Bab 1

708 Words
"Kak, sepertinya aku tidak bisa pulang sekarang. Urusan kantor saat ini masih belum normal, apalagi Ayah masih di sana. Anggap saja Ayah dan Ibu yang mewakili aku di sana, Kak Zain." "Tak apa, Boy. Aku mengerti. Maafkan aku juga yang harus merepotkan pekerjaanku di sana. Setelah pernikahan selesai, kau bisa kembali dan aku yang meneruskan kantor nanti." "Baiklah. Selamat pengantin baru, Brother, he he." "Dasar, kau ... habis aku maka kamulah yang harus menikah. Sudah siapkah dengan calon mu?" "Tentu saja, kepulangan ku nanti, aku akan langsung melamarnya." "Baiklah, Boy. Rupanya adikku sudah dewasa." *** "Bagaimana? Apa kau sudah siap, Alisya?" Rendy menatap putrinya dengan bangga. Hari ini adalah hari pernikahan Alisya dengan Zain, putra dari sahabatnya. Sudah lama mereka menantikan pernikahan ini. Bahkan, sejak Alisya masih kecil pun, mereka sudah merencanakannya. Sejak saat itu Vian bertemu kembali dengan Rendy, sahabatnya. Akhirnya, perjodohan itu kembali mereka rencanakan setelah perpisahannya selama bertahun-tahun. Zain lah pria yang diinginkan Vian untuk menikahi gadis pilihannya. Dan itu pasti Alisya. Gadis cantik, tertutup, dan yang pasti dia sangat lembut dalam bersikap. Alisya mendongak setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ayahnya. "Insya Allah." Hanya perkataan itu, Rendy sangat yakin jika putrinya benar-benar sudah siap. Rendy tersenyum, segera memberitahu pihak calon pengantin pria untuk segera melangsungkan pernikahannya. Alisya menatap sebuah kotak kecil yang ia simpan selama satu bulan sejak kepergian lelaki yang dicintainya. Air matanya kembali menetes. Ia tak sanggup jika harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak ia kenal. Bahkan lelaki itu belum pernah melihatnya. Bagaimana ia tahu akan sifat lelaki itu? Entahlah, mungkin inilah takdir yang sudah digariskan untuknya. Alisya selalu berdo'a, semoga ini yang terbaik untuknya dan orang yang jauh di sana. Mendengar ucapan SAH dari luar kamarnya, Alisya langsung menghapus air matanya dan segera membenahi penampilannya kembali. Jangan sampai orang tahu jika dirinya habis menangis, terutama Ayahnya. "Alisya, kita keluar ya, Nak!" Ibu Ranum mendekati putrinya yang masih menunduk dan duduk di sana. Perlahan, Ranum memerhatikan mata Alisya yang sedikit merah dan bengkak. Ranum yakin jika putrinya habis menangis. "Kenapa? Bukankah ini adalah hari bahagia mu?" lirih Ranum pelan. "Ibu tahu, kamu masih belum mengenal suamimu dengan baik. Tapi Ibu mohon sama kamu agar kamu bisa menerimanya. Dia lelaki yang sangat baik, ibu dan ayah mengenalnya dari kecil, hanya saja dia besar dengan Kakeknya di Luar Negeri." Alisya menggenggam tangan Ibunya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak, Bu. Justru alisya menangis karena bahagia. alisya hanya tak menyangka kalau sekarang lisya sudah menjadi istri yang sah." Bohong. Itu tidak murni dari hatinya. "Syukurlah kalau begitu. Semoga kelak kau menjadi istri Solehah dimata suamimu, Lisya." Ranum memeluk putrinya untuk yang terakhir kali. Alisya akan tinggal bersama Zain di rumah yang sudah disiapkan oleh ayahnya. Rumah itulah yang akan menjadi saksi perjalanan rumah tangga mereka. Rumah tangga yang di awali tanpa cinta, tanpa pengetahuan dan tanpa mengenal satu sama lain. Perlahan, Ranum melepaskan pelukan itu, segera membawa putrinya keluar untuk menemui suaminya yaitu Zain. Zain tersenyum bahagia setelah melihat istrinya yang cantik. Rupanya apa yang diceritakan orang tuanya tidaklah benar. Alisya bahkan termasuk gadis impian Zain selama ini. Alisya masih tersipu, ia tak berani menatap suami di depannya walaupun hanya sebentar. Sepertinya do'a nya kini telah terkabul. Ia mendapatkan suami yang sangat baik. Namun, bagaimana dengan takdir? "Alisya". Zain memanggil nama itu dengan lembut, bahkan Alisya bisa mendengarnya dan merasakan jika Zain benar-benar lelaki yang tulus. Zain meraih tangan Alisya sebelum mencapai dagunya untuk bisa mendongak melihatnya. "Apa kau akan tetap melihat ke bawah kakiku? Wajahku ada di sini, di depanmu, bukan di bawah sana." Alisya sedikit terhibur dengan perkataan suaminya. Rupanya Zain tipe lelaki yang pandai bercanda. Syukurlah. Senyuman itu merupakan senyuman paling manis yang pernah Zain lihat dengan mata kepalanya sendiri. Apalagi, kini senyuman itu akan menjadi miliknya seutuhnya. Ah, bahagianya duniaku. "Jangan hanya saling pandang saja, apa kau tidak mau mencium tangan suamimu, Alisya?" ucap Rendy memecahkan kekaguman antar keduanya. "Ah, iya." Alisya sangat gugup. Alisya menarik tangan Zain, menempatkannya ke atas kening hingga mencium tangan itu dengan lembut. Sentuhan itu tak hanya meluluhkan hati Zain saja. Namun, rasanya Zain ingin memiliki Alisya seutuhnya sampai akhir hayat. Sungguh, itu suasana yang sangat romantis, apalagi di susul dengan Zain yang mengecup kening Alisya. Itu sudah cukup membuktikan bahwa Zain benar-benar ingin menjaganya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD