01 - Jahilnya Victoria - √

1800 Words
  "Brian!" Teriak Pauline menggelegar.   "Uhuk... Uhuk... Uhuk...." Brian yang sedang minum sontak tersedak begitu mendengar teriakan membaha Pauline, sang Mommy.   Brian tentu saja terkejut, siapa yang tidak akan terkejut saat ada orang yang tiba-tiba berteriak tepat di telinga kanannya?   Brian menoleh, menatap Pauline dengan raut wajah kecut. "Mom, jangan teriak-teriak di telinga Brian, nanti kalau gendang telinga Brian pecah, bagaimana?" tanyanya merajuk.   "Makanya kalau Mommy lagi berbicara itu di dengar, jangan malah melamun." Pauline menyahut dengan  penuh emosi membara, jangan lupakan sorot matanya yang tajam, setajam elang.   Brian menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. "Iya, maaf ya Mommy. Hari ini Brian lagi enggak fokus karena pekerjaan Brian di kantor menumpuk, itu membuat konsentrasi Brian sedikit buyar."   "Jadi, kapan kamu mau menikah?" Pauline kembali mengulang pertanyaan yang sejak tadi belum Brian jawab.   "Nanti ya Mom, sekarang Brian sedang fokus sama urusan kantor dulu," jawab Brian sok bijak.   Pauline mendengus begitu mendengar jawaban Brian. Tangan kanan Pauline terangkat, menoyor kepala Brian. "Jangan sok bijak, kata-kata kamu sama kelakuan kamu sama sekali enggak sinkron. Jangan kamu pikir Mommy enggak tahu tentang apa yang kamu lakukan di luar sana, Brian. Ingat Brian, kamu punya adik perempuan jadi jangan suka mempermainkan perempuan, kalau kamu tidak mau hal itu juga menimpa adik kamu sendiri." Tanpa menunggu jawaban Brian, Pauline bergegas pergi meninggalkan Brian yang kini diam termenung, mencoba mencerna semua ucapan Pauline.   Brian menatap kepergian Pauline dengan rasa bersalah yang kini bercokol dalam relung hatinya. Brian tahu ia salah karena sudah mempermainkan banyak sekali perasaan perempuan di luar sana. Dan bodohnya, kenapa ia sama sekali tidak mengingat adiknya saat ia mempermainkan banyak sekali perasaan para perempuan tersebut.   "Sial!" Brian mengumpat seraya meremas rambutnya dengan kuat. Brian berlalu dari dapur, lalu menaiki tangga menuju kamar adiknya dengan langkah tergesa-gesa. Padahal ada lift, tapi Brian memilih untuk menaiki tangga.   "Tok... Tok... Tok...." Brian mengetuk pintu kamar Victoria Athasyia Jhonson, adiknya dengan sangat kuat.   Victoria yang sedang membaca n****+ mendengus begitu mendengar ketukan di pintu kamarnya, lebih tepatnya gedoran bukan lagi ketukan.   "Siapa?" teriak Victoria tanpa mau beranjak dari tempat tidur. Ia baru saja bisa bersantai dan berniat membaca n****+ kesukaannya, tapi kenapa gangguan malah datang?   "Ini Kakak, tolong buka pintunya!" Brian balas berteriak dan terus menggendor pintu kamar adiknya dengan tidak sabaran.   "Iya sebentar!" Mau tak mau Victoria beranjak menuruni tempat tidur, karena jika ia menolak membuka pintu kamarnya, pasti Brian akan tetap mengetuk pintu kamarnya sampai ia mau membukakannya.   Victoria membuka kunci kamarnya dan Brian langsung mendorong pintu kamar Victoria dengan kuat, seolah takut kalau Victoria kembali mengunci pintu kamarnya.   Victoria mendengus lalu mengikuti langkah kaki Brian yang kini duduk di sofa kamarnya dengan raut wajah yang sama sekali tidak bersahabat.   Victoria memutuskan untuk duduk tepat di hadapan Brain, mengamati raut wajah Brian dengan seksama.   "Kakak kenapa?" Melihat raut wajah Brian yang sedih dan tampak murung membuat Victoria bingung. Pasalnya ini kali pertama kali ia melihat raut wajah kecut Brian setelah sekian lama tidak melihatnya.   "Kira-kira apa penyebab raut wajah Brian berubah sedih dan tampak murung?" Itulah salah satu pertanyaan yang kini bercokol dalam benaknya.   "Kamu mau ke mana hari ini? Biar Kakak yang antar." Bukannya menjawab pertanyaan Victoria, Brian malah nalik bertanya.   "Kakak kenapa sih?" tanya Victoria dengan kedua tangan bersedekap. Sekarang Victoria benar-benar bingung karena tidak biasanya Brian mau mengantarnya pergi jika tidak ia paksa, tapi kini Brian malah dengan suka rela bertanya dan berniat mengantarnya pergi.   Aneh, benar-benar aneh. Tidak biasanya Brian bersikap seperti ini padanya. Sebenarnya apa yang terjadi?   "Mommy marah sama Kakak," jawab Brian lirih, nyaris tak terdengar, tapi Victoria masih bisa mendengarnya dengan jelas.   Victoria mengangguk, paham. "Lalu?" tanyanya penasaran.   Brian menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. "Mommy marah karena Kakak banyak mempermainkan perasaan perempuan di luar sana," jawabnya lirih di iringi helaan nafas berat.   "Maksud Kakak, Kakak pernah melakukan sexs dengan perempuan-perempuan itu?" Victoria mencoba memperjelas.   Brian menggangguk. "Pernah, tapi hanya b******u, lebih tepatnya berciuman," jawabnya setengah meringis, merasa malu.   Victoria menaikkan sebelah alisnya, menatap Brian dengan tatapan menelisik. "Kakak yakin?" tanyanya sangsi.   "Tentu saja yakin," jawab Brian sungguh-sungguh. "Kamu tahukan bagaimama sifat Daddy, Kakak bisa mati kalau sampai Kakak lepas kendali."   Victoria mengangguk, setuju dengan apa yang Brian katakan. Williams memang sangat kejam, bukan hanya Brian tapi juga padanya. Bahkan Williams selalu menempatkan bodyguard untuknya dan juga Brian, itu di lakukan agar dirinya dan Brian tidak melakukan kesalahan yang bisa mencoreng nama baik keluarga besar mereka dan itu memang terbukti ampuh.   "Terus apa hubungannya sama Athasyia?"   "Mommy takut kalau apa yang Kakak lakukan pada perempuan-perempuan di luar sana akan berdampak pada kamu."   "Maksudnya?"   Brian berdecak, kesal karena Victoria tidak mengerti maksud ucapannya. "Mommy takut kalau karma atas perbuatan Kakak akan menimpa kamu."   Victoria mengangguk, paham dengan penjelasan yang baru saja Brian katakan. "Kenapa Kakak enggak minta maaf secara langsung sama perempuan-perempuan yang dulu Kakak permainankan perasaanya?"   "Caranya?"   Victoria menepuk keningnya tak habis pikir dengan Brian. Victoria akui, Brian memang hebat dalam mengelola bisnis tapi bodoh dalam masalah percintaan.   "Bagaimana kalau Kakak memberi mereka hadiah sebagai permintaan maaf," saran Victoria pada akhirnya.   "Hadiah, contohnya hadiah apa?" tanya Brian bingung.   Victoria berdeham, sepertinya ia akan sedikit menjahili Brian. "Bagaimana kalau Kakak mengirim sebuket bunga mawar merah, cokelat, dan secarik kertas yang berisi ucapan maaf pada mereka."   "Apa itu ampuh?"   Tanpa ragu, Victoria mengangguk. "Tentu saja, Kakak tahu kan alamat mereka?"   "Hansel tahu tempat kerja mereka."   "Ok, itu tidak masalah."   "Pesannya bagaimana?"   "Sini ponselnya, biar Athasyia yang ketik." Tanpa rasa curiga, Brian memberikan ponselnya pada Victoria dan Victoria langsung mengetikkan pesan, tanpa meminta saran dari Brian, Victoria mengirimkan pesan yang ia ketik pada Hansel, orang kepercayaan Brian.   "Brian, ini ada Duke!" Itu teriakan membaha Pauline.   "Ya sudah, Kakak tinggal ya." Brian akhirnya mempercayakan semua urusan itu pada adiknya, biar saja semua masalah itu di urus oleh adiknya.   "Iya, nanti kalau sudah selesai Athasyia turun ke bawah."    Brian mengangguk lalu meninggalkan Victoria sendiri di kamarnya.   Ting...   Ponsel Brian berdering sebagai tanda kalau ada pesan yang masuk dan itu dari Hansel. Victoria terkikik geli begitu membaca chat Hansel, jelas saja Hansel tidak tahu kalau kini yang memegang ponsel Brian adalah dirinya.   "Tuan, apa Anda yakin ingin mengirimkan pesan tersebut pada perempuan-perempuan yang dulu Anda kencani?"   Victoria semakin terkikik geli melihat chat yang Hansel kirimkan, ia segera mengirim pesan balasan pada Hansel.    'Tentu saja yakin. Jangan membantah dan lakukan dengan cepat."   Tak berselang lama pesan dari Hansel masuk.   "Baik Tuan, akan segera saya kirimkan sesuai pesanan yang Anda minta."   1 jam berlalu dan saat Victoria menuruni anak tangga, ia masih melihat Brian dan Duke yang sedang asyik mengobrol.    "Sudah?" tanya Brian saat melihat Victoria menaruh ponselnya di meja.    "Sudah Kak," sahut Victoria dan setelah menyapa Duke, Victoria kembali memasuki kamarnya, meninggalkan Brian dan Duke.   Victoria tentu saja mengenal Duke, siapa yang tak kenal Duke, CEO yang sekaligus seorang Dokter. Duke itu terkenal, pamornya tak kalah dengan para artis yang sering muncul di layar televisi.   "Habis ngapain?" tanya Duke kepo.   "Mengirim pesan pada para mantan," sahut Brian santai.    "Makanya jangan jadi playboy," ujar Duke seraya meninju perut Brian.   "Khilaf Duke," sahut Brian dengan raut wajah kecut.   "Jadi, apa yang loe lakuin sama wanita-wanita itu?"   "Mengirim buket bunga mawar merah, cokelat dan surat sebagai tanda permintaan maaf," jawab Brian santai.   Byur...   Kopi yang baru saja Duke minum langsung menyembur keluar begitu mendengar jawaban Brian.   "Uhuk... Uhuk... Uhuk...." Duke tentu saja tersedak dan sebagai sahabat yang baik serta penuh perhatian, Brian langsung memberi Duke segelas air mineral yang Duke tenggak sampai habis tak tersisa.   "Are you crazy!" Teriak Duke menggelar, telinga Brian bahkan sampai berdengung karena Duke berteriak tepat di telinga kirinya.   Astaga, tadi Pauline yang berteriak tepat di telinga kanannya, sekarang Duke yang berteriak tepat di telinga kirinya, lengkap sudah penderitaannya.   "Jangan teriak-teriak dong!" ujar Brian seraya menoyor kepala Duke, Brian kesal benar-benar kesal, kenapa orang-orang yang berada di dekatnya senang sekali berteriak.   Lagipula apa yang salah? Apa ada yang salah dengan apa yang ia lakukan? Ia hanya mengirim buket bunga mawar merah di lengkapi dengan beraneka ragam cokelat dan juga surat yang berisi ucapan maaf darinya, di sertai emot love dan juga tanda tangan yang ia bubuhkan di paling bawah.   "Dasar bodoh, bodoh." Kali ini giliran Duke yang menoyor kepala Brian seraya menginjak kaki kiri Brian, membuat Brian memekik kesakitan karenanya.   "Kaki gue jangan di injak anjir!" umpat Brian seraya mengusap kaki kanannya yang baru saja di injak Duke. Astaga! Rasanya sangat sakit sekali.   "Mereka bisa salah paham bodoh!" umpat Duke. Duke sama sekali tidak peduli dengan kesakitan yang Brian rasakan.   Kening Brian berkerut bingung, ia masih belum bisa mencerna dengan baik ucapan Duke. "Gue enggak paham, memang apa salahnya mengirim mereka sebuket bunga mawar merah, cokelat dan juga secarik kertas sebagia permintaan maaf?"   "Siapa sih yang ngasih ide itu?" Duke benar-benar penasaran, kira-kira siapa orang yang sudah memberi nasehat tersebut pada Brian karena Duke yakin kalau itu bukanlah ide murni dari Brian sendiri?   "Athasyia," jawab Brian santai.   "Coba loa cek hp loe." Tanpa banyak tanya, Brian langsung membuka ponselnya.   Raut wajah Brian seketika berubah pucat pasi begitu membaca riwayat chat di ponselnya dengan Hansel. Tentu saja yang melakukan chat tersebut bukan dirinya melainkan Victoria, adiknya.   Astaga! Apa ia baru saja di tipu oleh Victoria? Astaga! Ia memang benar-benar di tipu oleh adiknya. Pesan yang Victoria kirimkan pada Hansel adalah pesan cinta bukan permintaan maaf, pantas saja Hansel sempat ragu karena Hansel tahu benar kalau dirinya pasti tidak akan melakukan hal itu, tapi pasti Hansel juga tidak bisa menolaknya karena Hansel tidak tahu kalau ternyata yang mengirim pesan itu bukan dirinya tapi adiknya.   Drtt...   Drtt...   Drtt...   Brian menatap horor ponselnya yang terus bergetar dan sekilas ia bisa melihat siapa saja orang yang baru mengirimi pesan padanya dan Brian yakin kalau mereka adalah mantan-mantan teman kencannya. Dengan tangan bergetar, Brian kembali meraih ponselnya dan membuka salah satu pesan yang baru masuk.   Duke sontak tertawa terpingkal-pingkal begitu selesai membaca pesan yang baru saja Brian buka. Well, pesan tersebut berisi tentang ajakan kencan dan bukan hanya satu pesan tapi hampir semua pesan yang masuk adalah ajakan kencan.   "Athasyia!" Teriak Brian menggelegar.   Ini namanya bukan menyelesaikan masalah tapi menimbulkan masalah baru. Astaga! Sekarang Brian menyesal karena sudah mengikuti saran dari Victoria.   Sementara Victoria yang berada di kamar sontak tertawa terpingkal-pingkal begitu mendengar teriakan membaha Brian yang penuh kekesalan dan amarah.   Brian menaiki tangga menuju kamar adiknya dengan langkah tergesa-gesa. Brian mencoba membuka pintu kamar Victoria tapi seperti yang ia duga sebelumnya, ternyata Victoria sudah terlebih dahulu mengunci pintu kamarnya dan itu membuat Brian kesal.   "Athasyia buka pintunya!" Teriak membaha Brian seraya menggedor pintu kamar Victoria dengan tidak sabaran. Brian ingin sekali mendobrak pintu kamar adiknya, tapi itu tidak mungkin karena pintu di hadapannya ini sangat kokoh, jadi ia tidak mungkin mendobraknya.   Tak jauh berbeda dengan Victoria yang terus tertawa, Duke juga terus tertawa dan ia memilih pamit undur diri, meninggalkan Brian yang saat ini terus berteriak memanggil Victoria.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD