"Mas, aku pergi dulu!" pamit Elvi pada Gibran, suami yang sudah menemani dirinya selama 1 tahun ini.
"Pergi kemana? Nanti malam aku ada undangan dari rekan bisnisku. Apa kamu tidak bisa tunda dulu buat nemenin aku ke pesta?" tanya Gibran dengan pandangan tidak setuju
"Tidak bisa dong Mas. Ini pekerjaan penting." Jawab Elvi sambil bergelayut manja di lengan Gibran
"Tapi kamu baru datang tadi malam Sayang, masak sekarang harus pergi lagi. Aku masih rindu." Ujar Gibran mencoba merayu Elvi, berharap agar Elvi luluh dan menunda kepergiannya.
"Mas, kali ini aku pergi gak akan lama. Mungkin hanya 3 hari. Dan aku usahakan agar lebih cepat dari perkiraanku." Ujar Elvi yang membuat Gibran mengepalkan tangannya kuat menahan emosi, karena ternyata Elvi masih tetap pada keputusan nya.
"3 hari itu bukan waktu yang sebentar. Kamu seorang istri, tugas seorang istri itu hanya memenuhi kebutuhan suami di rumah. Dan untuk kebutuhan kamu, itu sudah menjadi tanggung jawabku. Jadi kamu tidak perlu mengurus masalah perekonomian kita." Ujar Gibran dengan nada dinginnya, serta sorot mata yang sudah terlihat tidak lembut lagi pada Elvi.
Gibran sudah merasa lelah memberi pengertian pada Elvi, meminta agar sang istri tak perlu lagi melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang model.
Yah, selama Elvi terjun ke dunia model, Gibran selalu memberi dukungan penuh pada Elvi. Tapi tidak dengan hari ini, dimana Gibran sudah merasa lelah selalu di tinggal Elvi, ditambah kalau Elvi pergi tidak pernah sebentar. Menurut Gibran, 1 tahun ini sudah cukup untuk memberi pengertian pada Elvi, bahkan selama mengenal Elvi, Gibran tidak pernah menuntut apapun terhadap Elvi, dan baru pagi ini Gibran meminta Elvi berhenti bekerja, dan Sayangnya, Elvi menolak dan tetap melanjutkan karirnya sebagai seorang model.
"Mas, kamu tahu sendiri kan, impianku selama ini menjadi model terkenal. Dan aku tidak mau berhenti gitu aja setelah aku di kenal seluruh dunia. Aku harus profesional, dan aku butuh dukungan kamu. Ini impian aku, Mas." Ujar Elvi dengan nada yang sudah sedikit meninggi, membuat Gibran benar-benar harus menekan dadanya karena kecewa.
Gibran langsung membalikkan badannya membelakangi Elvi, sambil memijat pelipisnya karena merasa pusing.
Elvi yang melihat Gibran marah terhadap dirinya tidak ambil pusing. Elvi meraih kopernya dan keluar dari kamarnya. Mengabaikan kemarahan Gibran.
Gibran baru membalikkan badannya setelah telinganya mendengar suara pintu ditutup secara kasar oleh Elvi.
"Cuma satu yang bisa membuat kamu berhenti menjadi model. Kamu harus cepat hamil." Gumam Gibran dalam hati, sambil meremas jarinya sendiri.
Gibran mengambil jas mahalnya yang diletakkan di sandar kursi, lalu keluar dari kamar untuk pergi ke kantor.
Tepat pada jam 07.00 malam, Gibran terpaksa datang ke pesta seorang diri, karena istri tercintanya sedang dalam urusan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan.
Gibran hanya diam saja meski Gibran selalu diledek sesama teman lamanya dan juga sesama rekan bisnisnya, lantaran hanya Gibran yang datang ke pesta sendirian tanpa pasangan.
Gibran hanya menanggapi celotehan sahabatnya dengan senyuman kecil, dan tidak menimpali setiap perkataan temannya, karena bagi Gibran diam jauh lebih baik, daripada menanggapi nanti malah membuat hatinya semakin sakit.
Jangan ditanya bagaimana kecewanya Gibran sama Elvi. Gibran sangat kecewa. Namun karena Gibran sangat mencintai Elvi, Gibran memilih mengalah dan membiarkan Elvi terus bolak balik pergi, serta menahan diri untuk tidak marah pada Elvi. Gibran tidak sadar, bahwa kekecewaan yang ia pendam selama ini mungkin sudah tidak bisa lanjutkan lagi. Jadi Gibran memutuskan untuk segera membuat Elvi hamil, dan bisa fokus pada rumah tangganya.
Di rumah
Cece yang sedang bersantai sambil mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu seketika menoleh kebelakang, saat Cece mendengar suara pintu diketuk.
Cece meletakkan laptop yang sejak tadi bermanja-manja di pangkuan Cece ke atas meja yang terbuat dari kaca, lalu beranjak untuk membuka pintu.
"Oh, ya ampun, Mas. Apa yang terjadi?" pekik Cece dengan teriakan kencangnya, karena sangat terkejut melihat kedatangan Gibran dengan tampilan yang acak-acakan.
"Sayang, kamu sudah pulang?" tanya Gibran dengan tubuh sempoyongan, membuat Cece merasa kesulitan untuk membantu Gibran masuk ke dalam rumah. Cece terkejut mendapati Gibran pulang dalam keadaan mabuk, dan ini yang pertama kalinya bagi Cece melihat kakak iparnya pulang kerja dalam kondisi mabuk.
"Sayang, aku masih sangat rindu sama kamu." Racau Gibran sambil mengendus leher Cece dengan penuh nafsu. Cece yang mengerti dengan kondisi Gibran tidak merasa keberatan atau merasa ada yang aneh saat Gibran memanggil dirinya sayang, karena Cece mengerti mungkin kakak iparnya memang sangat merindukan kakaknya.
"Kak Vivi benar-benar keterlaluan." Lirih Cece pelan sambil meletakkan tubuh Gibran ke atas ranjang. Cece kecewa sama kakaknya, karena kesalahan kakaknya yang hanya mementingkan keegoisannya, malah membuat kebiasaan baik orang lain jadi buruk.
Seperti yang dialami oleh kakak iparnya sekarang. Cece tidak pernah melihat Gibran marah, pulang kerja mabuk seperti ini, dan sekarang, Gibran jadi berubah. Pulang kerja dalam keadaan mabuk, seperti laki-laki yang tidak menghargai sebuah pernikahan, pikir Cece.
Cece keluar dari kamar kakak iparnya. Cece menuju dapur untuk membuatkan teh hangat buat Gibran.
Cece kembali ke kamar kakak iparnya, setelah Cece selesai membuat teh hangat.
Cece meletakkan teh hangat tersebut di nakas. Cece mencoba membangunkan Gibran dengan pelan.
"Mas, bangun. Aku sudah buatkan teh hangat. Minum dulu." Ujar Cece pelan.
Bukannya Gibran bangun, malah Cece yang ditarik hingga tubuh Cece jatuh ke dalam pelukan Gibran.
"Mas, lepas. Apa yang Mas Gibran lakukan!" pinta Cece dengan nada bergetar karena menahan tangis.
"Sayang, aku sangat merindukanmu. Aku masih belum puas dengan permainan kita semalam." Racau Gibran tanpa sadar, membuat Cece yang mengerti kemana arah pembicaraan Gibran langsung menggelengkan kepalanya cepat. Cece mulai berontak dan berusaha melepaskan diri dari paksaan Gibran. Namun sayang, yang namanya tenaga wanita, pasti akan kalah dengan tenaga pria, di tambah lagi tubuh Gibran yang sangat berotot karena Gibran suka dan bahkan rajin berolahraga.
Cece menangis minta dilepaskan, karena apa yang dilakukan oleh Gibran saat ini sangatlah salah.
"Mas, lepas! Aku bukan Kak Vivi. Sadar , Mas. Aku Celia, Celia Mas. Tolong lepaskan aku. Sadarlah!" Cece histeris minta dilepaskan, namun rupanya telinga Gibran bermasalah, karena meski Cece berteriak meminta kesadaran Gibran, Gibran tidak kunjung menuruti permintaan Cece, dan malah Gibran merobek paksa piyama Cece.
Srekk
Cece semakin berteriak histeris, bahkan sampai memanggil nama sang kakak, Elvi. Meminta pertolongan pada Elvi.
Karena tenaga Cece sudah mulai habis, Cece pun secara pelan mengurangi pergerakan yang sejak tadi berontak.
Cece terus menangis saat Gibran menyesap leher dan bahkan sampai dadanya. Cece sudah tidak bisa mencegah aksi Gibran, karena Cece sudah tidak memiliki tenaga.
Gibran melepaskan semua pakaiannya hingga tubuh Gibran sama polosnya dengan tubuh Cece.
"Mas, aku...
Gibran langsung membungkam mulut Cece dengan mulutnya, sambil mer3m4s b0k0ng dan gunung kembar Cece yang tidak kecil, hingga membuat Gibran semakin tidak bisa mengendalikan dirinya.
Gibran mengangkat satu kaki Cece ke atas, dan meletakkan di pundaknya, agar Gibran bisa melakukan penyatuan dengan nikmat seperti yang ia harapkan. Gibran mulai memposisikan pusaka kebanggaannya pada V Cece, dan
"Akhhh