Bab 2

1329 Words
Edgar memutar kunci motornya, perlahan-lahan suara pada mesin motornya pun berhenti. Lelaki itu turun dengan langkahnya yang santai. Membuka pintu berwarna putih megah tersebut, di sambut oleh sesosok wanita berusia tigapuluh sembilanan Edgar memeluknya seraya mencium punggung tangan wanita itu sopan. "Pulang sekolah kok lusuh banget sih, Gar?" wanita itu tersenyum lembut mengacak rambut halus Edgar. Edgar mendengus pelan. "Tante kebiasaan ngacakin rambut aku terus." Rinjani, Tante Edgar pun tertawa pelan sembari menutup pintu rumahnya ia memperhatikan keponakan laki-lakinya itu berjalan ke arah dapur. Ia memutuskan untuk mengikutinya. Sesampainya di dapur Edgar langsung mengambil gelas dan menuangkan air dingin ke dalam gelas kosong tersebut. Kening Rinjani berlipat. Edgar tak terbiasa minum-minuman dingin. Lelaki itu selalu meminum air yang hangat, kalau pun harus minum yang dingin itu artinya ia butuh sesuatu untuk mendinginkan isi kepalanya yang memanas. "Ada masalah?" Edgar melirik Rinjani dari ujung mata. "Sepele." Sepele yang di maksud Edgar adalah; masalah yang tak akan pernah berakhir. Seperti lingkaran yang tak ada ujungnya, terus berputar tanpa pernah berhenti. Karena memang tidak ada jalan lain selain berputar pada tempatnya. Ya, kira-kira begitulah masalah Edgar dari tahun ke tahun. Rinjani duduk di salah satu kursi tinggi di depan bar. Kedua lengannya ia taruh di atas meja kemudian mata hijaunya bergerak seiringan dengan pergerakan Edgar. "Kapan mau selesai kalo kamu aja kabur-kaburan?" Edgar mengangkat bahu acuh. "Gak akan pernah selesai selagi mereka masih hidup." Rinjani menghela napas berat. Tidak ada satupun di dunia ini yang dapat mengubah pandangan hidup seorang Edgar. Kebencian yang sudah hadir semenjak usia belianya, menimbulkan dampak buruk bagi perkembangannya. Kenakalan Edgar memang sewajarnya remaja lelaki tapi untuk urusan balas dendam Edgar takkan pernah diam. Kalau memang lawannya mengancam nyawa Edgar lelaki itu tak perlu takut untuk membunuh lawannya lebih dulu. Rasa sakit yang sudah tertanam sejak kecil mengubahnya menjadi sosok yang berbeda. Memang Edgar tetaplah Edgar. Tetapi siapa yang tau di balik kekuatannya Edgar hanyalah seorang anak lelaki dengan kerapuhan paling sensitif. "Gar, ini udah lebih dari lima tahun loh. Kamu masih belum bisa terima Julian jadi Ayah kamu?" Tangan Edgar terhenti di udara. Ia menatap Adik Ibunya itu dengan sorot mata yang kosong lalu tak berapa lama ia kembali membalikkan tubuhnya seolah tak mendengar apapun. Rinjani lantas saja mendengus tak menyerah untuk mendapatkan jawaban. "Apa sih salahnya Julian? Pria itu udah mempertaruhkan masa depannya bahkan keluarganya sendiri demi kalian. Demi kamu dan Ibu kamu. Kenapa kamu masih belum terima Julian jadi Ayah kamu? Bukannya kamu malah seharusnya bahagia? Kamu sendiri kan yang bilang kalo kamu itu..." "Masalahnya cuma satu, Tan." Masih dalam posisi memunggui Rinjani. Lelaki itu memotong omongannya cepat. Tangan kanan Edgar mencengkram kuat sisi pada tubuh gelas, menyalurkan seluruh rasa sakitnya ketika harus mengingat kejadian paling menyakitkan dalam hidupnya. Hingga bunyi pecahan gelas mengagetkan Rinjani. Ia melihat serpihan keramik pada gelas di pegangan Edgar pecah berkeping-keping. Darah mengalir deras membanjiri telapak tangan lelaki itu tapi Rinjani bahkan tak sanggup untuk sekadar berlari menghampirnya memeriksa kemungkinan telapak tangannya mengalami robekan. "Kenapa dia harus berpura-pura jadi Papah? Orang yang bahkan seumur hidup gak akan pernah aku lupakan apa yang udah dia perbuat ke Mamah dan Adikku," Edgar menundukkan kepala melihat bagaimana aliran darahnya mentes ke lantai. Rasa lega perlahan-lahan muncul di relung hatinya terdalam. "Lagipula aku membenci wajahnya yang sangat sempurna memiliki rupa yang sama dengan b******n itu." Lollypop mengayunkan kedua kakinya yang menggantung di tepi ranjang sambil sibuk membalas pesan dari Eggy. Senyuman lebar tak pernah lepas dari wajahnya yang bersinar cerah. Eggy: Lagi latihan basket. Kamu istirahat aja di rumah, pulang nanti mau nitip dibeliin apa? Lollypop: Hmm Apa aja deh aku lagi period nih. Eggy: Yaudah. Istirahat sayang, aku beliin yang bisa redain sakit perutnya ya. Setelah menutup aplikasi chatting pada ponselnya dia meraih boneka beruang besar pemberian Eggy. Memeluk boneka itu dengan erat. Rasanya bahagia banget dan kayak dimimpi. Lollypop sendiri masih tidak percaya kalau sekarang dia sudah berstatus jadi pacarnya Eggy! Lelaki tampan yang sangat dipujanya itu. apalagi sikap baik Eggy yang membuatnya makin melayang tinggi ke angkasa. Tuk. Lollypop mengangkat wajahnya dari perut boneka. Dia menoleh pada jendela kaca menghadap balkon kamar. Dari balik tirai transparan dia melihat sesosok lelaki memakai pakaian santai di seberang kamarnya tengah melambaikan kedua tangannya ke udara. "LOLLY!" teriak lelaki itu kencang sekali lagi melemparkan kerikil ke jendela kamar gadis yang berada tepat di depan kamarnya. Segera Lollypop menurunkan kakinya, dia menggeser tirai kemudian membuka kusen jendela. Dia mengerutkan kening dalam menatap Keenan dari jauh. "Apaan sih, Kee?" “Temenin gue beli makanan." "Males ah, Bang Davin aja sana." Keenan berdecak. "Davin lagi pergi sama Alsha beli bahan buat kerja kelompok. Udah cepetan gue laper!" Keenan menyambar kunci mobil yang tersangkut di antara celah meja dengan dinding lalu kembali melongokkan kepalanya keluar. "Gue tunggu di bawah. Sekarang!" Lollypop memilih tidak masuk ke dalam rumah makan tempat Keenan membeli makanan, gadis itu berjalan pelan di pelataran rumah makan, sebelahnya ada supermarket dan Lollypop ingin ke sana membeli es krim. Perutnya yang perih karena datang bulan mendadak meminta dimanjakan sesuatu yang dingin, manis dan lembut. Senyuman sudah tersungging dengan manisnya di wajah Lollypop kalau saja tidak adanya seorang lelaki memakai bomber jaket warna army keluar dari pintu seraya mematik rokok. Asap mengepul cepat di sekeliling Lollypop, gadis itu terbatuk beberapa saat kemudian mengibaskan tangannya ke udara menyingkirkan asap itu jauh-jauh darinya. "Kalau mau mati. Sendiri aja gak usah ngajak-ngajak." Suara bernada sinis itu terdengar dari arah sampingnya. Edgar memundurkan langkahnya, melihat gadis manis itu muncul di hadapannya dengan wajah tertekuk bete. "Kalau sendirian, gue gak kuat jomblo dunia akhirat, Neng." balas Edgar menggoda. Lollypop mendengus kesal. Dia menutup hidungnya memakai telapak tangan tidak lagi menghiraukan Edgar tetapi seakan tidak mengizinkannya beranjak Edgar justru menggeser tubuhnya mengikuti kemana Lollypop bergerak. Hal tersebut berhasil bikin Lollypop jengah, dia melepas tangannya dari hidung dan mendorong d**a Edgar ke belakang keki. "Apa-apaan sih? Sana ah, gue lagi PMS nih! Sakit perut tahu gak? Gak usah bikin kesel deh!" sembur Lollypop dongkol. Edgar menghembuskan rokoknya ke atas menghindar dari jangkauan Lollypop. Begitu asapnya keluar Edgar menunduk kembali menatap Lollypop, dia tersenyum simpul menanggapinya. "Emang kalau lagi tamu bulanan selalu sakit?" tanya Edgar pelan. Dengan wajah super asam gadis itu berseru. "Ya iyalah! Keram tahu gak? Perih banget! Makanya lo jauh-jauh deh dari gue. Tiap ketemu lo bawaannya mau marah melulu. Tambah sakit nih perutnya." Edgar tertawa mendengar gerutuan Lollypop. Tangan kirinya yang menenteng kantong belanja berisikan es krim serta cokelat untuk Damara anak Rinjani dia angkat kemudian diberikannya pada Lollypop. "Kali ini ketemu sama gue harus seneng.” ujarnya meletakkan kantong tersebut di tangan Lollypop lalu Edgar pun mematikan rokok yang baru saja dibakarnya dengan cara diinjak. From: Dok. Fernan Kamu gak ke sini? Lelaki itu menghadapkan wajah lusuhnya ke atas langit pada malam hari yang terang ini. Hamparan bintang serta pantulan gemerlap kota Jakarta langsung menerpa wajahnya yang seperti dilapisi awan mendung. Tangannya bergerak memutar-mutar ponsel dalam genggamannya. Sudah sejam dari pesan itu dikirimkan tetapi Edgar sama sekali tidak punya niatan untuk membalasnya. Jangankan membalas sekadar membaca nama pengirimnya pun Edgar rasanya seperti dihunuskan belati tajam yang baru saja dipanaskan di atas bara api. Tok. Tok. Suara keibuan muncul dari balik daun pintu menyuruh Edgar segera keluar dari kamar untuk makan malam. Edgar memutar tubuh tegapnya ke belakang, dia menarik kedua pintu geser pada balkon kamarnya dari arah belakang tubuh lalu berjalan santai membuka pintu kamar. Dia tersenyum menyambut Rinjani. "Ah, Tante... Apa kabar?" Rinjani berdecak menjewer telinga Edgar. Gemas melihat tingkah keponakannya yang memiliki seribu satu alasan jika disuruh makan malam. Dia menarik paksa Edgar keluar dari kamarnya tidak peduli meski lelaki itu mengaduh kesakitan karena ditarik telinganya ke atas. Selang beberapa detik, Rinjani pun melepas jewerannya sewaktu mendengar Edgar bersedia makan malam bersama. Edgar menghembuskan napas pelan. Tangannya langsung menyambar telinga kanannya yang baru saja jadi korban jeweran pedas Rinjani. Wanita itu kalau susah menjewer bukan main-main lagi. Benaran perih banget. "Tan, aku tutup pintu dulu sebentar." "Ya udah, Tante ke bawah duluan. Inget ya jangan sampai kamu malah balik ngunci diri lagi di kamar!" Edgar mengangkat sebelah tangannya tanda hormat. "Siap, Boss!" Rinjani terkekeh mengacak rambut Edgar yang panjang. Sepeninggalnya Rinjani, Edgar kembali berbalik untuk menutup pintu kamarnya yang masih terbuka. Namun pergerakan tangannya terhenti sesaat sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. From: Dok. Fernan Kamu gak mau tahu perkembangan apa aja yang terjadi sama Adikmu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD