banyak Rahma memang membantu pekerjaan sang ibu. "Kenapa, Tuan? Sayurnya terlalu asin, ya?" tanya Rahma kala tuan rumahnya itu tidak terlihat menikmati santap malamnya. "Rahma..." bukannya menjawab pertanyan Rahma, dirinya malah memanggil nama perempuan itu dengan nada yang berbeda dari biasanya. "Iya, Tuan. Kenapa?" "Kenapa kamu menangis?" "Hah?" Rahma membelalakkan matanya. Pasalnya, majikannya itu bertanya tanpa sedang menatapnya. Dari tadi mereka tidak saling bertatap muka, tapi dari mana dirinya tahu bahwa Rahma baru saja menangis? "Mata sembap, hidung merah, suara sengau..." laki-laki itu kembali bersuara, masih dengan tidak menatap Rahma. "Ehm, Tu-Tuan..." Rahma gugup harus menjawab apa. Masak, iya, dirinya harus menjawab jujur. Sedangkan, jawaban jujurnya itu nanti malah terdengar seperti curahan hatinya. Suara denting sendok dan garpu yang diletakkan dengan kasar begitu terdengar nyaring di telinga. Laki-laki itu sudah selesai menikmati makan malamnya. "Kamu ingin sekolah?" tanyanya dengan menoleh pada Rahma. Baru lah saat ini mereka berdua saling berpandangan satu sama lain. "E-enggak, Tuan. Saya ba-baru lulus SMP," dengan penuh kegugupan luar biasa Rahma menjawab. Majikannya ini mempunyai tatapan mata yang tajam, setajam elang. Suaranya begitu mengintimidasi. Di rumah bak istana itu, ada tiga majikan yang Rahma dan keluarganya hormati. Salah satunya, ya, seorang laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. Laki-laki yang merupakan anak pertama dari majikannya yang berarti juga majikannya juga. "Kamu ingin sekolah?" pertanyaan yang sama dilontarkan lagi pada Rahma. Dan jawaban Rahma pun berbeda. "Iya, Tuan." Laki-laki itu bangkit berdiri, mengancingkan kancing jasnya yang tadi sempat ia buka kala duduk. "Temui saya di gudang anggur nanti malam." "Hah?!" Dan Rahma tidak pernah menyangka hari itu tiba. Ia menyetujui sebuah perjanjian yang menguntungkan baginya, tapi juga merugikan dirinya. Dari yang awalnya memanggil dengan sebutan "Tuan" berubah menjadi "Mas". Dari yang awalnya tidak kenal dekat, dipaksa mendekat. Inilah awalnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Perfect You (Indonesia)

read
290.1K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.2K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.4K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

The Prince Meet The Princess

read
182.0K
bc

Marriage Agreement

read
590.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook