PART. 12 RESTU BUNDA

1151 Words
Maghrib hampir tiba, akad nikah akan dilangsungkan di musholla rumah sakit. Arya sudah meminta ijin pada pihak rumah sakit. Pak Ridwan Lazuardi, adik ayahnya yang sangat dekat dengannya, dan ia percaya akan mendukungnya, sudah datang bersama ketua RT dan ketua RW di kampung tempat Aisah tinggal, dan juga seorang petugas KUA, agar mudah nantinya bagi mereka untuk mengurus surat nikah secepatnya, semua itu atas usulan Pak Ridwan, saat Arya bertukar pikiran dengan beliau. Ridwan Lazuardi, sebenarnya Pak Ridwan tidak pernah mendukung kakaknya, Malik Lazuardi yang menikah lagi dengan Radea. Ridwan tidak menyukai sikap Radea, yang selalu terlihat sangat mengagungkan harta. Ridwan tahu betul dari mana harta Malik berasal, yaitu dari ayah Adwina. Tapi ketidak sukaan Ridwan pada Radea, tidak membuat Ridwan membenci Arya, ia menyayangi Arya, lebih lagi setelah 10 tahun lalu ia kehilangan istri dan kedua anaknya dalam sebuah kecelakaan. Ridwanlah yang memperkenalkan Arya pada Adwina dan Adrian, bagaimanapun ada darah yang sama mengalir di dalam tubuh Arya dan Adrian, darah Lazuardi. Ridwan ingin kedua keponakannya itu bisa saling mengasihi layaknya saudara, meski berasal dari ibu yang berbeda. "Arya!" Pak Ridwan yang menginap di kamar yang sama dengan Arya baru ke luar dari kamar mandi. "Ya Paman" "Apa kamu sudah mengabari Bunda Adwina dan Abangmu Adrian?" "Belum Paman" "Mintalah restu pada mereka Arya, Adwina juga ibumu, dan Adrian adalah Abangmu. Restu dan doa mereka penting bagimu" ucap Pak Ridwan, ditepuknya bahu Arya. "Baiklah Paman" "Paman akan ke Rumah sakit bersama Pak RT, Pak RW, dan Pak Kudri dari KUA, kamu bisa menyusul nanti bersama keluarga Aisah." "Baik, Paman" "Paman pergi dulu, Assalamuallaikum" "Walaikum salam" Pak Ridwan ke luar dari kamar mereka, menuju kamar yang disewa Arya untuk Pak Rt, Pak Rw, dan salah satu petugas KUA, yang juga masih ada hubungan keluarga dengan Pak Ipin. Arya mengambil ponselnya, dicarinya kontak Bu Adwina. "Assalamuallaikum, Bunda" sapanya. "Walaikum salam, Arya. Apa kabarmu, Nak?" Tanya Bu Adwina dengan suara lembut bermuatan kasih sayang. Mata Arya berkaca-kaca, bahkan ibu kandungnya sendiri tidak pernah bersuara selembut itu padanya. "Alhamdulillah, aku baik Bunda. Bagaimana kabar Bunda, Bang Adrian, dan kakak ipar, juga calon keponakanku, Bunda?" Arya balas bertanya. "Alhamdulillah, kami semua baik" "Syukurlah, aku menelpon karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan pada Bunda?" "Hal apa?" "Aku akan segera menikah, Bunda" "Dengan Devira?" "Tidak, bukan" "Bukan?" "Aku menikah dengan wanita pilihanku sendiri" "Ayah Bundamu tahu?" "Tidak, aku tidak memberitahu mereka, hanya Paman Ridwan, dan keluarga calon istriku yang tahu" "Siapa calon istrimu, Arya?" "Aisah, putri dari Pak Ipin dan Acil Siah yang pernah bekerja di rumah Bang Adrian saat tinggal di sini. Aku mohon Bunda bersedia menberikan doa dan restu pada pernikahan kami malam ini" "Malam ini, kenapa mendadak sekali?" "Acil Siah, ibu Aisah sedang dalam perawatan di rumah sakit, kami akan menikah setelah sholat Isya di musholla rumah sakit, Bunda. Aku mohon Bunda bersedia memberikan doa restu pada kami" mohon Arya. Terdengar Bu Adwina menarik napas panjang. "Tentu saja Bunda memberikan restu dan berdoa demi kelancaran pernikahan kalian, juga demi kebahagiaan rumah tangga kalian, Arya. Bunda yakin, kamu sudah cukup dewasa dan sudah berpikir matang sampai mengambil keputusan ini. Bunda yakin kamu sudah siap dengan segala resikonya. Bunda akan selalu ada di belakangmu jika itu untuk kebaikanmu" "Terimakasih banyak Bunda" "Andai kamu mengabari sebelum hari H nya, Bunda bisa datang untuk berhadir di sana." "Maafkan aku Bunda, semuanya memang tanpa rencana" "Baiklah Arya, telponlah Abangmu, minta restu juga padanya. Bunda titip salam untuk Aisah dan keluarganya, Bunda berharap, pernikahanmu akan membuatmu semakin yakin untuk berada di jalan yang diridhoiNya, Aamiin" "Aamiin, terimakasih