Tiga bulan lalu...
Cuaca tak begitu bagus hari ini. Angin berhembus cukup kencang sejak tadi. Langit pun ikut menggelap seolah memberi tanda akan ada badai. Tapi orang-orang di dalam bangunan tinggi menjulang itu tampak masih sibuk mondar-mandir, melakukan aktivitas mereka.
Sejak pagi AMARA Group memang sibuk karena sedang ada pergolakan di dalam perusahaan. Karena insiden kecelakaan besar minggu lalu menyebabkan terjadinya kekosongan pada posisi General Manager. Dan kini banyak pihak yang ingin memperebutkan tempat itu. Mirsela Anata Gaung atau yang kerap disapa Sela itu tampak sudah mengurut kening sejak tadi. Waktu seminggu sudah hampir berlalu, tapi belum ada keputusan yang didapatkan. Sela harus bagaimana?
...
Gadis dengan pakaian jas lengkap dan rapi itu melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit. Suara ketukan heelsnya terdengar nyaring dan cukup menyiksa telinga.
Dialah Mirsela Anata, putri pertama Pasundanu Gaung. Wanita paling sombong dan egois abad ini. Siapa yang tak mengenalnya? Dia gila dan berhati dingin. Sangat angkuh sekali.
"Op--" Sela tak jadi melanjutkan kalimatnya saat menyadari bahwa ada orang lain di dalam ruang rawat Opanya itu. Ya, Aryan Gaung sudah dirawat di rumah sakit selama dua bulan terakhir. Kondisinya tak begitu baik akhir-akhir ini.
"Sela.." pria dengan rambut hampir memutih seluruhnya ia menggamit Sela agar mendekat ke tempat tidurnya. Sela menurut tanpa bicara. Sosok di samping tempat tidur sang Opa bukanlah sosok yang asing bagi Sela. Setidaknya dia mengetahui nama dan sedikit latar belakang pria dengan muka datar itu. Dan yang jelas Opanya cukup dekat dengan si pria.
"Gimana kondisi Opa?"
"Lumayan baik. Bagaimana di kantor?"
Sela langsung melirik si pria asing. Jelas saja Sela tak akan langsung bercerita bagaimana kondisi perusahaan pada sang kakek. Kenapa? Karena ada orang asing di dalam ruangan ini. Harusnya obrolan tentang perusahaan hanya boleh diketahui oleh mereka berdua saja. Lirikan Sela seolah sudah memberi kode agar 'si asing' meninggalkan ruangan. Tapi tampaknya 'si asing' sama sekali tidak peka. Tck.
Aryan tertawa pelan. "Oh kamu tenang aja. Nggak apa-apa. Nggak masalah Jalen dengar obrolan kita."
Kening Sela mengerut membentuk lipatan. Sepusing-pusingnya Sela seharian di kantor, ia lebih pusing setelah mendengar penuturan sang kakek. Bagaimana bisa kakeknya bicara begitu? Bahkan Papanya saja tak diizinkan mengetahui obrolan mereka. Astaga. Siapa sebenarnya 'si asing' ini?
"Tapi Opa--"
"Jalen bukan orang asing.."
Sela menghela napas. Dengan terpaksa akhirnya ia ceritakan apa yang terjadi di kantor dan bagaimana situasinya sejauh ini. Tapi ada beberapa bagian yang Sela skip karena merasa tak perlu didengar Jalen. Setidaknya bagian itu tak akan merubah inti cerita.
"Opa udah menduga kejadiannya akan begini.."
"Hah?" Sela bingung.
Aryan hembuskan napas pelan. "Mereka sudah menunggu momen ini sejak dulu untuk menjatuhkan kamu, Sela. Apapun yang kamu lakukan, mereka tidak akan membiarkan kamu naik menjadi General Manager."
Sela memahami hal ini. Sebenarnya ia sudah bisa membaca situasinya. Sela bukan perempuan bodoh. Menduduki posisi wakil GM bukanlah sesuatu yang ia dapatkan dengan cuma-cuma. Meski orang-orang mengatakan ia mendapatkan posisi itu karena Kakek dan Papanya, nyatanya ada proses panjang dan berdarah-darah yang harus Sela lalui. Dua tahun ini menjadi Wakil GM juga bukan sesuatu yang enak seperti yang orang-orang bayangkan.
"Oh iya, kamu mungkin udah tau Jalen tapi kalian belum saling kenal. Jalen kenalkan ini cucu pertama saya, Sela. Dan Sela kenalkan ini Jalen, teman Opa dan salah satu anak muda berbakat yang Opa kagumi.." astaga, perkenalan macam apa ini? Apa Sela harus tersenyum lebar dan mengulurkan tangan?
"Kalian ini seumuran ya?" Aryan bertanya. Tapi baik Jalen maupun Sela tak ada yang menjawab. Sela tak menyukai Jalen.
Aryan kemudian tertawa entah karena apa. Rasanya tak ada yang lucu.
"Opa, bisa kita bicara berdua? Ada hal penting yang mau Sela bahas.."
"Bilang aja sekarang, nggak apa-apa."
"Tapi Opa.."
"Sela.." Aryan menghela napasnya. Pandangannya berubah serius. "Opa juga mau ngasih tau kamu hal penting."
Kening Sela kembali mengerut. Entah kenapa perasaannya terasa tak enak.
"Kamu nggak akan bisa jadi Dirut sampai kapanpun.."
Sela melotot.
"Kecuali dengan satu syarat.."
"Syarat apa Opa?" Sela agaknya sudah lupa bahwa Jalen ada di sana. Saat ini perhatiannya tertuju pada sesuatu yang lebih penting. Bagaimana mungkin ia tak bisa jadi Direktur Utama? Jelas ia harus menjadi Direktur Utama. Semakin cepat ia menjadi Dirktur Utama maka akan semakin cepat juga impiannya tercapai.
"Kamu harus menikah."
"HAH?!"
Sela menatap Opanya itu tak percaya. "Ah Opa ngawur. Apa hubungannya aku nikah sama jadi GM?"
Aryan menghela napas. Ia kemudian ceritakan sebuah rahasia di dalam AMARA Group. Perjanjian tak tertulis yang sudah disepakati sejak awal para tetua membangun AMARA. Jika ada perempuan yang kelak akan memimpin AMARA, maka ia harus sudah berkeluarga. Sebab menurut mereka, jika perempuan itu masih single maka akan memberikan pengaruh buruk bagi perusahaan. Jelas saja hal itu tak masuk akal bagi Sela. Bagaimana bisa kemampuannya diukur hanya dengan sebuah status?
"Jadi maksud Opa, Sela harus nikah?"
"Iya. Kita tidak punya pilihan lain."
"Sela nggak mau. Lagian Sela mau nikah sama siapa, Opa? Sela nggak punya waktu untuk urusan nggak penting begitu.."
"Tapi tidak ada pilihan lain, Sela. Atau kamu mau AMARA jatuh ke tangan orang lain?"
Sela terdiam. Tentu saja Sela tak mau. Jika AMARA diambil orang lain, maka semua usaha dan ambisinya selama ini akan terkubur sia-sia.
"Tapi Opa.." Sela bingung sendiri. Menikah bukan sesuatu yang mudah. Memangnya menikah bisa dilakukan sekejap mata? Lagipula Sela belum ada pikiran untuk menikah. Usianya masih sangat muda dan ada hal lain yang membuatnya tak bisa menikah sekarang. Gila.
"Menikah itu nggak gampang Opa." Sela masih berusaha meyakinkan sang kakek. Mungkin masih ada jalan lain. Sela yakin masih ada jalan lain.
"Kamu nggak perlu benar-benar menikah. Kita hanya membutuhkan bukti bahwa kamu sudah menikah. Pernikahan ini tak perlu diketahui banyak orang."
Sela jelas terkejut.
“Ma-maksud Opa gimana?”
Aryan kemudian menjelaskan bagaimana situasinya. Dari penjelasan itu, Sela menangkap bahwa ia hanya perlu status menikah untuk meyakinkan dewan direksi Amara. Sela tak perlu benar-benar menikah. Masalahnya Sekarang adalah siapa orang yang akan Sela ajak menikah pura-pura ini?
Sela benar-benar shock saat Opanya menyebut nama Jalen. Lebih lagi sang Opa menyebutnya terang-terangan di depan Jalen. Sela langsung memandangi pria itu. Anehnya taka da reaksi berlebihan di wajah Jalen. Pria itu masih dengan ekspresinya yang sama seperti saat Sela pertama melihatnya tadi. Sela sampai mengira Jalen memang tak punya ekspresi.
Perundingan hari ini tak menemukan titik terang apapun. Sela pamit pulang pada sang Opa—atau lebih tepatnya Sela diusir pulang oleh sang Opa. Entahlah, Sela pun tak yakin. Sepertinya Opanya ingin bicara empat mata dengan si pria asing. Tapi bukannya pulang, Sela malah menunggu Jalen di lobi rumah sakit. Benar saja, tak lama setelahnya, Jalen memang meninggalkan ruangan Aryan Gaung.
Sela langsung mencegat Langkah Jalen. Dan coba tebak bagaimana ekspresi Jalen. Yap, datar. Benar-benar datar seperti patung. Bahkan patung masih punya ekspresi.
“Saya tidak tahu apa yang anda pikirkan, tapi saya hanya ingin memberitahu anda, jangan terima penawaran apapun yang Opa berikan.”
Jalen menaikkan satu alisnya. Ia pandangi Sela dari atas ke bawah dengan ekspresi yang rasanya membuat Sela ingin mencekik Jalen detik itu juga. Apa Jalen meremehkannya? Sungguh?
“Kamu udah besar, belajar bertanggung jawab sama diri kamu sendiri.”
Sela melongo. Sungguh, selama ini belum pernah Sela merasa semarah ini pada seseorang. Sebenarnya Sela pernah marah besar, tentu saja. Bagaimanapun Sela manusia biasa. Tapi Sela adalah tipe orang yang lebih banyak memendam. Orang-orang mengenal Sela sebagai seseorang yang dingin dan tak banyak bicara. Bahkan bisa dibilang Sela ini minim ekspresi. Sejak kecil ia selalu patuh dan terbiasa mengikuti perintah Kakek dan Papanya. Jadi sejak kecil pun Sela sudah terbiasa mengendalikan emosinya.
Tapi kini Jalen dengan mudahnya berhasil membuat Sela marah. Sela merasa Jalen tak sopan. Mereka tak saling mengenal tapi tak seharusnya Jalen bersikap begini, kan? Atau Sela juga salah karena langsung menyerang Jalen?
“Apa maksud anda? Ini saya sedang bertanggung jawab pada diri saya sendiri makanya saya meminta anda untuk tidak ikut campur.” Sela masih berusaha mengendalikan emosi dan amarahnya. Sela sadar bahwa ia tak boleh terpancing.
“Oh ya?” Jalen masih dengan ekspresi meremehkan. “Tapi aku nggak merasa kamu sedang bertanggung jawab pada masalah kamu sendiri. Apa menurut kamu dengan menemui aku begini tandanya kamu sudah bertanggung jawab pada masalah kamu?”
Sela terdiam beku. Melongo seperti orang bodoh.
“Kalau kamu merasa bertanggung jawab dan mampu, yang harus kamu temui itu Opa kamu dan bukan aku. Kalau kamu berani bilang sama Opa kamu bukan menemui aku kayak gini. Paham?”
Tangan Sela mengepal.
“Masih ada? Aku punya kesibukan.” Jalen kemudian melengos pergi begitu saja. Rasanya Sela belum pernah sekesal ini pada orang. Kali ini Sela benar-benar kesal. Entah karena ia sedang lelah atau karena Jalen memang menyebalkan. Tapi sungguh, Sela tak ingin terlibat urusan dengan pria itu. Jika berperang, Sela hanya ingin berperang sendiri. Sela tak ingin melibatkan orang lain. Selama belasan tahun Sela bisa berdiri sendiri. Lalu kenapa sekarang dia harus butuh bantuan orang lain? Kenapa ia butuh bantuan Jalen?
Setelah merasa emosinya padam, Sela melanjutkan langkahnya. Sela ingin pulang, mandi dan istirahat. Rasanya seharian tubuhnya sudah sangat lelah. Sela harus menyimpan energinya untuk besok. Entah masalah apalagi yang sedang menunggunya.
***