"Boleh Mas minta sesuatu sama kamu?" tanya Gibran sambil menatap mata Cece dengan tatapan mata yang sudah terlihat sangat merah.
"Mau minta apa, Mas?" tanya Cece sedikit merasa penasaran.
"Perlakukan aku seperti pasanganmu." Ujar Gibran yang membuat Cece langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat, dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan Gibran.
"Mas tidak masalah memintaku untuk melakukan hal itu dariku. Mas Gibran lebih pantas mendapatkan atau meminta hal tersebut sama kak Vivi." Ujar Cece yang langsung merubah pandangan nya dari lurus ke depan.
"Sudah! Aku sudah minta apa yang aku inginkan sama kamu pada Vivi, tapi dia menolak." Jawab Gibran yang tanpa terasa Gibran meneteskan air matanya, membuat Cece tidak tega melihat kerapuhan Gibran. Tangan Cece terulur menyentuh wajah Gibran, membuat Gibran dengan refleks nya memejamkan matanya. Gibran terus meresapi sentuhan tangan Cece, hingga mata Gibran kembali terbuka saat Gibran mendengar suara Cece.
"Aku tidak bisa menggantikan posisi Kak Vivi. Tapi aku akan mencoba menemani kesepian Mas Gibran. Kita akan tetap bisa menjadi kakak ipar dan adik ipar yang baik." Ujar Cece yang membuat Gibran mau tidak mau mengucapkan kata terimakasih. Setidaknya, Gibran tidak merasa sendiri. Gibran mengecup kening Cece dengan singkat, bukan kecupan nafsu, hanya kecupan sebatas ucapan terimakasih.
Setelah dirasa suasana hati Gibran sedikit membaik, Gibran kembali menjalankan mobilnya, dan tentunya dengan kecepatan sedang.
Gibran masuk ke dalam kamarnya, yang membuat hati Gibran kembali merasa kecewa. Padahal, impian Gibran saat ia memasuki kamar, ia ingin disambut penuh cinta oleh sang istri, bukan sambutan kekosongan setiap hari yang ia alami.
1 tahun lebih Gibran menjalani sebuah pernikahan, yang nasibnya tidak jauh berbeda dengan nasib JONES, alias jomblo ngenes. Tidur selalu sendirian, makan ditemani dan dilayani adik iparnya. Sesekali Vivi pulang, namun tidak lama hanya 1 atau 2 hari, Vivi kembali pergi, dan kembali membuat hidup Gibran merasa sendiri. Gibran sempat merasa, istri yang sebenarnya itu adalah Cece, bukan Elvi, karena waktu yang ia habiskan hanya dengan Cece, tidak dengan Elvi. Elvi sendiri disibukkan dengan dunia modelnya.
Gibran menutup pintu kamarnya dengan pelan, lalu melempar jas nya dan masuk ke dalam kamar mandi. Gibran selalu mandi sebelum tidur, meski sudah larut, Gibran selalu mandi. Karena Gibran tidak bisa tidur kalau belum mandi.
Setelah Gibran sudah selesai mandi dan berpakaian piyama kimono Jepang, Gibran mengambil ponselnya, dan mengecek berharap ada pesan masuk atau panggilan tidak terjawab dari Vivi, namun sayang, tidak ada panggilan ataupun pesan dari Vivi. Hanya panggilan keluar dan itu karena dirinya meminta Vivi untuk segera pulang.
Gibran kembali meletakkan ponselnya dengan hati yang begitu sangat kecewa karena Vivi tidak memberi kabar apakah dirinya akan pulang atau tidak.
Gibran yang merasa sulit untuk tidur malam itu, langsung mengambil laptopnya dan menyibukkan dirinya dengan kerjaan. Begitulah kebiasaan Gibran, kalau sudah tidur karena kepikiran dengan Vivi, Gibran melampiaskan pada pekerjaannya.
Gibran baru merasa ngantuk tepat pada jam 03.00 pagi. Gibran meletakkan laptopnya di sampingnya, dan memejamkan matanya yang mulai terasa berat. Ternyata Gibran langsung terlelap. Mungkin karena Gibran kelelahan, atau memang sangat mengantuk, sampai tidak membutuhkan waktu lama Gibran sudah tidur nyenyak.
Disaat Gibran mulai menikmati alam mimpinya, beda halnya dengan Cece yang sudah bangun karena merasa tubuhnya sakit semua. Cece yang sudah tidak bisa tidur lagi menuju dapur untuk masak. Setelah Cece selesai membuat sarapan, Cece bersantai di kamarnya karena jam juga masih jam 06.55. Cece baru ke kamar mandi setelah melihat jam 07.15. Karena Cece tidak melihat tanda-tanda Gibran sudah bangun, akhirnya menuju kamar Gibran karena Cece takut Gibran akan telat ke kantor.
Cece mengetuk pintu kamar Gibran hingga berulang kali, namun tidak ada sahutan dari pemilik kamar tersebut. Karena Cece penasaran kemana Gibran, akhirnya Cece membuka pintu kamar Gibran, dan menyembulkan kepalanya sedikit. Cece menghela nafasnya kasar saat melihat Gibran masih bergulung dengan selimutnya.
Cece masuk ke dalam kamar kakak iparnya. Cece membangunkan Gibran dengan pelan dan mengatakan pada Gibran kalau Gibran sudah terlambat ke kantor.
"Sudah jam berapa?" tanya Gibran dengan suara beratnya karena masih sangat mengantuk.
"Sudah hampir jam 08.00" jawab Cece yang langsung membawa langkahnya keluar. Cece berteriak dari ambang pintu, mengatakan kalau ia akan menunggu Gibran di meja makan. Gibran yang mendengar jam 08.00, langsung turun dari ranjang, dan menuju ke kamar mandi,meski matanya merasa sangat berat untuk di paksa terbuka.
Cece menunggu Gibran sambil bermain ponsel, berselancar di dunia maya. Cece meletakkan ponselnya di dekatnya saat melihat Gibran sudah mendekati meja makan.
Seperti biasa, Cece melayani Gibran saat makan seperti seorang istri yang melakukan tugasnya untuk suami.
Gibran melihat Cece yang begitu sangat cekatan dalam melayani nya, sudah melebihi perlakuan istri pada seorang suami. Gibran jadi membayangkan Vivi yang melayaninya, pasti ia akan merasa sangat bahagia, dan bahkan merasa paling beruntung karena mendapat istri yang baik seperti yang ia bayangkan.
Gibran langsung menepis apa yang menjadi impiannya dengan Vivi saat menyadari Cece tengah memperhatikannya.
"Mas Gibran kalau merasa sangat rindu dengan kak Vivi, susul dia Mas. Bujuk dia biar dia tidak melanjutkan pekerjaannya." Ujar Cece memberi saran pada Gibran yang langsung disambut dengan tawa renyah dari Gibran.
"Percuma saja. Dari aku sudah melakukan seperti apa yang sarankan tadi. Nyatanya Vivi tetap memilih pekerjaannya daripada pulang bersamaku." Ujar Gibran yang tidak mau larut dalam kekecewaan. Gibran langsung menyantap makanan nya dalam diam.
"Kalau aku punya suami seperti Mas Gibran, akan lebih baik fokus mengurus rumah tangga aja. Mas Gibran udah baik. Kaya, dan pastinya mencukupi kebutuhan ku. Lagian, mau cukup atau tidak, Kak Vivi tidak sepantasnya mengambil tindakan yang menjadi keberatan suami." Ujar Cece dengan bijaknya, dan sayangnya Cece hanya bisa berani mengucapkan dalam hatinya.
Cece yang melihat Gibran hampir selesai dengan sarapannya, langsung menyantap makanan nya sendiri yang masih belum ia sentuh sejak tadi.
Keduanya pun pergi untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa setiap harinya. Rumah kembali sunyi setelah Gibran dan Cece sudah pergi.
Biasanya jam 04.00 sore Cece sudah pulang, namun karena akhir-akhir ini Cece banyak tugas, akhirnya Cece pulang terlambat dari biasanya.
Seperti biasa, Gibran akan menjemput Cece kalau Cece pulang di atas jam 07.00 malam. Cece memang sudah terbiasa pulang pergi dengan sepeda kesayangan nya, namun kalau Cece pulang lewat dari jam 7 malam, Gibran pasti akan menjemputnya karena Gibran khawatir terjadi sesuatu dengan Cece.
"Sudah makan malam?" tanya Gibran datar
"Sudah Mas. Tadi sekalian makan bersama." Jawab Cece sambil membuka ponselnya yang sejak tadi ada chat masuk. Cece melihat ternyata grup teman se BESTie yang lagi rame. Cece sesekali menimpali candaan temannya, dan kembali mengabaikan suara dentingan pesan masuk saat mobil sudah memasuki parkiran rumah.
"Buatkan kopi seperti biasa. Aku ada kerjaan penting." Pinta Gibran pada Cece. Yah, Cece sudah terbiasa menyediakan kopi untuk Gibran, terlebih saat Gibran mengatakan akan ada pekerjaan penting. Jadi saat Gibran larut dalam pekerjaan nya, Gibran harus ditemani oleh kopi hitam kesukaan nya, dan kebetulan kopi buatan Cece sangat candu bagi dirinya.
"Aku buatkan setelah mandi tidak apa-apa kan? Soalnya aku capek banget." Ujar Cece Yang sedikit menawar karena Cece benar-benar merasa sangat kelelahan. Gibran menganggukkan kepalanya. Tidak masalah kapan Cece akan membuatkan dirinya kopi karena Gibran juga tidak meminta dibuatkan saat itu juga.
Keduanya menaiki anak tangga dan masuk ke kamar mereka masing-masing.
Sesuai dengan yang dikatakan oleh Cece tadi, Cece akan membuatkan kopi hitam untuk Gibran setelah mandi. Jadi Cece langsung menuju kamar mandi untuk berendam agar sedikit mengurangi rasa lelahnya.
Setelah Cece selesai dengan urusan mandinya, Cece langsung menuju dapur dan membuat kopi pesanan Gibran.
Tok tok tok
Cece mengetuk pintu kamar Gibran dengan membawa kopi permintaan Gibran.
Cece masuk ke dalam kamar kakak iparnya setelah mendengar sahutan dan mengatakan kalau Cece di persilahkan masuk.
"Mas, kopinya aku taro di atas nakas ya." Ujar Cece saat melihat meja di depan Gibran terdapat banyak tumpukan berkas yang Cece sendiri tidak tahu apakah berkas itu penting atau tidak.
"Bawa kesini." Titah Gibran tegas.
Cece langsung membawa kopi tersebut mendekati Gibran dan memberikan pada Gibran.
"Mas, gak capek seharian kerja di rumah masih kerja." Ujar Cece yang sudah duduk di samping Gibran.
"Kalau sudah terbiasa, rasanya juga biasa saja." Jawab Gibran sambil menyeruput kopi yang masih hangat itu dengan penuh nikmat.
"Tidurlah. Kamu pasti lelah karena seharian kuliah." Ujar Gibran dengan penuh perhatian, sambil mengelus rambut Cece yang tergerai indah.
"Aku belum ngantuk, Mas. Aku temani boleh gak? Sekalian aku belajar dunia perkantoran." Ujar Cece menawarkan diri untuk membantu Gibran, sambil tertawa cengengesan.
"Nanti saja kalau sudah magang aku ajari." Ujar Gibran sambil meletakkan kopi yang sudah tersisa separuh. Cece mengambil salah satu berkas yang sudah dikerjakan oleh Gibran, dan tanpa sengaja Cece memegang paha Gibran hingga membuat mata Gibran dengan refleksnya melihat tangan Cece yang ada di atas pahanya, dan beralih menatap paha mulus Cece yang terekspos indah.
Melihat betapa mulus dan indahnya paha Cece, tangan Gibran terangkat untuk menyentuh paha Cece.
"Penampilanmu memang sederhana, tapi mampu menjadi godaan besar untuk junior ku." Bisik Gibran tepat di telinga Cece, dan dengan spontannya Cece sedikit menjauhkan posisinya dari Gibran.
Gibran menahan paha Cece agar tidak menjauh.
"Bagaimana bisa aku jadi candu dengan permainan Kakak iparku?" pertanyaan itu hanya lolos dari hati Cece. Yah, Cece merasa dirinya kecanduan permainan ranjang panas kakak iparnya. Bahkan saat Gibran mengelus paha Cece, Cece hanya diam saja seakan-akan memberi lampu hijau pada Gibran untuk melakukan hal yang lebih pada Cece.
"Bagaimana kalau aku menginginkanmu lagi?" tanya Gibran yang membuat wajah Cece seketika dipenuhi oleh keringat dingin. Bingung harus menjawab apa, apakah ia harus mengatakan dengan jujur kalau ia sudah kecanduan dengan permainan Gibran, atau justru harus menolak meski tubuhnya menerima sentuhan Gibran.
Gibran mulai mendekati wajah Cece, sambil terus meraba paha Cece. Cece semakin menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang itu dengan pelan, hingga membuat Gibran merasa lebih mudah untuk melakukan hal yang lebih pada Cece. Gibran terus meraba paha Cece dan menfokuskan pandangannya pada wajah Cece.
Brak