5. Aish!

1052 Words
Setelah mencari kesana kemari, di mana saja yang ada lowongan pekerjaan, Nadhira akhirnya mendapatkannya.  Walaupun, pekerjaannya kali ini tak beda jauh dengan pekerjaan lamanya, namun tetap saja ia bersyukur, karena kembali mendapatkan pekerjaan.  Senyum manis dari bibirnya terukir, kala membaca papan nama yang terukir indah di depan sebuah Kafe yang cukup besar. Pengunjungnya ramai, dan katanya, pelayanan nya baik di sini.  Ahh! Nadhira jadi tak sabar, untuk segera bekerja disini.  Kemarin, ia melamar pekerjaan di sini. Dan, ia harus sangat-sangat bersyukur, karena ia diterima bekerja.  DevZild's Kafe Nama kafe, yang bagi Nadhira unik.  Dengan langkah bahagianya, Nadhira membuka pintu belakang kafe, karena kafe sudah buka sejak pagi hari. Sementara dirinya mulai bekerja mulai dari sepulang sekolah.  "Kamu, karyawan baru kan?" Nadhira dikejutkan oleh seorang gadis cantik, dengan rambut di kuncir kuda.  Ia mengenakan seragam dari DevZild's Kafe, yang berwarna biru tua, dengan aksen hitam, dan ciri khas khusus pada bagian d**a seragam, yaitu seperti sticker, atau apalah namanya, yang terbuat dari benang, yang di bordir di atas seragam. Eeum, mungkin menyebutnya dengan logo? DevZild's Kafe.  "Ii.. Iya," gugup Nadhira.  Gadis itu tersenyum manis sekali. Nadhira kira, gadis tadi akan memarahinya, karena terlambat, atau apa....gitu(?), ternyata tidak. Entah kenapa, Nadhira merasa lega sekali.  "Ikut aku, yuk! Kita ke ruang ganti." ajak gadis itu.  Nadhira menurut saja. Toh, ia belum tau seluk-beluk kafe ini. Sebuah ruangan ber-AC, cukup luas, dan terdapat banyak lemari kecil. Umm, mereka biasa menyebutnya dengan loker, atau apalah itu. Gadis tadi, merogoh sakunya, dan menyerahkan sesuatu kepada Nadhira. Sebuah, kunci. "Ini, kunci loker kamu." katanya dengan senyum manisnya. "Loker kamu, di sebelah loker aku, nomer 16." "Makasih," ucap Nadhira gugup, tapi terdengar tulus.  "Seragam kamu, ada di dalem. Langsung pake, yah!" Nadhira mengangguk.  "Ya udah, aku ke depan lagi, ya. semoga betah, kerja disini." Nadhira tersenyum. "Makasih," ucapnya sekali lagi.  Gadis tadi membalikkan tubuhnya, dan berjalan keluar.  Namun, baru saja sampai pintu, dia kembali mundur, dan membuat Nadhira bingung.  "Kenapa?" tanya Nadhira.  "Aku lupa. " Ia mengulurkan tangannya kepada Nadhira. "Aku Rika." Oh, ternyata.... ia tengah mengenalkan dirinya.  Dengan ragu, Nadhira meraih tangan gadis bernama Rika itu. "Nama aku, Nadhira." Rika tersenyum. "Nama kamu bagus, kaya orangnya" "Kamu juga, nama kamu cantik, kaya kamu," balas Nadhira.  Rika menutup wajahnya malu malu. "Ahh, kamu mahh. Bisa aja!" Mereka tertawa pelan.  "Eh, ya udah. Aku ke depan dulu. Kamu ganti baju ya," "Iya, makasih, Ka." Rika tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya.  "Rika," bisik Nadhira lembut, seakan-akan tengah menuliskan nama gadis itu di hatinya, agar diingat selalu. "Kayanya, dia baik." -----D----E----V----A----N----- Bang Zona? Dev, lu bisa dateng ke sini?  Devan menatap pesan singkat lewat salah satu aplikasi chat. Membacanya sejenak, lalu membalasnya.  (R) Gw usahain, deh bang.  (R) Emang ada apaan?  Devan meletakkan ponselnya di atas meja, dan kembali fokus kepada PR yang tengah ia kerjakan, sembari menunggu balasan dari pemudaㅡ ummm, yang bernama Zona.  Tak sampai dua menit, pesan balasan pun masuk. Namun, Devan masih asyik menuntaskan PR Kimianya.  Hingga beberapa menit kemudian, baru ia membaca pesan dari Zona itu. Bang Zona ? Ada karyawan baru, Dev.  Yang gw bilang waktu itu, Dev.  Baru masuk kemarin.  Dia kerja paruh waktu.  Devan membaca pesan itu dengan saksama. "Karyawan baru? " Segera, ia mengetikkan pesan balasan.  (R) Gw usahain ya, bang. (R) Diizinin apa kaga gw (R) ama Ayah:v Ya udah.  Gw tunggu, Dev.  Bahasanya, pengesahan gitu:v (R) Hahah.  (R) Oke bang,  (R) sekitar jam 8 (R) Gw ke sana Oke Dev.  Ti ati, lu!  (R) Y, bang Setelah mengirimkan pesan balasan, Devan meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Melirik jam digital yang berada di atas meja belajarnya.  Pukul 7.30 malam.  Melihat buku PR kimianya, ia sudah menjawab 7 dari total 15 soal yang diberikan. Ia menutup bukunya, "Belum solat Isya lagi, gue!" ujarnya.  Ia berdiri, merenggangkan tubuhnya sejenak, lalu bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudu.  -----D----E----V----A----N----- Devan meletakkan jacket kulit hitam miliknya, di atas tempat tidur, sementara ia, mendudukkan tubuhnya, di pinggirnya, sembari memasang sepatu.  Lagu Treat you better yang dibawakan oleh Shawn Mendes, mengalun dari ponselnya. Sesekali, bibir pemuda itu ikut menyanyikan lirik demi lirik lagu itu. Walaupun ya, dengan suara yang biasa saja, dan juga lirik yang biasa diubah-ubah sesuka hatinya.  Sambil mengikatkan tali sepatu bagian kanannya, ia mulai bernyanyi dengan rusuh.  "I know i can treat you, better. Than he can. nana nana na nana na naa... na nanaa.. na na na nanana nanananana nanana nanana... I know i can treat you, better... BADAK DAN IKAN!" Para fans Shawn Mendes, silakan timpukin kepala Devan. Seenaknya saja, mengganti lirik lagu dengan gampangnya. Jelas jelas, lirik sebenarnya adalah, Better than he can, lah malah diganti jadi Badak dan Ikan? Setelah selesai dengan urusan sepatunya, ia berdiri. Meraih jacket, dan juga ponselnya. Mematikan alunan lagu, lalu memasukkannya ke dalam saku celana bagian depan. Serta dompet kedalam saku belakang. Menenteng jacket nya keluar, dan menuruni satu persatu anak tangga.  "Mau kemana, Dev, malem-malem gini?" Devan menghentikan langkahnya, saat suara ayahnya yang terdengar protective itu menggema. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ayahnya tengah duduk di sofa, bersama secangkir teh.  "Bunda mana, Yah?" Risyad mendesah. "Ayah tanya, bukannya langsung dijawab. Bunda di kamar, solat isya." Devan mengangguk. "Emm, Devan mau keluar bentar, Yah. Boleh ga?" Ayahnya itu mengrenyit. "Mau kemana emang? Mau apa?" "Main, Yah." "Sama siapa? Darrel, Dimas, atau siapa?" "Temen-temen, Yah." "Siapa?!" "Bang Zona," "Pulang jam berapa?" "Belum tau, Yah. Tapi gak lama, kok." "Pake apa?" "Ojol?" jawabnya tak yakin.  "Ayah anter." Devan menggaruk tengkuknya. "Sendiri aja, Yah. Ayah 'kan baru pulang kantor. Pasti capek, 'kan? Biar Dev naik ojol aja, Yah." "Udah malem. Jangan naik motor." "Ya udah, dianter pak Umar aja, Yah." Risyad berdiri dari duduknya. "Ya udah. Bilang sana sama Pak Umar. Izin sama Pak Seto," "Iya, Yah." Devan meraih tangan Ayahnya, dan menyalaminya. "Izinin ke Bunda ya, Yah." "Iya, hati-hati. Jangan kemaleman pulangnya." "Iya, Ayah." Omong-omong, Pak Umar dan Pak Seto adalah satpam penjaga rumah mereka. Hanya saja, Pak Umar juga terkadang menjadi sopir, jika majikan mereka ingin bepergian, dan malas membawa mobil.  "Salam sama Zona." "Iya, Yah." -----D----E----V----A----N----- Rizona Althavandra Diorama. Pemuda 20 tahun, anak dari rekan bisnis Risyad. Anak bungsu dari 4 bersaudara, yang isinya laki-laki semua. Devan dan Zona, memang sudah saling mengenal, sejak Devan berusia lima tahun. Jadi, Risyad tak lagi khawatir, jika Devan dekat dengan Zona. Asalkan, anak itu bisa menjaga dirinya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD