Bab 4

2644 Words
"Edgar Wibisono usia tujuhbelas tahun. Tercatat sebagai murid SMA Matahari kelas sebelas IPA tiga semester dua." Lagi-lagi pendataan soal Edgar dibacakan lantang untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu lima jam. Edgar sendiri terduduk di kursi keras menghadap langsung pada seseorang inspektur kepolisian. Ia memakai tudung jaket hitam gelapnya, menunduk dalam sambil melirik polisi tersebut dari kelopak matanya, kakinya ia angkat satu ditekuk mengenai paha sementara kedua lengannya berlipat dibawah d**a. Cahaya yang remang-remang di bawah mereka serta damainya ruangan. Membuat suasana sangat mencekam. "Sekalian biodata lengkapnya bacain. Dimana saya lahir, tanggal lahir, golongan darah, makanan dan minuman favorit." ketus Edgar sembarangan. Pria berusia tigapuluh lima tahun di depannya itu lantas saja terkekeh menaruh lembut selembaran berisikan data Edgar. Pria tersebut melipat lengannya di atas meja memperhatikan Edgar dengan kening berkerut. "Bisa gak saat kayak begini kamu jangan bertindak seolah-olah seorang pembunuh berdarah dingin?" "Bisa gak saat kayak begini jangan taruh saya di ruangan isolasi? Saya bukan seorang buronan berbahaya bagi keselamatan seluruh umat di dunia." Utama tergelak dari kursinya. Ia menggeleng, sudah biasa kalau Edgar mengatakan ruangan introgasi sebagai ruangan isolasi. Pasalnya ruangan ini sangat tertutup dan kedap suara. "Gar, tolong jelaskan pada saya bagaimana kronologi lengkapnya hal itu bisa terjadi?" "Begitu aja. Gak ada yang berarti buat di ceritain ulang." Utama memijit kepalanya pening. Dari lima jam lalu anak itu sama sekali tak mau buka suara kalau di tanya kronologi lengkapnya mengapa barang haram tersebut bisa ada di tempat sekitar mereka berkelahi, di tambah juga dengan adanya botol minuman keras di belakang semak-semak tempat ia memukul Alfin. Edgar sendiri pun malas menanggapinya karena ia memang tak perlu menjelaskan apapun. Ini bukan kesalahannya, toh ia tak tau apapun masalah benda-benda tersebut. Yang ia tau, ia berusaha menyelamatkan Sapri dari kekangan berandalan tak jelas sekolah jejekampok. "Gar, kalo kamu terus seperti ini kamu bisa ditahan sama pihak kepolisian." Edgar melepaskan tudung jaketnya kasar. "Kalo begitu kenapa gak dari tadi ditahan? Kenapa harus repot-repot ambil urin buat liat saya pake shabu atau enggak dan menyuruh saya bersama teman-teman menunggu." sinis Edgar menantang Utama. Utama menghela napas gusar. "Sebenarnya kamu tinggal menceritakan semuanya yang terjadi. Di antara teman-temanmu hanya kamu yang gak mau buka mulut. Om percaya kamu gak mungkin terlibat menggunakan benda haram tersebut tapi bagaimana dengan polisi yang lain? Mereka meragukanmu." "Kenapa?" Edgar menurunkan kakinya ke lantai. Ia menaruh kedua telapak tangannya diatas paha lalu menyeringai sinis kepada Utama. "Karena Ayah saya seorang pidana di sini? Mereka beranggapan saya gak jauh beda dari si b******k?" "Edgar." Peringatan keras Utama membuat seringai iblis Edgar menjadi culas. "Saya beda dari dia. Kalo yang Om maksudkan begitu. Kita buktikan siapa yang benar. Tunggu tes urinnya selesai." Utama tak bisa berkutik lagi membalas segala perkataan Edgar. Lelaki itu terlalu bahaya jika terus di tantang. Tak sungkan Edgar bisa menghancurkan kantor kepolisian kalau memang seluruh orang yang berada disini sungguh menjengkelkan baginya. Pria berusia tigapuluh lima tahun ini adalah Omnya Edgar, bisa dibilang Utama Wibisono adalah Adik Ayahnya yang saat ini sedang menjalani masa hukumannya sejak lima tahun lalu. Utama menyandarkan tubuh lelahnya ke kursi. Ia melipat kedua lengannya di depan d**a, memperhatikan raut wajah datar Edgar seksama. Lelaki itu berubah betul rupanya dari beberapa tahun silam. "Kabarmu bagaimana?" Edgar berdecih sinis, ia ikut menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi. Tentu Edgar tau apa maksud dari basa basi Utama. "Masih di rumah Tante Rinjani." Utama tersenyum, rupanya Edgar mengenal dirinya begitu dalam. "Gak ada niat buat pulang ke rumah?" Alis Edgar naik satu. "Om mau nyuruh saya kembali ke neraka?" Utama tertawa seraya menggeleng. "Yah, Om jadi kamu juga gak mau pulang ke rumah," pria itu menatap Edgar hangat. "Tapi, kamu gak khawatir sama keadaan Ibumu?" "Gak." "Dulu kamu bilang sayang sekali dengan Mbak Senja. Kenapa sekarang sekadar mengkhawatirkannya pun kamu gak mau?" "Mamah bukan lagi yang saya kenali." "Ibumu tetap sama, Gar. Kasih sayangnya tetap sama seperti kamu waktu kecil. Apa yang membuatmu jadi begitu sinis pada wanita yang sudah melahirkanmu ke dunia?" Edgar bungkam. Ia enggan memberi komentar apapun tentang Ibunya. Sebagian kecil hati Edgar terenyuh saat sadar betapa terlihat durhakanya Edgar saat ini. Tak lagi menghormati Ibunya sebagaimana dulu ia lakukan. Namun apa yang harus Edgar lakukan? Sekadar kembali ke rumah hanya untuk menemui Ibunya pun sama saja tak berguna. Karena Ibunya sendiri tidak mengakui adanya Edgar. Setiap kali Edgar pulang ke rumah hanya tangisan yang selalu ia dengar keluar dari mulut sang Ibu. Edgar selalu berlari menghampiri Ibunya namun yang ia dapatkan hanyalah pukulan serta teriakan penuh kebencian. Senja berbeda. Bukan lagi sesosok wanita lembut dengan sorot kehangatannya untuk Edgar. Putra sulungnya. "Kabar Adikmu membaik?" Utama berusaha mengalihkan topik pembicaraan yang berat tadi tapi ia lupa kemana pun arah obrolannya. Tetap saja itu berat bagi seorang Edgar. Edgar menghembuskan napas berat. Ia teringat belum menjenguk Adiknya di bangsal rumah sakit Cendekia. "Kemarin Om Fernan nelfon ngasih tau kalo Jingga," Edgar menutup sejenak matanya. "Kondisinya masih sama," ia membuka matanya kembali. Tersorot kesenduan terdalam bagi siapapun yang melihatnya. "Gak ada kemajuan." Utama mengelus pelipisnya. Kondisi keponakan perempuannya sangat mengkhawatirkan sejak lima tahun lalu peristiwa itu terjadi. Ia pikir setelah Jingga dibawa ke psikiater terkenal di Amerika paling tidak ia bisa kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa namun anak itu tak kunjung berubah sampai akhirnya mereka bertemu Dokter Fernan, lulusan kedokteran anak di Jerman. Setahun sudah berlalu tetapi tak membuahkan hasil apapun. Utama sampai jatuh sakit memikirkan keluarga Kakak laki-lakinya yang hancur berantakan. Ia sendiri pun bingung apa motif dibalik perbuatan b***t Kakak laki-laki kandungnya sampai bisa setega itu. Yang selama ini ia ketahui Ayah Edgar seorang dermawan dengan hati yang tulus memberi siapapun orang yang membutuhkan bantuannya. Makanya sewaktu ia dapat kabar masalah kasus keluarga Edgar, Utama pun sampai pingsan. Bagaimana tidak? Ini semua terlihat mustahil dan sangat mendadak! Sekalipun media dan khalayak tak mengetahui kasus keluarga Wibisono karena dengan gesit Utama menyelesaikannya dengan memberi suapan supaya tak menyebar luas, tetap saja. Kasus yang menimpa keluarga Edgar begitu memusingkan. Berputar-putar tiada henti bahkan hingga sekarang di pengadilan pun kejelasan kasus keluarga Edgar tetap sama. Tidak tercatat resmi. "Sejak kemarin Kak Anthony terus menanyakan kabarmu," Utama membuka mulut setelah menit-menit dilalui oleh kesunyian. "Cobalah untuk menemuinya sebentar." Edgar berdecih sinis. "Jangan harap saya mau menemuinya sebelum saya lihat dia sudah berada di liang lahat." Utama menghembuskan napas berat. "Edgar, Om tau apa yang sudah Ayahmu lakukan sungguh memilukan hati. Tapi pernahkah sebuah pertanyaan muncul dibenakmu mengenai semua kasus ini?" "Maksud Om?" Edgar mengerutkan kening tak mengerti. Utama berdeham memajukan tubuhnya hingga menyentuh pinggiran meja. "Menurutmu apa kasus ini tidak terasa begitu aneh? Janggal." "Aneh? Janggal?" ulang Edgar pongah. Utama mengangguk mantap. Sudah lama ia ingin membicarakan masalah ini pada putra pertama Kakak laki-lakinya. "Ayahmu terlalu mustahil untuk melakukan semuanya. Walau semua bukti mengatakan Ayahmu bersalah tapi kamu tau kenapa pengadilan tidak mencatat resmi kasus Ayahmu dan malah meletakkannya didalam kasus percobaan dalam jangka panjang?" Otak Edgar merespons cepat menerima segala perkataan Utama. Ketika ia berhasil mencernanya Edgar pun baru sadar kalau selama ini, hukuman yang dijalani sang Ayah hanyalah percobaan jangka panjangnya. "Om..." "Benar," Utama tersenyum menang. Ia puas melihat wajah terkejutnya Edgar. "Kita harus cari bukti kalo Ayahmu tidak bersalah." "Tapi, semua bukti udah terkumpul bukan? Ayah bersalah. Walau pengadilan masih ragu meresmikan kasus Ayah." terang Edgar ragu-ragu. Utama mengedikkan bahunya acuh. "Om gak pernah percaya. Kamu tau? Dunia politik itu kejam. Ada uang, kemenangan bisa kamu raih," lalu ia mengeluarkan secarik kertas usang dan di letakkannya di atas meja. "Om percaya Kak Anthony tidak bersalah. Ia hanya dijebak oleh orang lain dengan cara yang tak kita duga." Dan kertas itu pun melayang ke depan Edgar. Ia mengerutkan memperhatikan secarik kertas dengan ujungnya yang sudah menguning bahkan tulisannya pun sedikit sudah memudar seperti terkena air. Ia mengambil kertas tersebut lalu membacanya pelan-pelan. Butuh sepuluh menit bagi Edgar mengerti apa tulisan yang tertera di kertas tersebut karena selain kecil dan bersambung acak tintanya pun sudah memudar dan juga luntur. Ketika ia mendongak. Menatap Utama tak percaya. Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum menenangkan. "Hukum bisa dibeli oleh uang. Bisa ditipu oleh media. Bisa dipersulit oleh pemerintahan. Tapi hati nurani seorang manusia berhati tulus tidak akan pernah mengkhianati kejujuran atas segala tindakan yang ia lakukan. Om mempercayai semuanya. Ayahmu sama sekali tidak mengetahui hal ini terjadi. Ia di jebak." ••••• Sesampainya di rumah Bian memberitahukan bahwa tamunya tidak jadi datang karena ada salah satu dari pihak keluarganya yang sakit maka dari itu ketika Lollypop di santroni oleh Eggy secara tiba-tiba untuk meminta izin membawanya jalan-jalan keluar rumah sebentar, Bian pun menyanggupi dengan senyuman lebar penuh maksud. "Eggy sekarang udah resmi nih sama anak Om?" tanya Bian dengan cengiran khasnya menatap Eggy menggoda. Eggy mengangguk, pipinya merah tersipu malu. "Iya gitu deh, Om." Bian tertawa menepuk-nepuk punggung Eggy keras. "Dompet kamu itu di jaga baik-baik, Gy. Bahaya bisa jadi setipis kertas kalo diliat sama Lollypop dalemnya." Lollypop menghentakkan kaki jengkel. Tadi Ayahnya itu sudah bikin malu untungnya sebelum Bian banyak berkomentar lagi Lollypop langsung menarik Eggy keluar rumah dan di lanjutkan langsung ke arah Mall di pusat kota. Eggy mengajak Lollypop menonton bioskop yang memang sudah sangat Lollypop inginkan dari lama hanya saja ia harus bersabar menunggu sampai dua tahun. Ternyata sesampainya di sana mereka kebagian pukul delapan malam alhasil Eggy mengajak Lollypop untuk makan dulu. Eh, tak di sangka. Baru juga mereka menduduki bangku Eggy sudah ditelfon pihak rumah untuk segera kembali pulang karena secara mendadak ada acara keluarga di luar kota yang harus ia ikuti. Maka dari itu kini Lollypop seorang diri menelusuri taman kota yang sepi dan gelap. Tadinya sih Eggy ngotot mau mengantarkannya sampai rumah tetapi melihat kerutan kecemasan di air muka Eggy, Lollypop pun jadi enggan menerima tawarannya. Siapa tau kan acara keluarganya memang sepenting itu. "Ih! Papah mana sih dari tadi di telfon gak diangkat-angkat!" gerutu Lollypop mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke layar ponsel. Gara-gara jalanan macet total Lollypop jadi malas naik taksi, untung saja jarak Mall dengan rumahnya tak terlalu jauh hanya perlu melewati beberapa gang kecil lalu disusul oleh taman kota yang nantinya akan berujung pada jalan besar dan sekitar lima menit pun gerbang komplek besarnya terlihat. Bisa dibilang. Setengah jauh setengah dekat juga sih. "Ah Papah jahat!" sebal Lollypop memutuskan sambungan telfon yang untuk ketigapuluh kalinya tak terjawab. "Pegel nih! Mana gelap lagi. Sialan!" Tapi itu lebih baik daripada harus terjebak macet berjam-jam bukan? "Eh, Eneng. Malem-malem sendirian aja nih." Oke, sepertinya lebih baik kejebak macet daripada membahayakan diri berada di kesunyian dan kegelapan saat malam hari. Dari arah depan tiga orang pria bertubuh tinggi besar muncul dengan mata yang berkedip lucu. Lollypop mundur selangkah merasa ngeri melihat ketiga pria tersebut. Wajahnya sih memang gak sangar tapi mengetahui kondisi sekitar Lollypop saat ini membuat tubuhnya secara refleks bergetar takut. Si kepala botak dengan kumis tebal mengedipkan sebelah matanya genit. "Cantik-cantik jangan keluar malem begini, bahaya, Neng." Lollypop menggerutu kesal. Jijik banget digodain sama Om-Om begini di tempat gelap! "Abis kemana sih, Neng? Cantik banget kayaknya." yang wajahnya paling lucu di tengah-tengah itu bersuara. Rambutnya keriting panjang. Sebelahnya lagi, bertubuh tambun memakai kacamata pun tersenyum lebar. "Abang anterin yuk, Neng. Gak pegel tuh kaki jalan sampe rumah?" Lollypop bergidik ngeri. "Apaan sih?! Pergi sana jangan ganggu gue!" Si kepala botak tertawa memukul perut buncitnya selayaknya gendang ditabuh. "Galak banget sih padahal kita kan baik-baik ngomongnya." "Udah pulang kita anterin aja, Neng. Dijamin aman deh seratus persen," si rambut keriting mengangkat jari telunjuk serta tengahnya ke udara. "Suwer tekewer-kewer deh, Neng." Ugh, Lollypop menggigit kuku-kuku panjangnya gelisah. Gimana ini? Ia sendirian. Manaan gelap lagi! Sialan bener. Sudah tak jadi makan malam, tak jadi menonton, Eggy juga sudah pulang. Hancur sudah semuanya berantakan. Gak banget pokoknya malam ini! "Woy, Bang!" Sesosok lelaki memakai jaket hitam muncul dari belakang ketiga. Sontak mereka pun menoleh secara bersama-sama, menyambut telapak tangan dari seorang lelaki yang masih berbalutkan seragam SMA itu. "Belum pulang, Gar?" tanya si kepala botak cengengesan. Lelaki itu, Edgar lantas tersenyum mengangguk. "Biasa, Bang, ditahan sama squad Om Tama." Lollypop memandang tak percaya. Itukan Edgar, dia ngapain pula ada di sini? Malam-malam lagi. Masih pakai seragam sekolahan dan kenal sama para preman itu? Ck. Seharusnya Lollypop tak sekaget ini Edgar sih wajar-wajar saja soalnya kan dia hobi berantem sudah pasti bertemannya dengan preman. "Bang Jaka, angkot udah penuh tuh," dagu Edgar mengedik ke pinggir jalan raya dekat taman. "Nunggu apalagi dah? Nunggu diamuk massa baru mau jalan?" Pria dengan rambut keriting yang panjang menyengir. "Macet total, Gar. Nunggu sepi dulu jalanan." "Yeh si Abang ngapain di tungguin? Gak bakal kelar juga jalanan. Kayak kagak tau aje Jakarta begimane, Bang." "Lah iye baru sadar. Udah dah kalo gitu gue ke sana dulu," belum sempat ia melangkah pria bernama Jaka itu menepuk jidatnya kemudian menatap Lollypop kembali. "Neng, tawaran Abang masih berlaku. Mau dianterin pulang gak? Gratis buat Eneng mah." Lollypop memasang ekspresi kepengin muntah lalu melotot pada Edgar yang menaikkan satu alisnya menatap Lollypop aneh. "Yeh, galak bener dari tadi. Dah ah gue mau narik angkot. Duluan Bang, Gar." Setelah Bang Jaka pergi Edgar beralih menepuk pundak kedua pria besar itu. "Balik ke pangkalan, Bang. Dari tadi saya liat banyak penumpang yang naik tapi gak ada orangnya." "Waduh beneran tuh, Gar?" tanya si botak kelimpungan. "Serius saya Bang." Pria berkacamata langsung menarik tangan si botak buru-buru. "Cepetan Bang kita harus balik! Kalo sekarang gak ke kumpul duit banyak bisa di kunciin gue di luar sama istri gak boleh tidur di kamar," lalu ia pun menepuk pundak Edgar sambil berlalu. "Duluan, Gar." Seakan melupakan fakta bahwa tadi mereka sehabis menggoda Lollypop yang jalan sendirian pun meninggalkan gadis itu bersama Edgar. Selepas mereka pergi Edgar berdeham menarik perhatian Lollypop. Lelaki itu terkekeh melihat sejak tadi dari kejauhan bagaimana Lollypop merasa takut. Padahal Edgar tau persis kalau ketiga pria tadi tidak bermaksud jahat mereka hanya menawarkan jasa dari pekerjaan mereka pada Lollypop hanya saja cara mereka itu kelewat menakutkan bagi seorang perempuan di malam hari. "Ngapain malem-malem di tempat gelap begini? Sendirian lagi." Lollypop mencebik