Butuh tenaga ekstra

1341 Words
Hujan gerimis di pagi hari adalah waktu yang membuat sebagian orang malas untuk bergerak dari pembaringan. Setidaknya itulah yang dirasakan Abyan pada saat alarm yang berasal dari jam digital yang dia letakkan di atas meja nakas berbunyi dengan suaranya yang cukup membuatnya terjaga. “Kenapa hujan harus turun pagi begini, sih? Gak tahu kalau suasananya bikin males gerak,” gumam Abyan setelah berhasil membuat jamnya berhenti mengeluarkan suara. Mencoba berbaring kembali sudah tidak mungkin dilakukan oleh Abyan karena dia bukan orang yang bisa tidur kembali setelah matanya terbuka lebar. Masih dengan sikapnya yang malas-malasan, Abyan turun dari tempat tidur lalu melangkah ke kamar mandi. Cukup lama Abyan berada di bawah pancuran air yang cukup hangat menyentuh kulitnya yang berwarna ke putih sehat. Sementara di lantai satu sudah terjadi kesibukan yang sudah menjadi kegiatan rutin pada setiap paginya. Elsa, sebagai ratu keluarga Pravitel sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya dibantu oleh Tania yang merupakan putri sulungnya sementara Zeny masih terlihat duduk mencangkung dagu seolah kepalanya tidak bisa tegak. “Zen…kamu gak mau membantu Mama sama Tania di sini?” tanya Elza memanggil putri keduanya. “Mom sama kakak saja. Aku masih ngantuk. Boleh gak kalau aku balik kamar lagi,” tanya Zeny mulai meletakkan kepalanya di atas meja. “Gak bisa. Anak perempuan di larang malas. Sebentar lagi kamu akan menikah, jadi kamu harus biasakan,” jawab Elza sementara Tania tertawa geli. “Udah cepatan cuci muka. Bantuin kami cepat,” perintah Tania geli. “Gak. Aku mau dimerem aja,” jawab Zeny tidak bergerak dari kursi makan yang ada di dapur. “Pagi semua….” Suara Abyan terdengar menyapa semua orang yang ada di dapur di susul dengan gerakan tangannya menyentuh pipi Zeny yang terbuka sementara matanya masih tertutup rapat. “Kalau mau tidur ngapain ada di dapur,” tegurnya pelan. “Awh. Sakit. Iseng banget sih, By,” omel Zeny yang sebal. Pipinya yang berwarna putih kemerahan membuat Abyan tertawa. Hanya pada pagi hari dia bisa menggoda kakak keduanya karena kalau ayahnya tahu, dia pasti dimarahi. Bagi Sam, seorang lelaki harus melindungi wanita walaupun dia adalah seorang adik. “Tapi kantuknya hilang, kan?” kata Abyan tertawa. “Hilang karena cubitanmu yang bikin pipi aku sakit,” jawab Zeny sebal. “Siapa yang bikin pipi anak kesayangan papi sakit,” suara baritone terdengar dari arah pintu hingga mengalihkan perhatian. “Apakah sudah siang sekali hingga semua orang berada di dapur?” tanya ELza pada saat dia menerima ciuman singkat dari suaminya. “Aku tertarik mendengar suara-suara yang berasal dari keluargaku,” jawab Sam sementara tangannya masih melingkari pinggang istrinya, Elza. “Benarkah, bukan karena kalian sudah tidak sabar untuk sarapan? Sebentar lagi semuanya akan di bawa ke dalam,” jawab Elza. Bagi pasangan Samudera Edgar Pravite dan Elza Fabiana, usia tidak menghalangi mereka untuk tetap memeperlihatkan kemesraan mereka, walaupun di depan umum. “Tania, Zeny dan Abyan, kamu bisa bawa semua yang sudah ada di atas meja ke dalam ya,” perintah Elza pada ketiga anaknya. “Siap. Mom,” jawab ketiganya kompak. Mereka adalah keluarga dengan kehidupan ekonomi yang cukup berlebihan, tetapi sejak Elza menikah dia meminta pada Sam kalau dia boleh memanjakan keluarganya pada saat mengawali hari. Sam yang terlalu mencintai Elza memenuhi permintaan Elza, dan mereka sepakat menjadikan acara pagi adalah acara berkumpulnya anggota keluarga. Tidak ada alasan tidak bisa karena mereka semuanya ada di rumah, berbeda kalau mereka makan malam, karena mereka selalu memiliki alasan yang sudah pasti tidak bisa ditolak. Berkumpul di meja makan menikmati sarapan adalah kebahagiaan terbesar bagi keluarga. Sampai suara Sam terdengar kembali. “Kau mulai kerja hari ini, kan? Sudah memutuskan akan tinggal dimana?” tanya Sam. Hah? Apa maksud Sam dengan mengatakan Abyan akan tinggal dimana. Apa dia bermaksud mengusir putranya sendiri? Wajah ketiga wanita yang duduk mengitari meja makan terlihat bingung tetapi tidak dengan Abyan. Dia sudah bicara dengan Sam semalam. Abyan yang memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarganya. “Papi tidak bercanda, kan? Jangan katakan kalau Abyan harus tinggal di luar karena mami tahu bukan apartement mewah yang sedang papi bicarakan,” suara Elza terdengar marah. Cukup baginya putra bungsunya bekerja dengan jabatan yang rendah tetapi tidak kalau putra kesayangannya juga harus tinggal di rumah kecil dengan fasilitas serba terbatas. “Mom…bukan papi yang meminta Aby tinggal diluar, tapi atas keputusan Aby sendiri,” jawab Abyan. Tidak seharusnya dia membuat Elza marah, tetapi dia sudah mulai kerja di HSP dan tidak mungkin pula dia harus selalu bangun pagi-pagi karena rumahnya yang cukup jauh dengan HSP kalau dia harus datang tepat waktu. Pilihan terbaik adalah dia mencari tempat kos yang letaknya tidak begitu jauh dari HSP, tapi dia tidak mempertimbangkan sikap Elza yang akan meradang. “Begitu, lalu kenapa kau pulang ke Indonesia kalau memang tidak tinggal di sini. Kembalilah agar mami bisa selalu datang menemuimu,” ucap Elza pedas. Elza tidak bermaksud membuat suasana pagi menjadi buruk, tetapi ucapan Sam sudah merusak suasana yang harusnya masih segar tanpa ada kekacauan. Tania dan Zeny saling berpandangan. Sama seperti Elza, mereka juga tidak mengira kalau Abyan memutuskan tinggal berjauhan dengan mereka. Elza sudah lama menyimpan kerinduan pada putra bungsunya, tetapi tiba-tiba Abyan memutuskan keluar dari rumah, apa yang dipikirkan oleh Abyan? “By…kakak tahu kau ingin terlihat wajar dengan posisimu di perusahaan, tetapi tidak harus pindah dari rumah ini juga,” ucap Tania pelan. “Aku mengerti, Kak. Tapi aku memilih tinggal di luar rumah karena….” “Kau mau pekerjaanmu lancar, kan? Pergilah dan tidak usah peduli lagi dengan Mom. Maaf, Mom tidak bisa menemani kalian sampai selesai.” Baru pertama kali sepanjang usia perkawinan mereka, Sam melihat Elza sangat marah, terlebih lagi dia langsung pergi meninggalkan meja makan, sebuah tindakan yang tidak terduga. Apakah dia sudah berbuat keterlaluan? Dia hanya berusaha membuat putranya menemukan kekasih hatinya yang tidak melihat harta yang dimiliki oleh Abyan. “Kalian teruskan sarapannya, papi akan menemui mami kalian dulu,” kata Sam ikut meninggalkan meja makan. Di meja makan, Tania dan Zeny memandang Abyan dengan sebuah tuntutan agar adiknya menjelaskan tujuan sebenarnya. “Jadi…sekarang katakan apa tujuanmu yang sebenarnya,” jawab Tania tajam dan tegas. Di depan kedua kakak perempuannya yang biasanya selalu mendukung semua perbuatannya kini sama sekali tidak bisa di ajak kerja sama hingga Abyan hanya bisa menarik nafas lalu mengeluarkannya kembali secara perlahan. “Aku memang berencana untuk tinggal di luar, tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Aku juga tidak mengira kalau papi mengatakannya sekarang, apalagi pada saat sarapan,” jawab Abyan dengan menatap mata kedua kakaknya. “Tapi apa alasanmu? Kau tahu untuk membiarkanmu bekerja sebagai Event Planner, papi harus berkali-kali berpikir apakah mami akan setuju atau tidak. Dan kini kau mau tinggal terpisah…kakak tidak mengerti, By,” kata Tania. “Kakak tahu jarak rumah kita dengan HSP? Dan aku tidak mungkin pula datang ke hotel dengan mobil yang ada di rumah dengan pekerjaanku yang sekarang,” kata Abyan berusaha memberikan alasan. “Di sini banyak kendaraan yang bukan mobil mewah. Kau bisa memakai mobil Pak Jamal,” jawab Zeny. “Dan mereka akan bertanya siapa orang tuaku? Aku sudah melihat iklan yang menyediakan tempat kos, dan ada di belakang hotel kita tempat kos yang cukup bersih. Jadi aku pikir lebih dekat dari pada aku dari rumah kita ini,” jawab Abyan. “Jakarta bukan seperti yang kau bayangkan. By. Kakak tidak mengatakan kau salah dengan menganggap tempat kos adalah tempat yang paling bersih. Kenapa kau tidak tinggal di apartement saja. Bukankah kau punya apartement yang letaknya tidak terlalu jauh?” “Menurut kakak, lebih baik kau tinggal di apartement kalau memang ingin tinggal di luar. Bukankah Mami juga sudah tahu apartemenmu?” saran Zeny pada Abyan. “Kakak benar. Aku akan bicara pada mami. Tapi sebenarnya aku sungguh tidak menduga papi akan bicara sekarang. Bukankah biasanya papi selalu memikirkannya lebih dulu? Padahal semalam papi belum mengatakan setuju dengan permintaanku,” kata Abyan merasa bersalah. “Kau memang harus merayu mami dan jangan sampai membuat mami keterusan marahnya. Tapi tunggu sampai papi kembali karena kakak sendiri sedang membayangkan kira-kira bagaimana cara papi membujuk mami,” kata Tania dengan mengedipkan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD