bc

All Out of Love 2

book_age18+
659
FOLLOW
6.0K
READ
love after marriage
arrogant
dominant
badboy
goodgirl
drama
tragedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Bagi Barra, mencintai Killa itu seperti bernapas yang setiap detiknya selalu dihela. Killa sudah menjadi candunya, bahkan termasuk ke dalam salah satu hal vital yang terjadi dalam hidupnya.

Sedangkan bagi Killa, sosok Barra tak lain adalah sosok jelmaan malaikat yang nyaris menjadi yang paling sempurna di matanya. Meskipun sebenarnya, wujud kata yang paling sempurna itu hanya milik Sang Pencipta.

Ketika Tuhan memberi mereka keluarga kecil yang lengkap; suami, istri, dan anak. Mereka pikir, happy ever after sudah tercapai dalam kamus hidupnya. Namun, itu salah.

Bencana lain hadir di tengah-tengah keharmonisan yang ada, bukan sebab orang ketiga, bukan karena munculnya peran antagonis dalam hidup, juga bukan tentang perselingkuhan. Ini lebih pelik. Sebab melibatkan hati, perasaan.

Titik awalnya sederhana, hanya karena salah paham, egois, gengsi, kurangnya waktu kebersamaan mampu menyebabkan bencana kecil menjadi jurang pemisah yang dalam. Mereka lupa bahwa cinta saja tidak cukup kuat untuk menghindari sebuah perpisahan dan kehilangan. Di dalam cinta harus ada rasa saling percaya, rasa menghormati, rasa peduli, rasa kasih sayang, rasa khawatir, rasa nyaman, rasa saling memiliki, rasa ingin menjaga dan melindungi, serta banyak rasa lain yang tidak bisa didefinisikan secara pasti. Semua itu lantas berbaur menjadi satu, menyatu. Menjadi satu kekuatan utuh untuk melawan sebuah perpisahan dan kehilangan, juga meruntuhkan titik jenuh kala hubungan terasa sangat membosankan.

Bisakah Barra dan Killa bertahan hanya dengan modal cinta?

Inilah perjuangannya.

chap-preview
Free preview
•Awalan + Sempurna•
Mereka lupa bahwa cinta saja tidak cukup kuat untuk menghindari sebuah perpisahan dan kehilangan. •••••••••••••• Sempurna "Bagiku, sempurna itu saat ada aku, kamu, dan anak-anak kita. Itu kesempurnaan yang tak terbatas." -Barrabas Mahesa- °°°°°°°°°° Barra dan Killa merasa kehidupannya sangat bahagia, sungguh. Mereka mempunyai pasangan, anak, dan orang tua. Meskipun bukan orang tua kandung, Killa menyayangi orang tua Barra selayaknya orang tuanya sendiri. Hidup mereka benar-benar sempurna. Barra tidak tahu kelakuan baik mana yang membuat dia mendapatkan semua itu dari Tuhan. Barra bersyukur, amat bersyukur. Setiap harinya Barra mencoba melakukan hal baik, seperti apa yang Killa katakan. Barra sayang sekali pada Killa. Sayang juga kepada anak-anaknya. Dua tahun yang lalu, Barra tidak pernah berpikiran akan mempunyai anak lebih dari satu, seperti sekarang ini. Tuhan memang Maha Baik. Barra langsung diberi tiga anak sekaligus dalam waktu satu tahun. Mau tidak mau, kehidupan Barra berubah pelan-pelan ke arah yang lebih baik. Apalagi, setelah Barra mepunyai anak perempuan. Jujur, Barra takut anaknya nanti saat tumbuh dewasa akan bertemu dengan laki-laki berengsek seperti dirinya. Barra tidak mau. Makanya, Barra tobat. Entah, bisa dikatakan tobat atau belum. Yang jelas, perilaku negatif Barra dari hari ke hari semakin berkurang. Kata Killa, ada kepercayaan oleh beberapa orang entah itu hanya mitos atau bukan, kalau punya anak perempuan biasanya ayahnya bandel atau nakal, suka genit sama cewek. Oke, Barra tidak akan mengelak di kalimat terakhir itu. Sumpah, setiap kali Killa mengatakan hal seperti itu, Barra merinding. Tidak rela. Dan menyesal. "Barr, mikirin apa, sih?" Killa berjalan mendekat ke tempat di mana Barra duduk di kursi dapur. Perempuan itu akhirnya memilih duduk di samping Barra, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Rere sama Al baru aja tidur." Ya, anak mereka kembar. Laki-laki dan perempuan. PEREMPUAN! Barra masih tidak menyangka. "Kasihan Heksa deh, Barr. Sekolahnya jauh." Tangan Killa seraya mengusap lembut bahu Barra. Kalau Killa sudah mulai mengusap-usap bahu Barra, pasti ada maunya. "Emang rumah yang lagi dibangun itu masih lama, ya, jadinya?" Barra sedang membangun rumah sejak satu tahun yang lalu. Bangunnya sengaja pelan-pelan. Rumahnya 3x lipat lebih besar dari yang mereka tinggali sekarang ini. Untuk apa? Untuk rumah anak-anak mereka nanti. Lagipula, itu rumah juga murni hasil kerja keras Barra. Tanpa ada bantuan dari Atta. Ya, Barra sedang mengurangi kebiasaan apa-apa minta uang orang tua. Barra mau belajar mandiri. Menafkahi istri dan anaknya hasil dari keringat sendiri. Usapan Killa perlahan berubah jadi pijat-pijat kecil di sekitar bahu Barra. "Rumahnya jadi paling tiga bulan lagi," ucap Barra sambil menikmati pijatan Killa. Barra capek, jujur saja ia baru pulang dari meeting dengan klien di Singapura dua jam yang lalu. Bisa dibilang Barra baru istirahat minggu ini setelah banyaknya jadwal kerjaan. "Paling cepet rumahnya bakal jadi dua bulan lagi." "Gimana kalau kita lihat rumahnya sekarang, Barr?" Killa ingin melihat perkembangan pembangunan rumah mereka. "Jauh, Killa." Apa Killa tidak mengerti kalau Barra sedang amat capek sekarang ini? Suami baru pulang kerja, astaga. Killa mengecup pipi Barra. Oke, cuma kecupan biasa yang sudah cukup untuk membuat Barra ingin lebih dari itu. "Mandi, gih. Bentar lagi Heksa sama Papa dateng." Sebelum Barra beranjak dari tempat duduk, menarik pinggang Killa agar lebih dekat dengan dirinya. Lalu Barra melakuin apa pun yang ingin ia lakukan pada Killa. Bibirnya itu selalu menggoda, menurut Barra. Paling tidak bisa menahan untuk tidak mencium Killa. Itu sulit. Apalagi, sewaktu bibir mereka sudah saling melumat satu sama lain seperti saat ini. Barra tidak ingin mengakhirinya sama sekali. Tangan mungil Killa yang akan tetap selalu mungil bagi Barra mulai meremas rambut hitam laki-laki itu saat ciuman mereka semakin dalam dan... panas. "Udah, ah." Killa menjauhkan wajahnya yang memerah. "Mandi dulu sana." "Nanti dilanjut, ya?" seringai di bibir Barra makin lebar. "Apaan, sih. Udah punya anak tiga juga masih aja mesum." Barra melihat pipi Killa memerah. Killa selalu seperti itu, meskipun sudah ribuan kali mereka saling berciuman bahkan melakuin hal yang lebih dari itu. Killa tetap seperti baru pertama kali disentuh oleh Barra. Dan Barra suka respons malu-malu dari Killa, seakan dirinya selalu menjadi yang pertama di hidupnya. "Pokoknya nanti dilanjut. Titik." Barra bangkit berdiri, berniat mau mandi. "Papa! Mama! Heksa pulang." Nah, baru selangkah Barra akan ke kamar mandi anak pertama mereka sudah pulang. Diikuti Atta dan Vei di belakangnya. Ya, mereka baru pulang jalan-jalan dari mall. Dari belanjaan bawaannya, sepertinya mereka baru selesai merampok di sana. Semua dibeli. "Salam dulu, Kak." Killa menyambut kedatangan anak pertama mereka itu lalu menyalami tangan papa dan mama mertuanya secara bergantian. Barra juga ikut menyalami. Heksa ribut dengan mainan mobil-mobilan barunya. Semua dibongkar di tempat. "Pa, mainannya Heksa 'kan udah ada banyak." Barra tidak suka kalau anaknya terlalu banyak main dengan benda. Ia ingin Heksa berinteraksi dengan anak seumurannya. "Heksa nggak minta kok, Pa. Tadi Kakek yang langsung beliin Heksa mainan." Wajah Heksa polos sekali saat ngomong seperti itu. "Heksa udah nolak, tapi Kakek maksa biar Heksa punya mobil-mobilan yang model baru ini." Barra mengacak pelan rambut Heksa. "Iya, Papa tahu." "Ya, habisnya mau beliin Heksa apa. Masak cuma muter-muter mall, sementara Mamamu ini belanja nggak ada habis-habisnya." Atta melirik Vei yang sedang mengeluarkan barang belanjaannya. Kebanyakan baju baru untuk cucunya. Sejak punya cucu, Atta dan Vei sering berkunjung ke rumah Barra. Bukan karena Barra, tapi lebih karena ingin menghabiskan banyak waktu dengan cucunya. Malah katanya, Barra suruh tinggal bersama mereka saja. Barra tidak mau lah. Ia sudah punya keluarga sendiri. "Lihat deh, Barr." Vei menunjukkan baju bayi seukuran anak kembar Barra. Warnanya pink. Pasti buat Rere. "Rere pasti cantik pake baju ini." Tuh, kan! "Iya, Ma. Cantik." Killa menanggapi. Lalu dua perempuan itu masuk ke kamar anak-anak. Pasti dandanin si princess, Rere. Sedangkan Al, anak Barra yang satunya sudah digendong Atta sekarang ini. Mereka tidak ingat kalau punya anak. Yang diingat hanya cucunya saja. Barra mendengus, memilih melanjutkan niatnya ke kamar mandi. Cukur dan mandi membutuhkan waktu tidak sampai sepuluh menit. Rasanya tubuh Barra lebih segar. Barra keluar dari kamar mandi, masih dengan handuk yang melilit di pinggangnya dan handuk lain untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Di ranjang, Killa sedang mengganti popoknya baby Al. Anak laki-laki kedua mereka itu sudah mulai bisa mengoceh tidak jelas. Al dan Rere, tumbuh kembangnya beda. Rere sudah bisa memanggil nama Barra dan Killa sewaktu umur 10 bulan, sedangkan Al baru bisa dua bulan setelahnya. Ya, Al lebih pendiam daripada Rere, adiknya. "Anak ganteng, Papa." Barra mulai menyapanya. Bola mata bundar anak itu mirip sekali dengan Killa saat mengerjap menatap Barra, lucu sekali. Kulitnya cokelat mirip Barra, beda dengan Rere yang putih. "Udah mandi apa belum?" "Udah dong, Pap." Killa yang menjawab. Menaikkan celana yang Al pakai. "Kamu jagain Al dulu, ya. Aku mau gantian mandiin Rere." Barra mengangguk. "Habis itu gantian mandiin aku juga, ya?" pinta Barra yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Killa. "Kamu tuh, ya!" Killa menahan diri untuk tidak menoyor kepala Barra. "Kan, kamu udah mandi. Masih aja minta dimandiin lagi." "Ya, nggak apa," Barra menyengir tanpa dosa. "Mandi dua kali. Nggak masalah, asalkan kamu yang mandiin." Killa tidak memedulikan Barra. Ia lebih memilih keluar kamar mengambil Rere dari Vei lalu memandikannya. Barra meloloskan kaus polos warna hitam dari atas kepala. Memakai secara cepat celana jeans selutut lalu mulai menuntun Al keluar kamar. Kadang, Barra menyesal melewatkan beberapa tumbuh kembang anak-anak mereka. Rasanya cepat sekali. Sepertinya, baru kemarin Barra merasa terharu melihat tubuh mungil mereka di ruang bersalin. Lanjut merasa tidak tega melihat Killa memertaruhkan nyawanya demi buah hatinya, sedangkan Barra tidak merasakan sakit apa-apa. Yang sepenuhnya berjuang itu Killa, bukan Barra. Barra sayang sekali dengan Killa. Dia yang paling sempurna dan selalu menjadi pujaan hati Barra. Al sudah mulai bisa lari. Tidak terlalu kencang banget, sih. Tapi, lumayan. Sudah bisa diajak main di luar bersama Heksa. Atta dan Vei senang melihat Al mulai aktif bergerak main mobil-mobilan bersama Heksa. Dua bulan yang lalu, mereka semua sempat dibuat khawatir karena Al yang tidak mau merespons mainan apa pun yang Barra dan Killa beri. Al lebih suka berada di pelukannya Killa. Makan, tidur, makan lagi, terus tidur lagi. Selalu seperti itu rutinitasnya. Beda dari Rere yang selalu ceria dan cepat tanggap. Barra benar-benar menikmati quality time keluarganya hari ini. Jarang-jarang Barra bisa kumpul bersama. Biasanya, Barra yang selalu absen karena harus mengurus kerjaan di kantor. Killa ikut bergabung bersama mereka setelah memandikan Rere. Lengkap sudah; anak, istri, dan orang tua Barra ada di sana semua. "Re, coba dengerin lagu baru Kakek ini, ya." Atta mulai memutarkan salah satu lagu dangdut yang ada di ponselnya. Membuat Rere yang tadinya ikut bermain mobil-mobilan bersama Heksa dan Al langsung berdiri, tidak memedulikan mainannya lagi dan mulai joget-joget. Oke, fix. Anak perempuan Barra itu punya bakat jadi penari. Eh, penari atau penyanyi dangdut? Karena Rere lebih kelihatan enjoy sama musiknya. "Agi! Kakek!" Rere terlihat sedih ketika Atta mematikan musiknya. "Rere suka joget?" Vei tidak tahan untuk tidak menggendong Rere lagi, sedangkan Rere sendiri menggeliatkan tubuhnya ingin bebas jalan-jalan. "Duh, nggak kerasa, ya, Rere udah lancar jalan bahkan udah bisa lari-lari kecil." Barra tahu, dari nada suaranya Vei kelihatan sedih. "Bentar lagi udah mulai masuk sekolah, lulus sekolah, terus nikah dan akhirnya pisah sama kita." "Mama, itu masih lama." Killa tertawa kecil seraya mengusap rambut Rere yang baru tumbuh sedikit. "Al sama Rere 'kan masih umur 15 bulan." "Ya, 'kan tapi..." Vei menghela napas panjang. "Al atau Rere biar ikut Mama sama Papa gitu, lho. Biar Mama yang rawat." Ya, terjadi lagi. Killa langsung menekuk wajahnya. Mau bagaimana pun, seorang ibu itu tidak akan bisa dijauhkan dari anaknya. Semua orang tahu. "Ma..." sebelum Barra sempat menjelaskan panjang kali lebar agar Vei lebih mengerti, Atta sudah lebih dulu mengusap pelan bahu Vei dan membisikinya sesuatu yang entah itu apa. Atta pernah bilang, kalau di rumah Vei memang kesepian. "Biasa, Mama kamu ini selalu ngerasa kesepian." Atta mengalihkan pembicaraan ke hal lain yang tidak berhubungan dengan anak-anak Barra dan Killa. Vei selalu saja ingin merawat salah satu dari si kembar. Pernah waktu itu setelah acara akikahnya Al dan Rere, Killa nangis-nangis karena, ya,... Vei bersikeras merawat Rere untuk sementara waktu. Vei ingin punya anak lagi setelah Barra. Namun, Tuhan belum kasih. Lagipula, sekarang sudah punya banyak cucu. Akhirnya, Atta dan Vei pamit pulang. Raut wajah Vei sudah tidak sedih seperti tadi, sudah biasa. Setelah kepulangan Atta dan Vei, Heksa bilang ia mengantuk. Jadilah Barra yang mengantar ke kamarnya. Sepuluh menit kemudian baru keluar lagi setelah membacakan dongeng untuk Heksa. Al dan Rere sudah tidur dari tadi setelah mereka semua makan malam. "Apa, sih?" tanya Killa saat Barra mencoba pegang-pegang. "Mau langsung tidur?" Killa tidak menjawab. Memilih mematikan lampu kamar dan langsung menarik selimut lalu tidur membelakangi Barra. "Maafin Mama, ya." Barra memaksakan diri untuk tidur sambil memeluk Killa dari belakang. "Mama tuh kesepian. Pengin punya momongan lagi." "Tapi, Mama kamu tuh ya..." Killa tidak berani melanjutkan kata-katanya. "Maafin, ya." Killa berbalik, menghadap Barra. Meskipun dalam keadaan remang-remang, mata batin Barra masih bisa melihat bagaimana wajah cantik istrinya itu. "Kamu jangan sampai berpikiran mau ngasih salah satu dari anak kita ke Mama, ya. Aku nggak mau jauh dari mereka." "Iya..." jawab Barra, akhirnya. Pernah waktu itu, Atta dan Vei bawa Al selama sehari di rumahnya. Selama itu pula Killa uring-uringan di rumah. Killa tersenyum lalu memeluk tubuh Barra. Lega rasanya Killa marahnya tidak lama. Jadi, malam ini Barra bisa melakukan itu. Oke, fine. Setelah punya anak, Barra tidak pernah memaksa Killa untuk selalu melayani dirinya. Tidak sesering dulu waktu sebelum punya anak. Gila, nafsu seksual Barra waktu itu lagi tinggi-tingginya. Perlahan tangan Barra mengusap punggung Killa lalu menulusup masuk ke dalam baju tidur yang istrinya pakai. Barra mendekatkan wajahnya di telinga Killa lalu berbisik rendah. "Aku mau kamu malam ini." Oke, baik sekarang atau pun dulu masih sama aja. Nafsu seksual Barra masih di atas rata-rata. Apalagi, kalau sudah berada di dekat Killa. Istrinya itu memang paling bisa memancing Barra agar berubah jadi singa malam ini. Satu kalimat yang Barra katakan itu seperti sihir alami yang Killa rasakan. Barra mulai melucuti pakaian Killa seraya terus memberikan kecupan basah di sekitar wajah juga bahu istrinya. Setelah pakaian Killa terlepas sepenuhnya, Barra mulai mengisap bak vampir di bagian leher. Barra pernah bilang, bagian leher dan bibir Killa itu yang paling bisa membuatnya terangsang. Killa menahan desahannya sebisa mungkin. Barra tidak suka suara desahan, Killa tahu itu. Secara tidak sengaja milik Barra bergesekan dengan inti tubuh Killa. Membuatnya mengerang gelisah. Killa pun sama. Tangan Killa membantu ia untuk melepaskan kaus yang dipakai Barra. Bagian bawah perut Barra itu yang paling Killa suka. Barra memiliki tubuh yang cukup atletis. Meskipun, dia bukan atlet. Dia gemar berolahraga. Killa tahu itu. Olaharaga renang rutin setiap minggunya. Tangan Killa menyentuh bagian perut Barra secara perlahan lalu mulai turun hingga ke bawah. Killa suka menatap wajah Barra yang penuh gairah, juga bibirnya yang berdesis kenikmatan. Seakan Killa sedang didewikan oleh dirinya. Selanjutnya yang terjadi begitu apa adanya, mengalir bagai air. Mereka menyatu, bergerak berlawanan diiringi deru napas yang semakin memberat karena desakan klimaks yang akan segera tumpah ruah. Barra memeluk erat tubuh mungil Killa. Tak memberikan jarak sedikit pun untuk tubuh mereka direnggangkan. Killa suka saat penyatuan itu berlangsung. Karena bukan hanya bagian bawah mereka yang menyatu, tapi juga hati mereka. "I love you..." Barra berucap setengah terengah. Pergerakan tubuhnya semakin cepat, liar, dan tak terkendali. Killa mencengkeram lengan Barra lalu melengkungkan tubuhnya saat puncak itu tercapai, sedangkan Barra masih bergerak mengejar pelepasannya hingga ia meneriakkan nama Killa baru lah hujamannya berhenti secara perlahan. Namun, Barra tidak mau menyingkir dari atas tubuh Killa. "Aku lupa pakai pengaman." Killa tersenyum, membelai wajahnya yang penuh peluh. Udara AC seakan tidak mempan untuk meredakan panas di sekujur tubuh mereka. "Kamu masih suntik, 'kan?" Killa mengangguk. Kadang, Killa bingung dengan apa yang dipikirkan Barra. Suaminya itu benar-benar ajaib. Waktu itu saat Al dan Rere masih berusia hampir satu tahun, Barra ingin Killa cepat-cepat hamil lagi. Katanya, ingin mereka mempunyai banyak anak agar suasana rumah menjadi sangat ramai, apalagi melihat kebahagiaan yang tercetak di wajah Atta dan Vei membuat Barra selalu ingin memberinya cucu lagi dan lagi. Namun, pemikirannya tiba-tiba berubah tiga bulan yang lalu. Tiba-tiba Barra meminta Killa untuk suntik KB agar tidak hamil. Entah apa alasannya. Barra tidak memberitahu Killa secara detail. "Love you..." Barra masih menciumi bibir Killa setelah berguling ke samping. "Really love you." Hampir setiap hari, Barra tidak pernah absen mengatakan kalimat itu. Hidup mereka benar-benar sempurna. Tok... tok... tok... Suara pintu kamar diketuk diikuti panggilan Heksa memanggil Barra dan Killa. Mereka segera turun dari ranjang. Killa memungunguti pakaiannya lalu mulai memakainya dengan cepat, sedangkan Barra sudah memakai boxernya. Dengan bertelanjang d**a, Barra membuka pintu kamar setelah memastikan pakaian Killa sudah dikenakan dengan rapi. "Papa!" Heksa memeluk tubuh Barra sambil membawa guling dalam dekapannya. "Lampu kamar Heksa mati." "Masak, sih?" Barra bertanya tidak percaya lalu mengecek ke kamar Heksa. Killa mengikutinya dari belakang. Itu benar. Kamar Heksa yang tadinya terang, kini gelap gulita. Barra mencoba memperbaikinya. Mengecek ada kesalahan apa yang membuat lampu di sana padam tiba-tiba. Killa mengusap kepala Heksa seraya menunggu Barra memperbaikinya. Tak kunjung bisa diperbaiki, Killa mengajak Heksa tidur di kamar mereka. Barra sendiri masih sibuk dengan lampu kamar Heksa. Heksa takut gelap. Ia bisa menangis jejeritan, jika berada dalam kegelapan lebih lama lagi. Makanya, mereka memberikannya kamar dengan pecahayaan yang terang dan tidak pernah mematikan lampunya. Dari pertama kali tinggal bersama, Heksa tidak mau tidur bersama Killa dan Barra karena mereka mempunyai kebiasaan selalu mematikan lampu sebelum tidur. Berbanding terbalik dengannya. Killa pernah bertanya, ada kisah kelam apa dibalik phobia kegelapannya itu. Namun, Heksa selalu saja bungkam. "Mama, lampunya jangan dimatiin, ya." Bola mata Heksa sudah mulai terpejam. Killa mengangguk seraya mengusap punggungnya, sesekali menepuk pelan untuk membuatnya cepat tertidur. Killa mengecup dahi Heksa saat tidurnya mulai terlihat pulas. Meskipun bukan dari rahim Killa, ia tetap menyayangi Heksa seperti dirinya menyayangi Al dan Rere. Mereka semua anaknya. Dan akan selalu menjadi bagian dari hidupnya. Harta paling berharga yang Killa punya setelah Barra. "Bohlamnya minta diganti," ucap Barra memasuki kamar. "Besok aku ganti." "Ssstt. Heksa udah tidur." "Syukurlah," Barra bersiap akan tidur juga. Tangannya sudah terulur menekan sakelar. Namun, Killa tahan. Ia menghela napas, paham. Lalu mencium dahi Heksa, berganti mencium lebih lama kening Killa. Rasanga hangat. Akhirnya, mereka bertiga tidur dalam satu ruangan. °°°°°°°°°° Rutinitas pagi Killa berjalan seperti biasanya. Membuatkan makanan untuk sarapan dan bekal Heksa nanti di sekolah. Kadang, Killa juga membawakan Barra bekal di hari-hari tertentu. Tidak hari ini. Killa tahu, rasa masakannya masih jauh dari kata sempurna. Namun, Barra dan Heksa selalu menghabiskan hidangan yang ia sajikan. Secara otomatis, Killa ingin selalu bisa mengenyangkan kebutuhan perut mereka. Katanya, istri idaman adalah istri yang bisa memasak. Killa ingin seperti itu, diidam-idamkan. "Heksa Sayang, PRnya udah dikerjain semua, 'kan?" tanya Killa basa-basi saat Heksa keluar dari kamar dengan seragam merah putih lengkapnya, juga dengan tas ransel warna hitam yang ada di tangannya. "Bentar, kita sarapannya nunggu Papa, ya." Heksa menganggukkan kepalanya lalu mengambil tempat duduk di samping Killa yang tengah mewadahi nasi ke dalam piring. Barra keluar dari kamar sudah siap dengan setelan baju kantornya yang rapi. Ia duduk di kursi biasanya. "Al sama Rere pulas banget tidurnya." "Iya, biarin. Habis ini aku mau mandiin mereka." "Nanti aku ada meeting sore. Pulangnya rada telat, dari biasanya." Ada hari-hari tertentu yang membuat waktu Barra tersita banyak di kantor. Berangkat kerja pagi sekali dan pulang selalu larut malam. Weekend pun kadang Barra juga ada pertemuan di luar kota. Killa tidak tahu, harus senang atau sedih. Di satu sisi, Barra ingin keluarganya tercukupi dengan kerja keras selama yang ia bisa. Di sisi lain, Killa dan anak-anaknya jadi kurang waktu bersama dengan Barra. Heksa menghabiskan sarapannya lebih cepat dari biasanya lalu mulai memasukkan kotak bekal makanannya juga s**u dalam botol tupperwear ke dalam tas ranselnya. Disusul kemudian, Barra yang juga sudah habis makannya. Barra merapikan kancing jasnya lalu berpamitan akan berangkat kerja. Sebelum itu, ia masuk ke dalam kamar Al dan Rere. Mengecupi pipi si kembar secara gemas hingga Al dan Rere terganggu tidurnya dan merengek. "Barra, jangan dibangunin gitu anaknya." Killa mendengus. Menenangkan Rere yang mulai rewel. "Udah pagi ini," ucap Barra tanpa dosa. "Papa berangkat dulu, ya, Nak. Muach." Barra mencium Rere lagi. "Di rumah jangan nakal sama Mama dan Kakak-Kakak." "Sssttt..." Killa mendiamkan Rere dengan memberinya ASI. Karena tidurnya tiba-tiba terganggu, Rere jadi menangis kesal. "Anak Mama diem, ya. Papa emang nakal." Setelah puas membuat Rere rewel, kini Barra ganti mendekati Al yang lebih pendiam. Mengangkatnya dari box bayi lalu mulai menggendongnya sebentar. "Jagoan Papa harus jagain Mama selama Papa kerja, ya. Jangan nakal. Papa berangkat." Tak lupa Barra juga mencium pipi gembul Al. Heksa ikut mencium pipi kedua adiknya dengan gemas, seperti apa yang Barra lakukan. Dua laki-laki itu memang sepakat menbuat Killa kewalahan mengurusi si kembar hari ini. "Pa, Ma, Heksa berangkat dulu, ya." Pamit Heksa pada Barra dan Killa. "Mau bareng Papa?" tawar Barra. "Enggak, Pa. Heksa lebih suka naik sepeda. Nanti pulang sekolahnya Mama yang repot mau jemput Heksa." Ya, itulah Heksa. Selalu memedulikan orang lain. Dan tidak mau membuat orang lain terbebani atau kesusahan akan kehadirannya. Makanya, Killa meminta Barra agar cepat-cepat menyelesaikan pembangun di rumah baru mereka. Letak rumah baru mereka nanti lebih strategis, daripada rumah yang Barra dan Killa tempati sekarang ini.  Jarak antar rumah dan sekolah atau fasilitas umum lainnya pun tidak terlalu jauh. Jadi, Heksa bisa lebih mudah menuntut ilmu. "Anak Papa belajar yang pinter, ya. Selama nggak ada Papa harus bisa jagain Mama sama Adek-Adek." Heksa hanya bisa menganggukkan kepalanya setiap kali mendapatkan nasihat itu dari papanya. Killa mengikuti Barra dan Heksa ke garasi dengan menggendong Rere serta menuntun Al yang berjalan di samping. Ia melambaikan tangannya dan tangan Rere saat Heksa sudah siap untuk mengayuh sepedanya. "Dah, Kakak!" Heksa tersenyum lalu melempar ciuman jarak jauh pada mereka dan mulai meninggalkan halaman rumah. Barra mengecup pipi Killa lalu mengusap puncak kepala Al dan Rere secara bergantian baru masuk ke dalam mobil. Perlahan, mobil itu melaju keluar halaman rumah. Itulah aktivitas Killa selama dua tahun belakangan ini. Menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dan Killa menikmati perannya sebagai pemeran utama perempuan yang sempurna.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.2K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.5K
bc

Hubungan Terlarang

read
501.9K
bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
928.8K
bc

SEXRETARY

read
2.1M
bc

Bastard My Ex Husband

read
383.1K
bc

Naughty December 21+

read
509.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook