Aku meremas-remas tepi cardigan-ku, sesekali kupelintir lalu kulepaskan dan kuremas kembali. Di depanku, Abang Arga dan Teteh Reina menoleh serempak, sekejap membelalak karena mendapatiku.
"Ayra?" tegur Abang. Ia gegas berdiri lebih dulu, lalu membantu Teteh. “Kenapa nangis, Ay?”
Aku menggeleng, mengangkat kedua tangan untuk menghapus air mata.
“Gue ke dalam deh. Lo ngobrol aja dulu sama Ayra,” ujar Teteh. Ia lalu mendekat, memelukku singkat sebelum meninggalkanku dengan Bang Arga.
“Ada yang bikin kamu sedih, Ay?”
Aku bernapas dalam, namun tak sanggup menjawab pertanyaannya.
“Dingin di sini, Ay. Masuk aja yuk? Nanti kamu sakit.”
“Kok Ayra aja yang sakit? Emangnya Abang anti dingin?”
“Di Cambridge suhunya lebih dingin dari ini, Ay.”
“Oh.”
“Makanya aku minta peluk mulu.”
Aku terkekeh, menerbitkan senyum di wajahnya.
“Jadi, kenapa kamu nangis?”
“Ngga nangis kok.”
“Cuma netesin air mata?”
“Iya.”
“Iya? Kelilipan?”
“Bukan,” jawabku sembari tertawa. Ia menatapku lekat. Apa ya … dulu, Bang Reizan kerap memandangku seperti itu. Dan tatapan itu, selalu mampu membangunkan kupu-kupu di perutku. “Ngerasa jahat aja sama Abang.”
“Soal aku mau nikahin kamu? Kan tadi kita sudah ngobrol tentang alasanku.”
“Bukan, Bang. Tapi … soal perasaan Abang.”
Bang Arga tak menanggapi. Ia bernapas dalam, lalu menghembuskan napas seraya mendongak, menatap langit.
“Ayra ngga nyangka aja kalau Abang punya perasaan seperti itu ke Ayra.”
“Apa perasaanku ngebebanin kamu?”
“Iya.”
“Ay ….”
“Karena pada akhirnya, Abang yang akan merasa paling tersakiti.”
“Itu urusanku, Ay. Kamu ngga perlu ambil pusing gimana aku nanti.”
“Ayra ngerasa jahat banget sama Abang.”
“Kalau gitu, please jangan mikirin perceraian. Kita nikah aja belum lho. Masa udah ngerencanain mau cerai?”
Kelu.
Ya, tak ada yang salah dengan apa yang ia katakan. Di sini, hanya aku yang masih menganggap ini semua adalah mimpi. Aku bahkan berharap pernikahan Bang Reizan dan Dyra batal. Dyra keguguran, terjatuh karena heels-nya tersangkut. Lalu Bang Reizan kembali padaku. Apa saja, asalkan pria yang kucintai kembali.
“Memangnya kamu mau apa kalau kita cerai?” tanya Bang Arga lagi. Kini, nada suaranya tak terdengar senang. Abang tak marah, hanya … frustasi? “Ayo kita masuk, Ay,” ujarnya kemudian. Ia melangkah lebih dulu, jalan perlahan. Sementara di belakangnya, aku berjalan sembari menunduk.
Derap kami belumlah jauh saat sepasang lampu mobil menyorot kami. Abang Arga berdiri di sampingku, merangkul pinggangku tanpa benar-benar menyentuh.
“Papa Ga,” ujarnya kemudian. “Mau duluan masuk, Ay?”
“Ngga. Bareng-bareng aja, Abang.”
Beberapa saat kemudian, pintu-pintu MPV tersebut terbuka satu persatu. Suara ceria menyapa Bang Arga. Sepupu-sepupunya menyalamnya takzim, bahkan Arna dan Arya – duo bontotnya Bang Dirga – tak segan memeluknya.
“Abang Kriwil,” sapa Kak Andien. Tangannya terulur, mengusap sayang puncak kepala Bang Arga. Aku … iri. Aku bahkan tak ingat apakah Ibu pernah berlaku sama padaku? Mengusap sayang kepalaku? “Kok pada di luar?” tanya beliau lagi.
“Ngobrol aja, Ma,” jawab Abang.
“Kak?”
Kami semua mengikuti titik pandang Bang Dirga yang baru menyapa seseorang. Tante April ada di sana, tengah melangkah mendekati kami. “Pada ke belakang tuh, bakar-bakar. Anak-anak juga lapar kali, kalian makan dulu gih.”
“Nunggu siapa lagi, Kak?” tanya Bang Dirga.
“Udah datang semua. Lyra sama Firhan juga udah di dalam,” jawab Tante April. “Sorry ya, Ndien. Jadi ngambil jatahnya Ummah Abah.”
“Ngga apa-apa, Kak. Tadinya Ummah dan Abah mau ikut, tapi udah kepalang ada janji lain.”
“Pahamlah. Emang seumuran Ummah Abah harus sibuk, biar tetap fresh badan dan pikirannya.”
“Betul.”
“Mama mau ngobrol sama Ayra sebentar. Boleh?” ujar beliau lagi, menggeser titik pandang padaku.
Ragu, mengangguk. Respon yang menerbitkan senyum beliau. Saat Bang Arga bersama Bang Dirga dan Kak Andien masuk ke dalam rumah, Tante April merangkulku. Beliau mengajakku melipir ke sebuah kursi kayu yang berada dalam sinaran lampu taman.
“Enak nih, Ay,” ujar beliau seraya meletakkan uli bakar dan tape ketan di antara kami. “Ulinya baru dibakar, tapenya bikinan Ompung. Dijamin juara.” Ompung adalah ibu dari Tante April. Bang Arga memanggil beliau demikian sebagai kata ganti Nenek. Satu-satunya orang tua Tante April yang alhamdulillah masih sehat hingga kini.
Aku mengangguk. Lalu ikut mencicip kudapan tradisional tersebut.
“Kalau di kampungnya Ayah Mama, ketannya dimasak di bambu. Kita bilangnya lomang. Makannya pakai tape ketan ini juga. Kalau lagi musim duren, pakai duren. Atau pakai rendang. Dicocol ke sirup atau gula pasir juga enak.”
“Iya, Tante.”
“Mama dong. Masa masih manggil Tante?”
Aku tersenyum, lalu mengangguk pada beliau.
“Sampai sekarang, beberapa hari sebelum lebaran, kami ke rumah Ompung. Mangalomang alias bikin lomang bareng-bareng untuk lebaran nanti. Waktu Ompung – ayah Mama – masih ada, beliau yang heboh banget nyuruh kami datang biar mangalomang di halaman belakang. Pas lihat cucu-cucunya, matanya berbinar, senang sekali. Jadi, sampai sekarang, tradisi itu kami lestarikan. Untuk mengingat beliau,” lanjut Mama lagi.
“Senang ya, Ma …” tanggapku.
“Senang apa?”
“Punya keluarga sehangat itu.”
Mama April meletakkan piring kertasnya. Beliau lalu mengulurkan kedua tangan, memelukku dari samping. Entah mengapa, air mataku luruh begitu saja. Bahkan untuk menelan uli di mulut, aku sampai kesulitan.
Entah berapa lama waktu berlalu, yang jelas Mama April diam saja. Hanya menepuk-nepuk lenganku lembut. Hingga tangisku mereda.
“Kalau Ibu … benci sama Ayra, Ma,” lirihku kemudian. Lebih terdengar seperti mengadu.
“Kenapa Ayra merasa seperti itu?”
“Ayah dihukum sepuluh tahun penjara. Waktu itu, berarti umur Ayra baru dua belas tahun. Ibu sering ninggalin Ayra di rumah. Kalau Ayra pulang sekolah, cuma ada uang di atas meja makan atau ditempel di kulkas. Nanti, Ibu pulangnya tengah malam. Paginya, Ayra ke sekolah, Ibu belum bangun. Sampai akhirnya, Ibu ngenalin Papa Tama.”
“Oke.”
“Kami pindah ke Surabaya sejak Ibu menikah sama Papa Tama, Ma.”
“Iya, Sayang.”
“Ibu bilang, Ayra boleh ngubungin Uwak. Tapi, ngga boleh ngadu. Pernah satu hari Ayra ngadu karena Dyra boleh les nyanyi, sementara Ayra ngga boleh. Ibu marah, Ayra digebukin. Papa Tama cuma ngelihatin aja. Ibu bilang, Ayra harusnya ikut Ayah. Ayra cuma jadi beban Ibu.”
“Astaghfirullah.”
“Lulus SMP, Ayra dimasukin ke SMA Negeri dekat rumah. Dyra masuk ke SMA Internasional. Ayra dan Dyra sama-sama berprestasi. Tapi, ngga pernah ada selebrasi untuk Ayra. Adanya hanya untuk Dyra.”
“Maaf, Nak. Mama boleh tau kenapa Ayra ngga kuliah?” tanya beliau lagi seraya mengusap lembut kepalaku.
Aku menatap Mama lekat. Hatiku serasa diremas. Pun merasa kecil di hadapannya.
“Ngga apa-apa kalau Ayra ngga mau cerita,” ujar beliau lagi.
“Mama malu ya karena Ayra cuma lulusan SMA?”
“Sama sekali ngga. Karena Mama lihat Ayra pintar. Suka baca. Mau belajar. Kreatif. Aneh aja kalau Ayra ngga mau kuliah seperti yang selama ini Mama dengar beritanya.”
“Ayra waktu itu dapat form dari UI, Ma. Ayra Isi, terus minta tanda tangan Ibu. Pas itu … Ibu main tanda tangan aja sambil ngobrol di telpon. Beberapa bulan kemudian, Ayra diterima,” kisahku.
“Di jurusan?”
“FK.”
“Hah?”
“Ayra senang banget. Pulang ke rumah udah ngebayangin Ibu bakalan bangga. Tapi … ternyata hari itu, pengumuman jalur prestasi juga di sekolahnya Dyra. Dyra ngga lolos. Pilihan kami sama, Ma. Dyra marah, nangis histeris, termasuk nyalahin Ayra. Katanya Ayra ngga pernah mau belajar sama dia. Ayra suka berisik dan bikin dia ngga fokus belajar. Pokoknya hal-hal ngga masuk akal, hanya nyari kambing hitam atas kegagalan dia.”
“Lalu?”
“Ibu nyeret Ayra ke kamar.”
Aku mengangkat sedikit celanaku, memperlihatkan pada beliau bekas luka cambuk di betisku.
Mama April mengangkat kedua tangannya, menutup mulutnya yang menganga. Air matanya pun turut menitik.
“Ayra ngga boleh kuliah, Ma,” ujarku seraya tersenyum, menutup lagi bekas lukaku.
“Ayra …” lirih beliau.
“Ngga cuma dibenci Ibu. Tapi, Ayra juga dibenci seantero sekolah karena menolak undangan yang datang. Konsekuensinya kan UI akan lebih selektif sama sekolah kami, bahkan ngga akan lagi ngasih undangan.”
“Ayra ….”
“Maafin Ayra ya, Ma. Maaf karena akhirnya Mama akan punya menantu yang ngga bisa dibanggakan.”