jengkel. "Kepo banget jadi orang," ia melipat kedua lengannya di bawah d**a lalu melirik Edgar dari ekor matanya. "Kok lo kenal mereka sih?" "Siapa?" Edgar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dagu Lollypop mengedik kearah ketiga pria itu pergi. "Preman tadi." Edgar tergelak. "Mereka bukan preman tapi supir angkot sama tukang ojek di pangakalan depan." "Mana ada supir angkot sama tukang ojek tampangnya kayak preman!" sergah Lollypop tak percaya. Edgar mengangkat satu alisnya. "Emang lo liat codet atau bekas-bekas kekerasan di tampang mereka?" Lollypop berpikir sejenak. Kalau diingat-ingat tadi Lollypop kan tak takut melihat wajah mereka hanya takut karena kondisinya sangat gelap saja. Toh wajah ketiga pria tadi tidak seram. Edgar tersenyum menggelengkan kepalanya. "Mau pulang?" tanya lelaki itu halus. "Menurut lo?" Lollypop balas ketus. "Mau nyamperin gue buat ngajak jalan." Edgar menanggapi santai. Lollypop bergidik jijik. "Dalam mimpi!" lalu ia menghentakkan kaki dan berbalik. Ngomong sama Edgar akan mengurangi kecantikannya karena terus marah-marah dan meladeni segala ucapan gak pentingnya itu. "Woy," Edgar melantangkan suara hingga Lollypop berhenti. "Ngapain muter badan? Rumah lo bukan di sana." Oh iya. Lollypop merutuki dirinya sendiri. Kenapa sih bisa jadi lemot begini? Kalau dia berbalik itu kan kembali ke Mall bukan kearah rumahnya berada. Dengan setengah malu Lollypop membalikkan tubuhnya lagi. Ia mendongak songong melewati cepat tubuh tegap Edgar. "Sengaja buat liat di belakang ada orang apa enggak." sahut Lollypop cepat menyembunyikan rasa malunya. Edgar mengedikkan bahu seraya terkekeh. Ia mengikuti jejak Lollypop dari belakang santai sementara gadis itu menggerutu mati-matian karena kelakuan nyebelin Edgar. "Lo ngapain sih ngikutin gue?" ketus Lollypop berhenti. Edgar berhenti tepat di belakang tubuh Lollypop. "Mau nganterin lo pulang." "Gue bisa sendiri!" "Lo gak pernah nonton berita?" alis Edgar terangkat satu, memperhatikan puncak kepala Lollypop dari belakang. "Kejahatan seksual merajalela saat ini. Kalo lo ada apa-apa siapa yang repot?" "Yang pasti bukan lo yang bakalan repot!" judes Lollypop melangkah lagi lebih cepat. Ia bahkan enggan menoleh ke belakang. "Jadi jangan ngikutin gue lagi!" "Terserah. Gimana pun juga lo murid di SMA punya keluarga gue. Kalo lo muncul di koran tinggal nama itu bikin nama sekolah ikut ke bawa. Bikin malu, tau?" Omongan pedas Edgar membuat kepala Lollypop mendidih. Gadis itu berbalik memandang Edgar sinis yang berdiri santai tak jauh dari tempatnya. "Gue baik-baik aja. Gue pastiin gue gak akan bikin nama sekolahan lo malu! Dasar brengsek." Sejurus kemudian Lollypop berlari menerobos gelapnya malam tanpa peduli apapun lagi. Edgar menghela napas berat. Ia merogoh saku jaketnya mengambil kunci motor, ia menaiki motor besarnya cepat menyusul kemana Lollypop pergi. Ternyata gadis itu masih ada di sekitaran taman. Ia berjalan sambil sesekali menggerutu menendang-nendang udara penuh kejengkelan. Dari balik kaca helm Edgar tersenyum tenang memandangi Lollypop dari jauh. Selama perjalanan pulang tanpa Lollypop ketahui Edgar mengawasinya dari jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD