Adorable 2

1007 Words
Hein Cello tersenyum ketika membaca sebuah email masuk untuknya, pria bermata bulat dan berhidung mancung itu berkali-kali membacanya sepertinya ia begitu bahagia. "Yes!! Akhirnya kesempatan ini datang juga" gumam Hein memutar-mutar kursi yang tengah didudukinya. Segera ia bangkit dan berjalan menuju lemari, memilih pakaian yang akan dikenakannya esok hari. Ya, Hein mendapat panggilan wawancara di PT. Lintang sebuah perusahaan yang cukup besar seperti keinginannya. Ia mengeluarkan kemeja dari dalam lemari dan mencobanya satu persatu sambil bercermin. Pertama ia mengenakan kemeja polos berwarna biru langit dilengkapi dasi coklat yang membuat penampilannya semakin menarik. Lihat saja, bentuk tubuhnya? Bisa dicermati dengan baik jika Hein salah satu pria berwajah Bebelac bertubuh L-Men. Mengenakan pakaian apapun jika digunakan olehnya akan selalu terlihat bagus. Kini pilihannya jatuh pada kemeja putih polos, celana hitam dan dasi coklat, sambil tersenyum ia berbicara pada dirinya sendiri. "Saya Hein Cello, yang anda email kemarin" ucapnya sok cool. Astaga, untung saja dia tampan jika tidak mungkin cermin itu akan retak. Diusia yang cukup matang atau dibilang dewasa, ia kini harus betitle ‘Pengacara’ yang dalam kata lain ‘Pengannguran Banyak Acara’ itu karena Hein memutuskan untuk keluar dari pekerjaan sebelumnya karena ia mengalah pada sang keponakan yang baru saja lulus kuliah. Ia tahu jika mencari kerja tidak dibekali dengan pengalaman akan begitu sulit. Sungguh pria seperti Hein ini idaman para wanita. Tapi bodoh jika kita baca sekali lagi alasannya keluar hanya untuk mengalah. *** Hein tiba di PT. Lintang, ini kali kedua dirinya datang kesini setelah melakukan serangkaian tes dan berhasil mengalahkan beberapa pelamar. Sambil terus menebar senyuman ia menuju meja resepsionis untuk menanyakan jadwal wawancara dengan kepala HRD. "Selamat Pagi, saya Hein pelamar yang lolos seleksi" kenal Hein pada Rara. Rara membalas senyuman Hein yang begitu manis, ia segera meminta Hein untuk duduk sedangkan Rara menelpon langsung Ibu Dina, kepala HRD. Hein bukannya duduk, ia malah memperhatikan setiap sudut kantor sambil berjalan kecil dengan sebelah tangan dimasukan ke dalam saku celananya. "Awas!! Minggir!!" teriak Dara berlari dengan kecepatan penuh. Hein hanya menatap wanita yang kini berlari kearahnya tanpa bergerak sedikitpun, akhirnya Dara menabrak Hein hingga jatuh tersungkur ke lantai.  "Ah s**t!! Dibilang minggir!!" dengus Dara bangkit sambil memegang bokongnya yang barusan menyentuh lantai terlebih dulu, ia berjalan menuju mesin absen. "Arrghh ... bye uang makan!!" ucapnya meratapi nasibnya pagi ini tanpa peduli dengan Hein yang kini menatapnya heran. "Pagi Bu Dara, ini bukan hari Senin loh" goda Rara terkekeh. "Semalam episode terakhir ... gak kuat buat berhenti nonton" jawab Dara cuek, kini ia malah masuk ke dalam lift sama sekali tak melihat Hein, pria yang ditabraknya. "Ya ampun! Ada apa dengan wanita itu?" gumam Hein, menepuk-nepuk celananya yang kotor sambil terus menatap Dara dari belakang. "Pak Hein Cello, silahkan menuju lantai dua ... Ibu Dina sudah menunggu" suara resepsionis akhirnya menyadarkan pandangan Hein.  Hein mengangguk, namun ia malah mendekati Rara sambil berbisik. "Wanita tadi itu siapa?" tanyanya ingin tahu. "Bu Dara maksudnya?" jawab Rara. Hein mengangguk, "Oh dia itu staf admistrasi di sini ... si Supel Girl" tambahnya lagi. "Pagi ini sambutan yang dia berikan membuat p****t saya semakin bohay" gumam Hein membuat Rara tak tahan untuk tidak tertawa. ***  Selama hampir tiga puluh menit Hein berada di dalam ruangan Ibu Dina, kepala HRD. Semua pertanyaan yang dilontarkan Ibu Dina mampu Hein jawab dengan pasti membuat senyuman terlihat dari bibir Ibu Dina yang biasanya terlihat sangat jutek. "Oke, Pak Hein ... selamat bergabung di perusahaan kami ... semoga Bapak bisa berkontribusi besar" sambut Ibu Dina bangkit dari kursinya seraya mengulurkan tangan ke arah Hein. "Baik Ibu Dina, terima kasih banyak" saut Hein membalas jabatan tangan Ibu Dina. "Kapan saya bisa mulai bekerja?" "Besok anda bisa langsung bekerja, mari saya antar anda ke ruangan administrasi" jelas Ibu Dina berjalan terlebih dahulu, diikuti Hein dibelakangnya. Kini beberapa pasang mata mengikuti langkah demi langkah Hein, terutama para karyawan wanita yang seolah tak berkedip menatap pria yang sedari tadi terus saja menyunggingkan senyuman maut. Hingga akhirnya Ibu Dina dan Hein sampai di lantai tiga, dimana Hein akan menempati ruangannya mulai besok. "Pak Hein, lantai tiga ini d******i oleh para staf administrasi, baik itu admistrasi keuangan, penjualan atau piutang. Sebelum anda mulai bekerja, anda harus mengikuti training bersama staf senior disini" jelas Ibu Dina lagi secara terperinci.  Mereka berdua sudah sampai di ruangan administrasi, semuanya terlihat begitu sibuk. Ada yang menginput data, mengangkat telpon hingga menekan mesin foto copy begitu kasar membuat Ibu Dina mendeham keras. Namun mata Hein kini berhenti pada sosok wanita yang tak asing lagi baginya, Hein menatap wanita itu lekat sambil terus mengikuti langkah kaki Ibu Dina dari belakang. "Baik, nah benar seperti itu ... kamu pintar" suara Dara yang tengah berdiri di belakang karyawan yang mengenakan kemeja putih terdengar dan begitu Hein kenal, "Besok kamu bisa mulai pekerjaan kamu sendiri ya ... tanpa saya harus bantu" pesan Dara lagi, Hein tersenyum karena kini Ibu Dina benar-benar membawanya mendekati sosok Dara. "Selamat pagi Bu Dara" sapa Ibu Dina membuat Dara membalikan tubuhnya dan segera membungkukkan badannya sedikit. "Eh Ibu Dina, selamat pagi" balas Dara tersenyum, kening Hein mengkerut melihat perubahan tampilan wanita yang jelas-jelas ia lihat begitu selebor hingga menabrak dirinya di meja resepsionis pagi tadi. "Perkenalkan ini sodara Hein, beliau akan ditempatkan di bagian keuangan menggantikan karyawan kita yang mengundurkan diri. Sodara Hein, ini Ibu Dara staf senior administrasi disini" terang Ibu Dina diangguk Dara. "Saya Dara, staf administrasi" kenal Dara tersenyum sambil memberikan tangannya untuk dijabat. 'Kenapa dia berbeda sekali? Bahkan dia sama sekali tidak mengenali saya? laki-laki yang di tabrak nya?' batin Hein. "Pak Hein?" suara Dara memecahkan pikiran Hein, dengan segera ia membalas jabatan tangan Dara. "Baiklah Bu Dara, mulai besok Pak Hein akan bekerja dan saya ingin anda mentraining nya terlebih dahulu ..." perintah Ibu Dina to the point. "Tapi Bu, saya masih ada--" "Saya minta anda" potong Ibu Dina sedikit menurunkan kaca matanya. Dara mengangguk, "Baik Bu ... selamat bergabung Pak Hein" ucap Dara sekali lagi. Hein tersenyum, ia menatap Dara dari bawah sampai atas. Namun ia tak sanggup menahan tawa ketika berbalik kebelakang melihat Dara mencebikan bibirnya untuk Ibu Dina. 'Dia lucu sekali' batin Hein, berjalan mengikuti Ibu Dina kembali. *** Lanjut nggak? Komen yaaaaaaaaaaaaa, Lanjut nggak? Komen yaaaaaaaaaaaaa Lanjut nggak? Komen yaaaaaaaaaaaaa Lanjut nggak? Komen yaaaaaaaaaaaaa Lanjut nggak? Komen yaaaaaaaaaaaaa Lanjut nggak? Komen yaaaaaaaaaaaaa Lanjut nggak? Komen yaaaaaaaaaaaaa Lanjut nggak? Komen yaaaaaaaaaaaaa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD