Hari ini Dara merasa begitu tenang, pasalnya Hein sama sekali tak mencoba mengganggunya. Jangankan mengganggu, menyapapun tidak sama sekali. Setidaknya Dara merasa hidupnya kembali normal tapi tidak dengan hatinya.
“Dara, Anton mau nikah?” tanya Tasya saat mereka berada di pantry sambil menikmati secangkir kopi panas sebelum pulang kerja. Cuaca Kota Bandung akhir-akhir kurang begitu bersahabat, hujan selalu turun secara tiba-tiba. Contohnya hari ini, beberapa karyawan termasuk Dara memilih menunggu hujan reda dengan berkumpul di ruang pantry.
Dara mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah kartu undangan berwarna gold dan memperlihatkannya pada Tasya. “Dasar buaya! Bisa secepat ini dia nikah?” gerutu Tasya kesal.
“Aku ingat betul kata-katanya yang bilang ‘Aku gak bisa hidup tanpamu’ cih, najis” ujar Tasya kesal. “Dia nikah sama siapa?” ia mulai membuka undangan dan membacanya dengan seksama. “Jangan bilang dia nikah sama cewek yang kepergok ada di kosannya?” kening Tasya mengkerut.
Terlihat Dara yang mencoba menahan air matanya yang sudah terbendung di kedua kelopak matanya, berkali-kali ia mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha kuat meghadapi semuanya. “Iya” jawabnya singkat, meneguk kembali kopinya. “Aku harus datang” tambah Dara.
“Serius?” tanya Tasya tak percaya.
“Dia harus tau, kalo aku ini baik-baik saja. Aku mau minta tolong Julio untuk berpura-pura jadi pacar aku” jelas Dara mantap. Tasya tersenyum, menepuk-nepuk pundak Dara lembut. Mereka berdua tidak menyadari jika Hein sedari tadi mendengar semua pembicaraan mengenai Anton.
***
“Pagi” sapa Hein tersenyum saat Dara sampai di ruangan. “Bagaimana harinya Bu Dara?” tanya Hein dengan penekanan pada kata Ibu. Dara hanya memutar bola matanya, kembali berjalan melewati meja kerja Hein. “Katanya, mood itu bisa membaik kalo makan coklat loh” ucap Hein.
Sontak Dara melihat sebatang coklat tergeletak di meja kerjanya, ia segera melirik Hein. “Ini apa?” tanya Dara.
“Itu namanya coklat, belum pernah liat sebelumnya?” Hein balik bertanya dengan cuek, tanpa menatap Dara.
Dara menghela napas, ia gemas jika harus berurusan dengan Hein. “Iya saya tau ini coklat! Dalam rangka apa kamu kasih saya coklat?” tanya Dara sekali lagi.
Hein mengerakan kepalanya, kini ia menatap Dara. “Siapa yang kasih coklat, Bu?” tanya Hein.
“Kalo bukan kamu lalu siapa yang taruh coklat di meja saya!” gumam Dara, menaruh tasnya kemudian duduk.
“Wah ... jangan-jangan Ibu berharap coklat itu dari saya ya? Aduh ... saya kan jadi malu kalo Ibu berpikiran seperti itu” ucap Hein tertawa memamerkan deretan giginya.
Dara memutar bola matanya, “Sudah diam kamu!” perintah Dara, ia membuka coklat dan memakannya sedikit demi sedikit.
Hein tersenyum melihat Dara yang begitu menikmati coklat pemberiannya.
***
“Kenapa mendadak gini sih gak bisanya!” gerutu Dara mengentak-hentakan kakinya kesal. Bagaimana bisa, Julio mendadak membatalkan untuk menemani dirinya datang ke pesta pernikahan Anton disaat Dara sudah sampai terlebih dahulu di gedung resepsi. “Sekarang apa yang harus aku perlihatkan pada Anton!” ucap Dara menjambak rambutnya.
Dara merasa tak ada gunanya ia datang ke acara pernikahan sang mantan kekasih yang sudah dipacarinya selama hampir lima tahun lamanya. Ia menghela napas dan memutuskan untuk kembali pulang saja.
“Sudah lama menunggu ya?” suara itu menghentikan langkah kaki Dara. “Saya harus mencukur bulu-bulu halus yang sudah mulai tubuh di wajah saya dulu” tambahnya lagi.
Dara membalikan tubuhnya melihat sosok pria yang berbicara padanya. “Hein?”
Tanpa aba-aba ia menarik tangan Dara, “Sudahlah ayo ... saya begitu sangat lapar” ujar Hein, menggenggam tangan Dara masuk ke dalam gedung pernikahan. Tanpa bisa mengelak, Dara mengikuti langkah kaki Hein.
Kini jantung Dara seolah berhenti berdetak tatkala akan berhadapan dengan Anton dan istrinya di pelaminan. Ia sungguh tak sanggup melihat, lututnya seolah lemas. Hein menatap Dara, ia menarik pinggang Dara hingga begitu dekat dengan tubuhnya.
“Auh ... kamu begitu cantik” ucap Hein mencubit pipi Dara tepat disaat giliran mereka berdua akan bersalaman dengan kedua mempelai. “Aku benar-benar beruntung mendapatkanmu” tambahnya dengan mengecup pucuk kepala Dara.
Sialnya Dara tidak mampu berkata apa-apa saat ini, meskipun tangannya ini sekali menggaruk wajah Hein yang begitu total menjadi pacar pura-puranya di hari ini.
Sontak Anton menatap mereka berdua, “Dara” sapa Anton.
Dara mencubit pingang Hein, kemudian tersenyum pada Anton dan menyalaminya. “Selamat ya Ton, semoga jadi keluarga samawa” ucap Dara. Anton terdiam dan terus menatap Dara yang terlihat begitu cantik mengenakan dress mini berwarna merah dengan rambut yang ia biarkan tergerai.
“Oia, selamat ya Ton ... perkenalkan saya Hein. Doakan kami segera menyusul ya, astaga! Saya sungguh bersyukur bisa mendapatkan wanita secantik ini” puji Hein mengusap kepala Dara lembut. Mata Dara seolah akan keluar saat ini juga jika saja tidak berada dihadapan Anton dan istrinya.
“Kenapa buru-buru pulang sih? Saya belum makan semuanya” ucap Hein yang ditarik paksa Dara keluar dari gedung.
Dara melepaskan tangannya, “Oh astaga! Mimpi apa saya semalam ... kenapa bisa kamu yang menjadi pasangan pura-pura saya dipernikahan Anton” gerutu Dara memijat keningnya.
“Jadi kamu ingin menjadi pasangan sungguhan? Ya ampun, harus secepat ini ya? Saya malu jadinya” jawab Hein menutup kedua wajahnya manja.
“Haiss ... ingin sekali saya memakanmu saat ini juga!” ucap Dara kesal berjalan meninggalkan Hein yang kini mengikutinya dari belakang.
“Apa kamu masih sakit hati melihat mantanmu itu?” tanya Hein tiba-tiba.
Tanpa berbalik ke belakang Dara terus berjalan seolah tak memperdulikan pertanyaan Hein barusan, hingga langkah kakinya berhenti di sebuah taman yang letaknya tak jauh dari gedung resepsi. Hein yang masih mengikutinya ikut menghentikan langkah kaki.
Tiba-tiba Dara menangis, membuat Hein sedikit panik. Bagaimana tidak? Kini Hein seolah-olah menjadi tertuduh, tersangka satu-satunya yang membuat Dara menangis.
“Kamu kenapa?” tanya Hein mendekati tubuh Dara.
Dara yang menutup kedua wajahnya masih terus menangis, “Gimana bisa buaya itu bikin hidup saya hancur! Setelah pernikahannya membuat hati saya remuk, sekarang sepatu saya ikut rusak” ucap Dara, mata Hein sontak melihat ke arah kaki Dara untuk memastikan ucapannya barusan.
Hein sedikit tersenyum, kemudian merangkul tubuh Dara untuk duduk. “Menangislah” ucap Hein disaat mereka berdua duduk berdampingan. Tanpa aba-aba Dara segera menangis dipundak Hein, mengeluarkan semua amarah dan rasa sakit yang ia rasakan lewat tangisan.
“Tutupi saya!” pinta Dara sesegukan.
Hein melebarkan jas hitam yang dikenakannya dan menutupi sedikit kepala Dara. “Setelah menangis cobalah untuk melupakan semuanya!”
***
Sesampainya di rumah, Dara terlihat tersenyum melihat sepasang sendal jepit yang dikenakannya barusan.
#Flashback
“Apa kamu mau pulang dengan sepatu tinggi sebelah?” tanya Hein setelah Dara berhenti menangis. Dara menggeleng pelan. Hein kemudian bangkit, meninggalkan Dara sendirian.
Dara terus meracau, sambil mengumpati kelakuan Hein yang malah meninggalkannya disaat ia tengah kesulitan hingga sepasang sendal jepit kini berada di hadapannya. “Sulit menemukan yang sempurna, tapi jika ini membantu kenapa tidak?” ucap Hein menaruh sendal itu di bawah kaki Dara. “Cobalah, semoga cukup”
Dara melepaskan sepatunya dan beralih mengunakan sendal jepit. “Ini cukup” Dara mencoba berbicara sesantai mungkin dengan Hein.
“Bisa kita pulang sekarang? Saya akan mengantarmu” ajak Hein bangkit terlebih dahulu.
“Kamu membawa mobil?”
“Tidak, untuk apa? Mobil saya banyak ... tuh!” tunjuk Hein pada Bis Damri yang melewati jalan raya di seberang taman.
Dara memutar bola matanya, “Kalo gitu untuk apa diantar!” jawab Dara bangkit. “Tunggu, kenapa tiba-tiba kamu bisa mengantikan Julio?” tanyanya pada Hein yang kini menelan air liurnya yang terasa sangat berat.
“Tunggu, kenapa kamu tidak mengucapkan terima kasih pada saya?” Hein balik bertanya. Ia mencoba mengalihkan pertanyaan Dara barusan.
Dara mendecakan bibirnya, “Terima kasih banyak, lain kali jasa kamu akan saya balas” ucap Dara membungkukkan sedikit tubuhnya. “Kenapa kamu tidak bertanya soal Anton?”
Hein memasukan kedua tangannya pada saku celana, sambil berjalan. “Saya tidak mau mengorek sebuah luka, dan saya sudah cukup tau jika pria itu yang menorehkan lukanya” jawab Hein semakin membuat Dara tecegang.
“Astaga!! Ada apa dengan pikiranku ini!!” teriak Dara melemparkan sepasang sedal dan terburu-buru masuk ke dalam rumah. “Bagaimana bisa bocah itu kini terus ada di dalam pikiranku!” gerutunya lagi, bergegas menuju dapur dan meminum rakus sebotol air mineral.
***