Aku tak mengenal baik dirinya.
Namun, tutur bahasa, ekspresi dan gerak-geriknya menghadirkan rasa nyaman. Bahkan saat di hadapan banyak orang, ia tak sungkan untuk menunjukkan kehangatannya.
Tunggu, apa aku baru saja memujinya?
***
Amsterdam, lima belas bulan yang lalu.
“ARGA HYUNG DATANG!” pekik Ardhan, putra sulung Bang Andra. Bukan secara khusus memberitahuku, namun kepada semua yang berada di guest house ini. Kami datang ke kota ini untuk menghadiri pernikahan Teh Reina dengan Mas Rio. Keluarga calon mempelai wanita adalah salah satu kerabat dekat kami.
Aku tak kuliah. Tahun kemarin dan juga tahun ini. Alasannya karena Ibu tak mengizinkanku memproses penerimaan di peguruan tinggi yang mengundangku. Selama satu tahun aku mengurung diri, sementara Dyra kuliah di sebuah Universitas mahal di Surabaya.
Lalu, sekitar dua bulan yang lalu, Uwak Edwin datang mengunjungiku. Uwak bilang, beliau mau mengajakku ke Jakarta. Kak Salsa, anak kedua Uwak, kandungannya sudah menginjak bulan ketujuh. Mas Aji, sang suami, sibuknya bukan kepalang. Maksud Uwak, siapa tau aku mau menemani Kak Salsa sembari menyegarkan isi kepala.
Anehnya, Ibu langsung setuju.
Dua hari kemudian, setelah Uwak selesai dengan pekerjaannya di Surabaya – kota tempatku tinggal – beliau langsung datang menjemput dan membisikkan aku agar membawa beberapa dokumen. Aku nurut saja, meski tak tau untuk apa.
Di udara, Uwak menceritakan soal undangan pernikahan di hari ini. Dan beliau menjakku ikut serta. Bahkan soal Kak Salsa, itu hanya akal-akalan beliau agar aku bisa keluar sejenak dari rumah ayah tiriku.
“Selama kita ke Amsterdam, Mas Aji cuti kok. Yang nikah kan keponakannya Bang Dirga. Kak Sherly dan Mas Eros di tanggal pernikahan malah ada appointment, jadi ngga bisa ikut. Aman! Ayra ngga usah khawatir,” ujar Uwak saat itu. Kak Sherly dan Mas Eros adalah putri sulung dan menantu pertamanya Uwak.
“Kalau Ibu nanti tau, Wak?”
“Kalau perginya sama Uwak, ngga akan berani ibumu complaint.”
‘Iya, Wak. Soalnya nanti Ayra yang dimarahin Ibu. Bisa semalaman diintrogasi Ayra ngomong apa aja ke Uwak.’
“Tuh, malah bengong! Mau ngga? Ada Abang Andra, Kak Diana dan bocah-bocah Korea itu. Yakin Ayra ngga mau ikut?”
‘Diomelin-diomelinlah! Ngga ikut pun pasti diomelin Ibu melulu.’ Tentu saja aku tak menolak.
Tiba di Jakarta, aku menginap satu malam di rumah Uwak. Malamnya aku tidur dengan Uwak Naomi. Mungkin karena aku yang begitu rindu akan sosok seorang ibu, aku menceritakan banyak hal pada beliau. Uwak sempat bilang, jika aku sebenarnya sudah memiliki hak untuk hidup sendiri. Tapi, aku harus berani bersikap, yakin jika aku yang sungguh mau meninggalkan rumah neraka tersebut. Di situlah masalahnya, aku terlalu takut meninggalkan Ibu. Aku … takut jika Ibu kenapa-kenapa dan aku tak tau. Bukankah, jauh dari Ayah sudah cukup membuatku merasa tak lengkap?
Tiga malam selanjutnya kuisi dengan menginap di kediaman Kak Sherly. Lalu, tiga malam kemudian di rumah Kak Salsa. Dan sisanya, hingga kami terbang ke Negeri Kincir Angin ini, aku menginap di rumah Abang Andra.
Aku itu hobi banget bikin DIY Craft. Dan semua aku pelajari secara otodidak. Berbekal tutorial-tutorial online yang bisa diakses gr4tis di banyak platform sosial media. Jenisnya macam-macam, asalkan kerajinan tangan dan menarik minatku, pasti akan aku pelajari. Dan biasanya, tak butuh waktu lama untuk bisa.
Sekitar lima tahun yang lalu, saat aku sedang mengunjungi kediaman Bang Andra, Kak Diana – istrinya Abang – tengah bebersih studio crocheting-nya. Ada banyak benang-benang sisa yang mau beliau buang. Berhubung aku tau betapa mahalnya benang-benang rajut yang Kak Diana miliki, aku memintanya.
Singkat cerita, hari itu, aku melakukan dua hal besar. Satu, membuat Dyra semakin membenciku karena iri. Dan dua, aku punya sepatu kanvas bordir plus tiga sling bag baru. Semuanya kubuat dengan memanfaatkan benang-benang sisa tadi.
Lalu, karena produktivitasku itu, Kak Diana mengajakku berbisnis. Ia yang tengah mencari seorang desainer untuk usaha barunya, memintaku secara khusus. Kupikir-pikir, kenapa tidak. Toh desain dan video tutorial pembuatannya bisa kukirim via surel atau chat.
Kembali ke cerita sebelumnya. Jadi, sisa hariku di rumah Abang Andra hingga flight ke Amsterdam kuisi dengan crocheting membuat hewan-hewan gemoy. Dan begitu jemariku lelah, Kak Diana memfoto mereka. Tak butuh lama, teman-temanku itu diadopsi dan rekeningku penuh terisi. Menyenangkan bukan?
Tiba di bandara, aku dikejutkan. Ternyata yang membeli hasil karyaku adalah orang-orang baik yang terbang bersamaku. Banyak yang tidak kukenal saat itu. Namun, seolah aku terlahir sebagai bagian dari mereka, hangat sambutan dan sikap membuatku mudah merasa nyaman.
Semuanya normal saja hingga … ia tiba.
Seperti tersihir, ia kerap menatapku lekat.
Apakah cowok ini akan membocorkan perihal yang terjadi di Queenstown?
Sepanjang waktu, ia terus saja curi-curi pandang padaku. Tidak mungkin kan ia lupa siapa aku? Tapi, apa iya ia ingat sementara saat ini aku berpenampilan nerd?
Waktu berselang hingga hari akad nikah pun tiba. Sama seperti perempuan yang lain, aku pun dirias cantik menggunakan warna-warna lembut. Berhubung antrian jasa para MUA cukup panjang, setelah mengenakan gaun merah jambu yang kubawa, aku pun meninggalkan ruang rias. Di depan pintu yang tertutup, kuambil kaca mata, lalu kukenakan.
“Wow!”
Aku sontak menoleh.
“Kamu Ayra yang sama?” tanya pria bernama Arga. Betul, yang kerap larak-lirik atau terang-terangan menatapku.
“Ayra yang sama?”
“Kamu Ayra yang di Queens ….”
Cepat kubekap mulutnya, membuatnya seketika membelalak.
Masih dalam keadaan terkejut, lengannya kuraih, lalu kupaksa ia mengikuti langkahku ke halaman muka guest house kami.
“Please, jangan omongin soal Queenstown,” pintaku padanya seraya mengatupkan telapak tangan.
“Kenapa? Kamu ke Queenstown itu rahasia?”
“Anggap aja begitu.”
Ia mengangguk-angguk.
“Jadi, sejak lo datang, lo ngga tau kalau gue adalah Ayra yang lo tolong waktu di Queenstown?”
Arga menggeleng. “Kalau diperhatiin emang mirip sih. Tapi, kamu beda banget, Ay. Waktu itu, you looked the same as you do now. I mean, tanpa kaca mata. Kamu bipolar?”
“Menurut lo yang mana fase mania dan yang mana fase depresi?” tantangku kemudian, menahan tawa. Kok bisa sih dia berpikir aku bipolar?
“Serius, Ay? Udah konsul?”
Akhirnya aku tergelak.
Kulangkahkan kakiku, duduk di salah satu anak tangga stepping. Arga menyusul, duduk disampingku dengan jarak … mungkin sejengkal saja.
“I’m fine, thanks,” ujarku kemudian. Menanggapi pertanyaannya tadi.
“Mama tuh psikiater, Ay.”
“Iya,” sahutku sembari terkekeh. “Kan sejak di sini, gue banyak ngobrol sama mama lo.”
“And she said that you’re fine?”
“Yang pasti, beliau ngga bilang ada yang salah sama gue. Kenapa sih? Lo takut?”
“Takut apa?”
“Takut bergaul sama orang dengan gangguan jiwa?”
“In your dream, Ay!”
“What?”
“Gimana bisa aku takut sementara aku terbiasa melihat pasien yang ditangani Mama?”
“Who knows kan? Bisa aja.”
“Nggalah, Ay. Lagian, emang ada orang yang seratus persen trauma free? Semua orang pasti punya lukanya masing-masing.”
“Termasuk lo?”
“Mmm … maybe.”
“Kok maybe?”
“Aku itu tipe yang bahagia banyak-banyak, bawa senang semua masalah, dan sedih secukupnya aja. Hal paling sedih di hidup aku tuh waktu Ompung Godang meninggal.”
Aku memilih diam. Kali ini, aku yang lekat menatapnya. Yang aku tau, Arga sebaya dengan Teh Reina. Berarti, umurnya 25-tahun. Tapi, wajahnya masih seperti anak remaja.
“Ompung tuh, hampir tiap hari ke rumah. Palingan ngga datang kalau beliau sakit atau harus pergi karena ada urusan lain. Bahkan saat cucu beliau bertambah, Ompung tetap selalu datang, Ay. Kata Ompung, takut aku nyariin."
Nampak lapisan tipis sebening kaca di kedua matanya.
“Arga, kalau cuma bikin lo sedih, ngga usah diceritain ke gue, ngga apa-apa kok.”
“Kamu ngga minat dengarin aku ya?”
“Bukan, Ga. Gue takut lo sedih.”
Ia tersenyum. “Thanks, Ay. Tapi, cerita aku barusan … nyadarin aku lho. Ternyata, aku punya luka.”
“Luka karena kehilangan Ompung lo?”
“Betul!”
“Bahkan, kalau ada yang sakit di keluarga, aku jadi suka panik sendiri, Ay.”
“Lo kan dokter, Ga.”
“Emangnya mentang-mentang dokter, kalau orang tercinta sakit, aku bakalan tetap waras gitu? Hampir ngga ada dokter yang modelan begitu, Ay. Kami ini juga manusia.”
Kini aku yang terkekeh.
“So, benar kan? Ngga ada orang yang seratus persen baik-baik aja,” ujar Arga lagi.
“Iya sih.”
“Dan kamu gimana?”
“Gue baik, Arga. Thanks karena sudah peduli.”
“Ay?”
“Apa?”
“Kamu kuliah di mana?”
“Gue ngga kuliah.”
“Masa?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Ngga aja.”
“Gitu ya?”
“Lo anti sama orang yang ngga kuliah?”
“Anti? Antimo? Antidot?”
“Arga ih!”
“Ya nggalah. Itu kan pilihan kamu, Ay. Emangnya aku punya hak apa menilai kamu berdasarkan kamu kuliah atau ngga.”
“Kalau gitu, lo menilai gue berdasarkan apa?”
“Nerd vs fashionable. Real vs fake. Honest vs pretends. Kalau kamu nanya lagi kenapa aku beranggapan begitu, karena yang aku lihat, kamu lebih nyaman dalam versi nerd.”
“Masalahnya … cuma gue yang nyaman dengan versi nerd ini, Ga.”
Arga mengerutkan keningnya. Tetap saja tak terlihat tua. Dia ini dari klan vampir apa gimana sih?
“Ibu ngga suka gue yang nerd. Papa dan Dyra juga jijik dengan penampilan nerd gue. Abang Reizan juga ngga suka, dia lebih suka gue yang modis.”
“Siapa?”
“Semuanya, Ga.”
“Bukan, yang terakhir kamu sebut tadi. Abang siapa?”
“Abang Reizan. Cowok gue.”
“Apa?”
“Cowok gue, Ga.”
“Kamu udah punya cowok?”
“Ngga sekedar cowok. Gue dan dia sama-sama serius kok.”
Apakah hanya perasaanku jika Arga enggan bicara denganku sejak bincang-bincang kami di stepping pagi tadi?
***
Ia tak melepas genggaman tangannya denganku, meski sambil memerhatikan untaian kata dari setiap sosok yang mengutarakan isi kepala.
“Berarti, besok Papi Ian dan Om Edwin yang ke lapas?” tanya Bang Arga. Ia tak lagi menyebut Uwak Edwin dengan panggilan Opa. Kalau dipikir-pikir, aku juga pusing dengan panggilan kehormatan ini. Tapi, jika Abang tak mengubah panggilannya, setelah dirunut, aku ini adalah tante yang dinikahi keponakannya sendiri lho. Terdengar mengerikan!
“Iya, Bang. Kalau Ian aja yang pergi, khawatir ada orangnya Seina yang curiga. Tapi kalau sama saya, wajar kan saya ngunjungin adik sendiri?” tanggap Uwak.
Bang Arga mengangguk.
Baru saja aku hendak bertanya bagaimana semisal Ayah tak merestui pernikahan ini, ponsel Uwak terdengar berbunyi.
“Abang, bawa Ayra masuk,” titah beliau.
Bang Arga menurut begitu saja. Ia berdiri, menarikku lembut, membawaku melangkah menjauhi tempat kami berkumpul.
“Ya?”
“Mas di mana?”
“Ada apa?”
“Ayra kabur. Mas yang tampung?”
“Kabur? Kenapa Ayra bisa kabur?”
“Ngga usah pura-pura, Mas. Saya sudah cari ke mana-mana dan anak itu seperti ditelan bumi!”
“Ibu macam apa kamu sampai anakmu bisa kabur?” tepis Uwak. Ketus.
“Jangan mulai, Mas!”
“Mulai apa? Kamu yang nelpon saya! Apa tadi katamu? Tampung? Kamu pikir Ayra binatang liar yang butuh penampungan? Kelakuanmu yang seperti binatang, Seina! Lebih buruk malah! Anakmu sendiri tak nyaman berada di dekatmu! Kamu pikir saya orang bodoh yang ngga bisa melihat bagaimana Ayra ketakutan setiap kali kami datang melihatnya? Kamu mengancam Ayra? Apa yang sudah kamu lakukan sampai dia lari?”
Panggilan video itu … Ibu putus sepihak. Begitu saja. Menyisakan Uwak yang mendengus frustasi dengan raut wajah sendu. Aku menarik tanganku dari genggaman Bang Arga, melangkah cepat mendekati Uwak. Lalu aku bersimpuh di depan beliau.
“Wak?”
Beliau memelukku. Bahunya terasa bergetar.
“Uwak jangan nangis,” lirihku, sedih.
“Maafin Uwak, Ayra. Maafin Uwak, Nak.”