Bunda, aku menyayangi Bunda, assalamuallaikum" "Bunda juga menyayangimu, Arya. Walaikum salam" Hubungan telpon mereka terputus, Bu Adwina menghapus air mata yang meleleh di kedua pipinya. Matanya terpejan, seuntai doa tulus ia panjatkan, untuk Arya. Agar putra mantan suaminya itu bisa kembali pada kodratnya sebagai seorang pria, lewat pernikahan yang akan dilakukan. Bu Adwina juga berdoa demi kelancaran pernikahan Arya, dan untuk kebahagiaan rumah tangga Arya dan Aisah. Bu Adwina tahu, pasti akan banyak rintangan yang harus dilalui Arya dan Aisah, baik itu dari keluarga Lazuardi, ataupun dari keluarga Mahmud. Radea dan Devina pasti tidak akan tinggal diam saja. Suara ponsel mengangetkan bu Adwina dari lamunannya. "Mas Ridwan" gumamnya. "Assalamullaikum, Mas" "Walaikum salam, Wina. Apa Arya tadi sudah menelponmu?" "Iya" "Apa dia mengatakan akan menikah malam ini" "Iya" "Apa dia memberitahumu kalau calon istrinya bernama Aisah" "Iya" "Apa dia bercerita kalau Aisah putri Pak Ipin dan Bu Siah, mantan supir dan ART di rumah orang tua Arya" "Iya" "Apa kamu memberikan restumu untuk pernikahan mereka?" "Iya, Mas?" "Apa kamu bersedia menikah denganku?" "Iya... Eehhh apa Mas?" Bu Adwina tergagap saat menyadari apa yang baru saja ditanyakan oleh Pak Ridwan. Terdengar tawa renyah Pak Ridwan di telinga Bu Adwina. "Arya baru beberapa waktu lalu melamar Aisah, malam ini mereka akan menikah. Aku sudah sejak 5 tahun lalu melamarmu, tapi sampai saat ini belum mendapatkan jawaban memuaskan darimu." "Maafkan aku Mas" "Aku tahu, tidak mudah membangun kepercayaan, Wina. Apa lagi darah Lazuardi juga mengalir di tubuhku. Aku dan Malik memang satu ayah, satu ibu. Tapi bukan berarti kami memiliki watak yang sama. Kamu sangat tahu bagaimana sikapku terhadap pernikahan Malik dan Radea bukan. Hhhhh, tapi sudahlah, mungkin takdirku harus menjalani hari tuaku sendirian, tanpa istri, tanpa anak.  Sampaikan saja pada Adrian, agar memberimu cucu yang banyak, mungkin nanti ada salah satu anak mereka yang bersedia tinggal denganku. Selamat malam Adwina, assalamuallaikum. Oh, ya. Lamaranku masih berlaku, mungkin saja suatu saat kamu merubah keputusanmu. Assalamuallaikum" ujar Ridwan berbicara seakan tanpa bernapas saja. "Walaikum salam" sahut Bu Adwina dengan senyum di bibirnya. Adik iparnya itu pria yang selalu ceria, meski sempat kehilangan keceriaannya saat musibah kecelakaan merenggut istri dan putra putrinya. Tapi keikhlasan Ridwan menerima musibah itu sebagai takdirnya, membuat Ridwan mampu bangkit di tahun kedua kepergian istri dan anak-anaknya. Sementara itu di ruang tengah rumah Bu Adwina, Adrian dan Devita tengah duduk menunggu saat maghrib tiba. Mereka menikmati lempeng pisang buatan Devita, beserta teh hangat sebagai minumannya. Terdengar tawa canda keduanya,  kebahagiaan terpancar nyata dari wajah Adrian dan Devita. Tiba-tiba suara ponsel Adrian terdengar. "Angkat Bang" ujar Devita. "Arya" gumam Adrian setelah menatap layar ponselnya. Dinyalakan speaker di ponselnya, agar istrinya juga ikut mendengar pembicaraan mereka. "Assalamuallaikum, Arya" "Walaikum salam, Bang. Bagaimana kabar Abang, kakak iparku, dan calon keponakanku?" "Alhamdulillah kami baik, kamu sendiri, ayah, dan bunda, bagaimana?" "Alhamdulillah, baik juga Bang. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan pada Abang" "Ada apa, Arya?" "Aku mohon doa restu Abang dan kakak ipar" "Doa restu?" Adrian menatap Devita, Devita juga menatap Adrian, kebingungan dan rasa penasaran melanda keduanya. "Ya, aku akan menikah malam ini" "Malam ini? Dengan Devira?" Devita menatap Adrian dengan kening berkerut, demi mendengar nama kakaknya disebut. "Bukan" "Bukan, kamu tidak jadi menikah dengan Devira?" Adrian tampak sangat terkejut, karena sepengetahuannya, Arya sudah setuju untuk menikah dengan Devira. Devita juga tampak terkejut. "Lalu kamu akan menikah dengan siapa, Arya?" Tanya Adrian, Devita ikut menunggu jawaban Arya. "Dengan..." BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD