5 | Bukan Aku

1911 Words
Coba sebut mana bagian dariku yang kamu suka. Nyatanya, tidak ada. Aku, kan, bukan dia. . . "Cely mau nginap di sini?" "Cama Mami tapi, kan?" "Iya." "Mau! Mau! Tapi Mami, Cely mau pipis dulu cekalang. Antel, yuk?" Tania tersenyum, dia sudah meraih putrinya, sedangkan orang-orang selain dirinya dan Cely entah mengapa kompak membeku, apalagi pria itu. "Pa, Ma ... kamar mandi di kamar aku masih berfungsi, kan?" Cuma basa-basi agar mereka mencair. "Oh ... iya. Masih, Nak. Masih." Mama yang gesit merespons. Tania pun membawa putrinya ke dalam kamar tersebut, melewati papa. Tentunya, Mars Tatasurya Semesta. Di dalam kamar, sudah Tania tutup pintunya dan mama mengekor ke sini. Sementara Cely buang air kecil yang pintu kamar mandi di dalam kamarnya sengaja dibiarkan terbuka, mama mengajak Tania bicara. Katanya, "Mereka nggak seperti yang kamu pikirkan." Well, agak mencelus hati Tania mendengarnya. Apa setelah semua perbuatan Mars padanya, mama masih membaguskan image pria itu? Selama Tania pergi, sempatkan Mars dibenci oleh orang tuanya ini? Oh, atau mungkin salah satu dari Mars dan Kak Zinia sudah memberikan penjelasan yang berbeda dengan kenyataan yang dirasakan Tania? So, sudut bibir Tania terangkat. "Lebih tepatnya aku nggak mikir apa-apa soal mereka, sih." "Tan ...." Mama meraih lengan Tania, menatap penuh kasih dan bicara. "Kalian perlu ngobrol. Ah, bahkan kita semua. Mama rasa. Ada banyak hal yang perlu kita luruskan, Nak. Tapi tak apa, nggak sekarang." Senyum mama terlukis teduh. "Kamu banyak-banyak istirahat dulu aja. Paling penting makasih udah pulang." Mata mama berkaca, menyelipkan helai rambut Tania ke belakang telinga. Tania menggigit bagian dalam bibirnya, lalu mengangguk-angguk tenang. "Iya, pasti. Nanti kita semua ngobrol." "Mami ... Cely pup!" teriak putrinya. "Oh, ya udah. Nggak apa-apa. Pup aja yang tenang, Sayang." "Pintunya tutup, please ... nanti bau." Ya ampun! Tania terkekeh seraya menyudahi pembicaraannya dengan sang mama. Well, selepas tutup pintu, ada hal yang hampir lupa Tania katakan. Dia bilang, "Apa pun itu soal mereka, termasuk tentangku, yang pasti sekarang udah nggak sama lagi, kan, Ma? Kalaupun iya masih sama, akunya udah nggak mau. Ini aku bicara soal papa Cely." *** Mars tahu Tania akan pulang ke Indo dari berita di kontrak film barunya. Tahu bahwa akan ada akhir dari pelarian Tania dan akhir dari masa persembunyian wanita itu sehingga dapat kembali Mars lihat sosoknya. Namun, Mars tidak tahu bila secepat ini waktunya, ditambah dengan situasi yang sepertinya memiliki kesan kurang baik. "Makasih," kata Zinia. Mars melirik perempuan hamil itu yang kini beranjak selepas Tania memasuki kamar. Ya, Tania. Papa berlalu dari situ. Sejauh yang Mars jalani, beliau memang acuh tak acuh padanya semenjak Mars kedapatan telah melukai hati putri bungsu gerangan. Namun, ada tahun-tahun di mana papa Tania menerimanya walau itu dengan sangat berat hati, ketika keluarga ini pulang-pergi ke rumah sakit, bahkan saat dini hari. Mars ada andil di sini. Melibatkan diri bagi keluarga Tania. Mengingat dahulu tak ada sosok lelaki di keluarga mereka, Zinia dan suami sedang guncang-guncangnya, begitu membaik pun atas titah negara maka suami Zinia kembali bertugas. Mars rasa di situlah kesempatan untuk mendapatkan 'sudi' mereka atas dirinya, termasuk maaf dari orang tua Tania. Mars diberi peluang untuk menjelaskan, meski tak langsung diterima, tetapi setidaknya kini ... dia di sini. Bisa keluar-masuk rumah ini. Jangan tanya berapa kali Mars datang dan ditolak, diusir dan tak digubris oleh papa maupun mama Tania sebab mereka kecewa. Namun, sekarang sudah berhasil Mars lewati fase itu. Kini ... fasenya lain lagi. Mars duduk diam di sofa, lalu melihat mama menghampiri. Mars tidak langsung pergi sebab ada Tania di sini, bahkan ada anak kecil yang ... mungkinkah? Mungkinkah itu anaknya? Berapa usia pasti anak kecil yang menyebut mami kepada Tania tadi? Tiga tahunan, kan? Kurang dan lebihnya, itu waktu yang pas dari ketika Mars menemukan lima alat tes kehamilan bergaris dua di laci bufet. Yang Mars yakini itu peninggalan Tania. Mars tersenyum melihat mama Tania. Katanya, "Gimana, Ma? Ada perlu apa Mama meminta Mars datang?" Oh, benar. Jika bukan karena keinginan sendiri yang datang silaturahmi, ya, karena diminta orang tua Tania untuk hadir di sini. Kebetulan tadi mama sambil menitip s**u ibu hamil dan biskuitnya sebagaimana di pesan chat. Yang begitu sudah Mars belikan, ternyata ada chat susulan dari kontak mama. [Zinia.] Begitu katanya. Dalam arti, sang pengirim memberi tahu bahwa yang mengirim pesan dengan kontak mama adalah Zinia. Maka dari itu, Mars serahkan barang titipannya langsung kepada yang bersangkutan. Baru setelahnya, Mars melihat sosok yang memorak-porandakan gemuruh di jantungnya. Tania. Tebakan Mars, pasti pikiran Tania lari jauh dari garis edarnya, ditambah-tambah dengan kejadian masa lalu perihal Zinia. "Mama mau ngasih tau soal Tania yang udah di Indo, tadinya. Mau minta tolong carikan soalnya Tania nggak pulang ke sini ... tapi Alhamdulillah Tania udah di sini sekarang." Mama ulas senyuman. Hanya beliau yang lebih menerima Mars ketimbang papa Tania. Lebih bersahaja. Mungkin hati seorang ibu lebih mudah tergerak, meski seorang ibu juga yang merasakan sakit paling parah atas kondisi putrinya. Namun, dalam hal ini, Mars rasa itu karena mama cukup berterima kasih padanya yang sudah berjasa atas papa. Mungkin? Jadi, beliau melembutkan hatinya kepada Mars. Baru Mars hendak bicara, muncul Tania dan putri kecilnya. Mama langsung menoleh, Mars berdiri. "Ma, Tania mau nginap sama Cely. Tapi Tania pulang ke rumah sana dulu ambil keperluan Cely, jadi nanti ke sini lagi." "Tan, bawa semua aja barangmu ke sini. Tinggal di sini. Kan, di sini rumahmu. Ya, Nak, ya? Jangan nginap-nginap, tapi menetap." Tania senyum. "Sayang, sih, udah kadung beli rumah kalau nggak ditempati. Lagi pula Tania mau mandiri, Ma. Oh, ya, Cely ...." Tania merasakan sejak tadi sorot mata Mars dan Cely beradu, lalu kini mereka kompak memandangnya. Tania lanjut bilang, "Belum kenalan sama om, ya?" Om? Mars seakan merasa ada batu yang menimpuk dadanya. "Nah, Sayang ... kenalan dulu. Itu Om Mars. Barangkali nanti bakal sering ketemu kalau Cely nginap di rumah nenek. Gih, salim dulu sama Om." Ada hal yang hendak Mars katakan, tetapi nyangkut di tenggorokan. Menatap Tania dengan sorot tak terbaca, lalu alih kepada putri kecilnya. Yang dengan langkah pelan, sosok kecil tersebut menujunya, mencium tangannya. Dari sentuhan itu walau sesaat, darah Mars sukses dibuat deras mendesir, detak di jantung pun tak kalah hebatnya. Lepas itu, Tania menggendong putri mereka. Iya, kan? Putri Mars juga. Yang dikenalkan sebagai paman, alih-alih ayah. "Eh, papa mana—lho, Mama, kok, nangis?" ucap Tania. Cely sendiri diam dengan segudang ketidakpahaman. Kemudian papa muncul dan menahan Tania untuk pergi ke rumah sana, toh masih ada waktu, biarlah di sini dulu. Sambil mengambil alih Cely dan diajaknya melihat ikan di belakang. Kalau demikian, Tania pamit istirahat di kamar. Dia kunci. Persetan dengan Mars di depan. Sejak hari Tania dicerai, dia sudah merasa asing dengan gerangan. *** Rasanya masih sama. Persis seperti saat Mars menemukan kotak kecil isi test pack garis dua di laci bufet, perasaan Mars sekarang. Dan sama-sama tidak berdaya. Mars diminta hengkang oleh mama mertua. Beliau masih mertuanya, bukan? Mars meremas setir kemudi. Dengan lembut dan sopan, Mars diminta pergi. Kini ... dia ke rumah orang tua. Nyelonong ke lantai dua, masuk ke kamarnya. Kemudian rebah menutup mata dengan lengan, ada cairan panas yang mendesak dikeluarkan. Jakun Mars bergerak-gerak seiring dia menelan kelat saliva, menelan pil pahitnya. Tahu, kok. Sikap Tania dan semua-mua yang terjadi sekarang atas perbuatan di masa lalunya. Tania hanya menunjukkan sikap yang wajar, Mars saja yang tidak. Secara kurang ajar, dia menyesal. Secara tidak tahu diri, Mars ingin kembali. Kini Tania sudah dapat dilihat, ditemui, alih-alih dulu Mars kesulitan mencari, hingga tak kunjung berujung temu. Namun, Mars mendapati dirinya stuck dalam bingung ... bagaimana cara dia mendekati, sedang Tania punya dinding pembatas yang tinggi. Sangat tinggi. Bilapun didaki, kapan kiranya Mars sanggup melewati? Entah kapan pun itu, akhirnya Mars di sini. Di hari rapat para tokoh untuk bicarakan naskah film baru, dan dia duduk di sisi—mantan—istrinya itu. Tekad Mars telah bulat, setinggi apa pun dinding pembatas yang Tania buat, sekukuh apa pun batasan itu Tania pertahankan, lihat nanti ... akan Mars lintasi dengan cara apa pun sehingga dia bisa mendapatkan posisinya kembali. Posisi sebagai suami yang pernah Mars lepaskan, juga posisi ayah untuk Cely. Sekali pun ini sangat tidak tahu diri. "Sudah kumpul semua, ya? Sudah pegang naskah masing-masing? Oke, kita mulai bahasan untuk film ini." *** Sebetulnya Tania enggan, naskah film "Pengantin Best Seller" isinya terlalu berani. Ada cium di bibir, leher, hingga adegan ranjang. Dengan Mars? Tania tidak sudi. Demi apa pun. Namun, berita soal karakter film yang diangkat dari novell itu sudah rilis. Terpampang wajah Tania dan Mars bersisian. Belum lagi soal berita 'kembalinya seorang Tania Maira Daneswara untuk mengisi layar lebar' terserak di media sosial dan artikel digital. Bahkan Tania mendapat undangan dari acara gosip hangat artis sebagai bintang tamu, Tania sudah tahu hendak membicarakan apa di serial itu. Lintas jejak Tania di dunia entertaint saat dirinya tinggalkan memang masih terbilang baru, tetapi karakter Tania sedang disuka-sukainya oleh penikmat tontonan. Membuat mereka merasa patah hati dan kehilangan, hingga saat dikabarkan Tania kembali akan mengisi dunia hiburan, laksana Marshanda ... begitulah Tania dinantikan kemunculannya. Tania baca isi naskah itu lagi dengan saksama, lalu dia gumamkan dialognya. Di rumah sudah coba-coba latihan. Namun, saat di depan Mars sekarang ... bagaimana bisa Tania luwes berekspresi sebagai 'Marlena Utama', tokoh di dalam dramanya? Astaga. Kenapa harus komedi romantis, sih?! Memangnya kondisi Tania di kenyataan bisa 'sekomedi' itu bila menghadapi Mars? Melihat wajahnya saja Tania ogah, ini harus memandang Mars dengan sorot memuja? Tatapan cewek kasmaran, tatapan jatuh cinta, hingga semu-semu merah jambu di pipinya. Gila. Tania mau muntah malah. Sementara itu, Mars mencuri-curi pandang. Kening Tania mengernyit terlalu dalam. Apa sulit dimengerti isi naskahnya? Mars berdeham. Tania melirik. "Mau coba berlatih?" Begitu saja Mars katakan. "Dialognya." Mengingat yang lain sudah berisik mencoba-coba ekspresi dan dialog di dalam naskah ini. "Nggak perlu," tukasnya. Mars gatal ingin bicara lagi, sebetulnya bukan soal naskah film ini, melainkan tentang mereka. Tentang Mars dan Tania Maira Daneswara. Maka dari itu, saat Tania pergi ke toilet, Mars mencegatnya di sini. Sekeluarnya Tania dari kamar kecil tersebut. "Kita perlu bicara." Mars tegas berseloroh. "Oh, iya." Santai repons Tania, menarik tangan yang dicekal oleh Mars, saat Tania tiba-tiba ditarik masuk ke dalam sebuah ruang sepi isi mereka berdua. Dia lanjut berkata, "Khususnya soal surat cerai yang belum sempat aku tanda tangani dulu, sepertinya biar aku ajukan gugatan ulang saja nanti." Menatap Mars tepat di mata. Pun, Mars memandangnya dengan sorot tak terdefinisi. Tania tidak takut. Tidak gemetar. Sama sekali tak gentar. Lihat! Tania baik-baik saja. Walau gemuruh di d**a membakar emosi terpendamnya. Teringat ragam kejadian di masa lalu, empat tahun yang sudah Tania lewati, tentang betapa Mars tidak mencintainya. Sama sekali. Tania tidak lupa, tidak pernah lupa ... nama siapa yang disebut dalam setiap desah klimaksnya. Bukan Tania, bahkan secara jelas Tania dengar sendiri perihal isi hati Mars kepada wanita di balik nama Nia itu. Jadi, atas dasar apa Mars bilang, "Nggak ada cerai." Mars menahan langkah Tania. "Dan kamu masih istriku, Tania." Padahal dulu ... coba sebut mana bagian dariku yang kamu suka? Nyatanya, tidak ada. Aku, kan, bukan dia. Sekali pun itu tubuhku yang dijamah, tetapi dalam bayangmu bukan aku. Si berengsekk ini, kok, lucu, ya? Sudut bibir Tania terangkat satu, lalu geleng-geleng kepala. "Bisa saja kamu," tukasnya. Lanjut melangkah meninggalkan Mars di sana. Oh, ya ampun. Sungguh, ada-ada saja lelaki itu. "Cely ...." d**a Mars bergemuruh kencang. Tania masih di depan pintu yang hendak ditarik handelnya andai tidak terjeda oleh celetukan Mars atas nama sang putri. "Dia anakku, kan, Tan?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD