Seandainya saja

1075 Words
Emma berjalan di samping Baina yang terus menggodanya, tidak peduli saat ini mereka sudah berada di lingkungan rumah sakit. “Eh, bisa diam gak? Kalau engga, aku mau balik aja,” ancam Emma. “Diem dulu, aku mau tanya dimana kamar perawatan kakakku,” sahut Baina santai. Hah? Sepertinya Emma harus menjitak kepala Baina. Kenapa dia tidak tanya sama ibu-nya saja sebelum dia berangkat. Lebih mudah dan tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu. Tapi Baina tetaplah Baina yang selalu membuang waktunya untuk urusan yang tidak perlu. “Selamat pagi, Suster, saya mau tanya, Kamar pasien atas nama Maya Subrata dimana, ya? Pasien yang semalam masuk karena kontraksi,” kata Baina pada suster di bagian pendaftaran pasien rawat inap. “Sebentar, ya, Mba,” jawab suster mulai memeriksa nama pasien yang disebutkan oleh Baina. Tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan informasi yang diinginkan oleh Baina dan tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada pasangan yang membuat Baina memandangnya curiga sementara Emma yang berdiri bersandar di sebelah yang lain tidak mengetahuinya. “Maaf, ada keperluan juga dengan bagian informasi?” tanya Baina  berusaha ramah. “Tidak…eh benar. Ada yang mau kami tanyakan, tetapi masih menunggu temah dulu,” jawab wanita yang terus mengamati Baina. “Kalau memang ada yang mau ditanyakan, kenapa harus menunggu teman? Apa saya bisa bantu,” balas Baina. “Terima kasih,” kata wanita itu mulai menjauh dari Baina. “Siapa mereka, kenapa dari tadi hanya berdiri disitu aja,” gumam Baina. Dengan wajah menahan kesal, Baina menarik lengan Emma setelah mendapatkan informasi yang sudah dia dapatkan. “Itu muka kenapa jutek begitu?” tanya Emma. “Jengkel. Masa ada orang yang kepo waktu aku tanya soal kamar perawatan Kak Maya,” kata Baina mengeluh. “Masa? Padahal yang terkenal kamu, kenapa yang dikepo-in Kak Maya, ya,” goda Emma hingga Baina semakin kesal. Sementara Emma, begitu mendengar ucapan Baina, dia semakin was-was dan berjanji tidak akan membuat tindakan mencurigakan. Dalam pemikiran Emma, setiap gadis remaja yang datang ke rumah sakit sakit akan dicurigai oleh beberapa orang, terutama oleh orang asing. “Apa mungkin om ganteng itu seorang buronan atau lelaki yang sangat penting hingga dirinya merupakan target pencarian?” batin Emma. Emma beruntung dia datang ke rumah sakit dengan tujuan menemani Baina sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. “Eh, mikir apaan, sih? Dari tadi aku perhatiin kamu lebih banyak diamnya. Gak biasanya bikin orang kepo,” celutuk Baina karena Emma memang lebih banyak diam daripada biasanya. “Aku lagi mikir kamu tadi bicara sama siapa,” jawab Emma nyengir. “Aku juga gak tahu. Malah bikin aku jengkel karena mereka kepo. Aku malah sempat mikir kalau mereka sepertinya ingin tahu siapa yang akan aku kunjungi. Aneh, kan,” kata Baina kembali memasang muka sebal. “Makanya tadi ngapain nanya ke bagian informasi kalau bisa tanya langsung ke ibu kamu atau telepon langsung Kak Maya,” Emma mulai menggoda Baina. Bukan Baina kalau dia terpengaruh dengan godaan Emma karena dia adalah Baina yang tidak akan memikirkan godaan dari temannya, apalagi dia sangat mengenal Emma, sahabat terdekatnya. Kamar perawatan Maya ternyata berada di depan kamar tempat Abyan terbaring dalam pengawasan dokter Syarif dan Emma mengetahuinya karena bertemu dengan Dokter Syarif yang baru keluar bersama dengan seorang suster. Mereka saling berpandangan dan anggukan dari dokter kepada Emma seolah membenarkan pertanyaan yang tidak terucap dari mata Emma. “Emma, kamu kenapa berdiri di depan kamar itu? Kamar Kak Maya di sini,” tegur Baina. “Oh, aku kira yang ada di depan ini,” sahut Emma berbalik. Mengunjungi Maya ternyata membuat Emma betah. Dia bahkan tidak merasa perlu menemui Karla begitu Baina mengatakan kalau dia mungkin tidak bisa mengantar Emma karena kakak iparnya terjebak macet dan tidak bisa tiba di rumah sakit dalam waktu dekat. “Ya, udah. Nanti aku pulang sendiri kalau aku udah bosan nemenin kamu,” jawab Emma sementara Maya tersenyum mendengarnya. Sementara Baina mengobrol dengan Maya, Emma mulai melihat layar cctv di kamar Abyan yang ada di ponselnya. Hatinya berdebar tanpa dia sadari begitu mengamati wajah Abyan yang tampan dan mempesona. Perasalan medis yang terpasang tidak mengurangi wajah gantengnya, bahkan di wajahnya kini mulai tumbuh bulu yang membuatnya semakin berbeda. “Lihat apaan, Ma?” tanya Baina yang tiba-tiba sudah duduk di depan Emma. “Biasa,” jawab Emma menunjukkan layar ponselnya yang kini sudah berganti dengan drama dari negara tirai bambu. “Mau tahu judulnya dong,” pinta Baina yang langsung diberikan oleh Emma. Emma sepertinya tidak sabaran untuk melihat wajah Abyan walaupun dia hanya tahu sebagai om ganteng saja. Kembali, Emma memberikan perhatian lebih pada wajah Abyan. Dia ingin tahu apa perubahan yang sudah didapatkan oleh dokter dan Abyan sendiri setelah dia melihat perubahan tersebut. Emma berharap kesehatan Abyan semakin membaik sehingga dia dan rumah sakit bisa mendapatkan informasi siapa dia sebenarnya. Bagaimana pun Emma memang belum mendapatkan informasi terbaru dari dokter. Puas memperhatikan keadaan Abyan, Emma mulai mengirim pesan pada Dokter Syarif, berharap dokter tidak terlalu sibuk lagi hingga bisa membalas pesannya yang ingin tahu keadaan pasien yang dia bawa kemarin. Emma: “Pagi, Dok. Gimana keadaan pasien setelah semalam?” Dokter: “Keadaannya semakin membaik. Kamu sedang apa di rumah sakit?” Emma: “Nemenin Baina yang kakaknya mau lahiran.” Dokter: “Lihat keanehan di bagian depan, tidak?” Emma: “He eh. Kenapa jadi banyak orang asing di rumah sakit ini, Dok?” Dokter: “Entahlah. Pokoknya kamu harus hati-hati dan jangan membuat tindakan yang menarik perhatian.” Emma: “Apa ini berkaitan dengan Om ganteng yang Emma bawa ke sini?” Dokter: “Sepertinya, iya. Sekarang kamu tahu kenapa saya larang datang ke rumah sakit, kan. Kamu percayakan saja untuk sementara ini tentang kesehatan pasien. Tanpa datang dan bertemu langsung dengannya-pun kamu bisa melihat keadaannya melalui ponsel.” Emma: “Iya, Dok. Terima kasih sudah memikirkan sampai sejauh ini. Omong-omong, apa dokter sudah dapat informasi siapa om ganteng itu?” Kerutan di dahi Emma tiba-tiba terlihat karena dokter tidak langsung menjawab pertanyaannya. Namun, pertanyaan Emma tidak perlu waktu lama tidak mendapat jawaban karena dokter langsung menjawabnya walaupun bukan jawaban yang diharapkan oleh Emma. “Belum ada informasi apa pun dari polisi,  tapi bukan berarti kau harus ikut memikirkannya. Percayakan semuanya pada pihak yang berwajib dan jangan jadikan sebagai beban,” jawab Dokter Syarif dengan pesan yang menyertainya. “Baiklah. Tapi dokter janji untuk memberi kabar pada Emma, kan?” “Pasti, daripada saya dapat terror telepon dari kamu,” jawab dokter yang sukses membuat Emma manyun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD