“Jangan tersenyum kepadaku kalau pada kenyataannya, kamu menolak cintaku!”
Episode 16 : Lamaran
“Bagaimana?” tanya Rafael memecahkan keheningan dikarenakan Sunny justru diam, membuatnya menunggu lebih dari lima menit.
Rafael memastikan waktu melalui arloji yang menghiasi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan Sunny tak kunjung menatapnya, masih menunduk dan hanya sesekali menghela napas pelan.
“Apakah kamu mau menikah denganku?” Sekali lagi Rafael tekankan. Baginya tidak ada alasan yang pantas membuat wanita cantik di hadapannya menolak lamarannya.
Sunny berdeham kemudian menggeleng.
Tiba-tiba saja hati Rafael seolah berlobang. Ada bagian yang kurang dan itu karena hilang. “Berarti, kamu lebih memilih mengundurkan diri?” ujarnya tidak percaya.
Rafael masih bergaya tenang, menatap Sunny nyaris tak berkedip. Ketika Sunny kembali berdeham, ia menyibakkan sebelah jas hitamnya. Namun sebelum wanita berwajah oriental itu berkata, ia lebih dulu berkata, “katakan padaku, kenapa kamu menolak lamaranku?”
Sunny kembali menutup mulutnya padahal awalnya ia akan menjawab perihal pertanyaan mengundurkan diri.
“Kamu belum menikah. Dan kita sama-sama belum menikah,” ucap Rafael.
Lagi-lagi Rafael kembali menjawab pertanyaannya sendiri. Hal yang membuat Sunny semakin tidak nyaman. Selain tidak sabaran, baginya, Rafael juga cerewet.
“Aku sudah punya calon,” ujar Sunny tanpa menatap Rafael.
“Oh, ya ...?” balas Rafael pura-pura terkejut. “Balasanmu membuatku sangat terkejut.” Ia sengaja tertsenyum. Senyum getir atas rasa kecewa yang perlahan mulai hadir. Pertama kali dalam hidupnya ia menyatakan cinta, dan pertama kalinya juga ia ditolak karena cinta. Bahkan biasanya, para wanitalah yang menyatakan cinta padanya. Namun kenapa sekarang ia justru mendapatkan penolakan?
Sunny yakin Rafael hanya sedang mempermainkannya. “Apakah semua karyawan wanita Anda, juga diperlakukan seperti ini?” gumamnya sambil menatap sebal pria di hadapannya.
Rafael menghela napas dalam dan berakhir dengan mendesah. Ia memainkan rahangnya yang sedikit ia buka, ke kiri dan ke kanan. Tak lama kemudian ia mengibaskan kedua sisi jasnya sesaat sebelum bertolak pinggang. Apa yang Sunny lakukan padanya, dengan adanya penolakan dari wanita yang langsung membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama, justru membuatnya semakin tertantang. Di matanya, Sunny jadi semakin istimewa.
Kendati kali ini Rafael tersenyum, tetapi Sunny paham pria itu mulai terpancing emosi akibat balasan yang ia berikan. Seorang seperti Rafael sangat membenci penolakan. Dan sepertinya ia sudah memasuki zona tidak aman akibat penolakan yang ia lakukan.
“Seperti apa pria itu? Aku ingin bertemu dengannya.”
“Dia sedang tidak di Indonesia.”
“Wah ... di mana, dia?” Rafael tersenyum sarkastis. Ada, pria yang lebih baik dariku?—ujarnya tak habis pikir. Dan akan semakin tidak habis pikir jika Sunny tetap menolaknya.
“Dia sedang belajar di luar negeri.”
“Belajar di luar negeri?”
Sunny tidak menjawab. Ia hanya menghela napas pelan tanpa menatap Rafael.
“Kalau dia belajar di luar negeri, aku sudah lulus dari luar negeri. Begini-begini aku lulusan luar negeri. Aku bahkan sudah memiliki banyak hotel.” Rafael menatap Sunny lebih serius. Aku lebih baik dari calonmu bahkan pria manapun!
Sunny sudah tidak tahan. Kali ini ia menatap tajam Rafael tanpa memikirkan status mereka. “Saya dan dia juga kehidupan kami sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Pak Rafael. Kalaupun Pak Rafael memang mengharapkan pengunduran diri dari saya, baiklah. Mulai sekarang juga saya mengundurkan diri. Aneh saja pekerjaan kok seperti ini?”
“....”
“Satu lagi, seberapa pun lebih Pak Rafael dari calon saya, tidak ada sangkut-pautnya. Toh, saya yang akan menikah dengan dia. Apa jangan-jangan Pak Rafael juga ingin menikah dengan calon suami saya?”
Kalimat terakhir Sunny langsung membuat Rafael terkejut antara geli dan kesal. Ia bahkan sampai menghela napas beberapa kali demi menghalau rasa kesal yang berhasil Sunny ciptakan. Sedangkan Sunny justru melenggang meninggalkannya. Namun ketika di ambang pintu ruang keberadaan mereka, wanita itu tiba-tiba berhenti kemudian balik badan dan menatapnya.
“Apa lagi?” tanya Rafael terdengar dingin karena masih kesal.
“Saya hanya ingin mengatakan semoga Anda cepat mendapatkan wanita yang mau menjadi istri Anda!”
Semakin jengkel, Rafael mengangguk-angguk sambil berkata. “Ya, terima kasih untuk doanya. Tentunya dia jauh lebih baik darimu.” Seulas senyum ia suguhkan dan sengaja pamer.
Seulas senyum juga menghiasi wajah Sunny. Dan ketika wanita itu tersenyum, bagi Rafael Sunny jadi makin cantik. “Jangan tersenyum kepadaku, kalau pada kenyataannya kamu menolak cintaku!” rutuknya dalam hati.
“Semoga ada yang mau.” Sunny sengaja melebarkan senyumnya kemudian berlalu.
“A-apa ...? Tadi dia bilang apa? Semoga ada yang mau? Dia pikir, aku ini mahluk buruk rupa yang tidak memiliki masa depan? Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu!” rutuk Rafael tak percaya. Belum pernah ada yang berani menolak bahkan sampai menghinanya kecuali Sunny.
Meski berada di ruangan ber-Ac, tiba-tiba saja Rafael merasa suhu ruangan keberadaannya menjadi sangat panas. Hal tersebut pula yang membuatnya mendadak sibuk menggunakan kedua tangannya untuk mengipas-ngipas di depan wajah dan lehernya sesaat sampai melonggarkan lilitan dasi di lehernya. Namun tiba-tiba saja ia ingat dengan apa yang akan Sunny lakukan. Wanita itu mengundurkan diri dan kemungkinan terburuknya, mereka tidak akan bertemu lagi.
Rafael bergegas memastikannya dengan langkah tergesa. Benar saja Sunny sedang berkemas dan benar-benar akan meninggalkannya.
“Apa yang sedang kamu lakukan?” Rafael tidak bisa menyembunyikan rasa gugup sekaligus bingungnya. Sebab, pengunduran diri yang ia minta sama sekali tidak serius. Ia hanya menggertak tanpa berharap Sunny benar-benar pergi meninggalkan hotel apalagi meninggalkannya.
“Anda lihat sendiri apa yang sedang saya lakukan.” Sunny tak acuh. Beruntung ia tidak memiliki banyak barang di ruangannya kecuali beberapa arsip penting yang langsung ia masukan ke dalam tote bag-nya.
“Oh ... ya ... ya! Jangan sampai ada yang tertinggal karena aku tidak mau kamu kembali dan sengaja berpura-pura mengambilnya padahal kamu menyesal ingin bersamaku!”
Tepat setelah Rafael diam, Sunny berhasil menarik tuntas ritsleting tote bag-nya. Rahang Sunny mengeras, ia menenteng tote bag cokelat miliknya tersebut kemudian balik badan. “Apakah Anda benar-benar mencintaiku? Aku tahu Anda sangat mencintaiku karena aku sudah terbiasa mendapatkan perlakuan seperti ini!”
“Si-siapa yang mencintaimu? Aku hanya mengetesmu!” Rafael pura-pura tersenyum. Apa yang Sunny lakukan membuat harga dirinya terbanting. Ia bahkan menjadi gengsi jika harus membahas perasaannya berikut lamaran yang justru ditolak.
Sunny menggeleng tak habis pikir kemudian menepis tatapan Rafael. Baginya, berurusan dengan Rafael cukup sampai detik itu saja walau setelahnya, dengan kata lain ia akan menjadi pengangguran.
“Jangan lupa transfer gajiku!” Setelah mengatakan itu, Sunny segera berlalu. Membiarkan Rafael yang seketika membisu.
Ketiga pelayan yang masih terjaga di depan ruang kerja Sunny menatap kepergian Sunny dengan penuh tanya. Apalagi tak lama setelah itu, Rafael juga keluar dengan setengah berlari dan terlihat sangat buru-buru.
Ketika Rafael sibuk mencari-cari di depan pintu masuk hotel, diam-diam Sunny mengintip dari balik tembok taman hotel tak jauh dari keberadaan pria itu.
“Sepertinya otak pria itu memang bermasalah. Sudahlah. Apa yang terjadi bisa mengganggu kosentrasi Kean kalau dia sampai tahu.” Sunny berlalu tanpa mau berurusan lagi dengan Rafael.
Ketika Sunny sudah pergi menggunakan sebuah taksi yang kebetulan lewat, di waktu yang sama Rafael melihatnya. Pria itu kocar-kacir mengejar selain merasa kecolongan.
“S-sunny berhenti!”
Sunny melihat Rafael mengejarnya. Tetapi ia membiarkannya karena merasa sudah tidak ada urusan lagi dengan pria itu. Kalaupun Rafael tetap mengejar, Sunny jauh lebih senang agar pria itu kelelahan dan merasakan sakitnya berusaha. Setidaknya, melihat Rafael sampai kewalahan mengejarnya layaknya sekarang, membuat suasana hatinya membaik.
***