Siang hari yang sangat terik Andin dan teman sekelasnya tengah melakukan mata pelajaran olahraga. Jam pelajaran yang selalu dihindari jika mendapat giliran di jam seperti ini, tapi apa boleh buat.
Dari lantai atas ada Doni yang tengah melihatnya, dia sendiri sendiri tengah menunggu guru yang mengajar mata pelajaran Kimia untuk membuka kunci laboratorium. Dikarenakan ada tersimpan banyak cairan yang tidak bisa disentuh sembarangan, maka laboratorium ini lebih sering terkunci, dan hanya bisa dibuka kecuali diawasi oleh guru dan sudah mendapatkan izin. Biasanya untuk klub pecinta Kimia yang sering menggunakannya.
Doni sih tidak terlalu tertarik pada mata pelajaran ini, sebab dia sering tidak fokus melakukan sesuatu yang sangat beresiko seperti ini. Jadi sedari tadi dia tengah menjahili Anjar yang fokus mempelajari pelajaran ini di buku tebal miliknya karena termasuk favotirnya.
Tapi apa yang tengah dia lakukan terditraksi oleh keberadaan Andin yang ada dalam jarak pandangannya. Dia bersandar di batas pagar sambil menyangga dagunya dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memegangi buku tulis, buku paket dan pulpen miliknya.
Doni sempat menyunggingkan senyum kecil saat melihat Andin yang hampir saja terjatuh ketika melakukan pemanasan dengan berdiri di satu kaki. Karena tinggi Andin yang memang dalam pantaran mungil, dari arah Doni saat ini, guru les adik tirinya itu makin terlihat kecil. Entah ini termasuk body shaming atau bukan, hanya mengutarakan dalam Batasan memuji karena Doni baru saja mencetuskan dalam pikirannya kalau Andin imut.
Tapi dia berusaha menyangkalnya dengan menyebutnya kecil, demi kenyamanan.
Bagus menendang pelan kaki Anjar yang duduk di hadapannya lalu menunjuk Doni dengan telunjuknya. Dia ingin memberitahu soal Doni yang lagi-lagi tertangkap basah tengah memandangi cewek yang cukup popular di sekolah mereka ini karena cerewetnya soal kebersihan.
Anjar dan Bagus pun dalam waktu singkat mampu menyamakan pikiran mereka untuk menjahili Doni yang masih saja belum menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Dua cowok remaja ini menghitung dengan isyarat tangan lalu.
“DORR!!” pekik Anjar dan Bagus yang langsung memberikan efek kejut maksimal pada Doni.
Doni yang sedari tadi terlalu fokus pada Andin pun mengalami keterkejutan level maksimal sampai-sampai tangan kanannya melepaskan benda-benda yang tengah dia pegangi. Buku tulis, buku paket dan pulpennya jatuh ke atas genteng lantai 1 dan sama sekali tidak ada niatan untuk sekalian turun menuju tanah.
“Eh ANJIR!!” damprat Doni begitu menyadari apa yang baru saja terjadi. Dia segera mengayunkan kakinya untuk menendang dua teman yang menjahilinya ini, tapi Anjar dan Bagus sudah kabur duluan.
Doni mengejar dua temannya ini tapi mereka bersembunyi di kamar mandi dan menutup pintunya. Ingin sekali dia mendobrak pintunya, tapi kalau rusak maka siap-siap dipanggil oleh ibu guru Yuni yang cantik tapi sangat sadis, ibu guru bimbingan konseling. Dia berjanji untuk tidak sama sekali dipanggil ke ruangan itu sampai dia lulus sekolah karena pasti dia harus membuat ayah atau ibu tirinya ke sekolah ini.
BIG NO!
“Asem, woy! Buku gue jatuh di genteng!” pekik Doni dari luar kamar mandi.
Terdengar tawa dari arah dalam kamar mandi, jelas suara tawa Bagus dan Anjar
“Lah itu salah lo sendiri!” balas Anjar yang akhirnya membuat Doni memukul pintu karena kesal.
“Awas lu ya kalau keluar nanti!” ancam Doni. Kini dia memilih untuk segera mengambil bukunya dari atas genteng sebelum guru Kimianya datang.
Dengan Langkah cepat dia menuruni anak tangga dan begitu dia sampai di anak tangga terakhir, matanya bertemu pandang dengan Andin yang baru saja selesai melakukan pemanasan. Doni segera memutuskan pandangan mereka dan segera menuju gudang untuk mengambil sapu panjang.
Sapu panjang segera dia dapatkan setelah meminta ijin padan petugas kebersihan supaya tidak merasa kehilangan peralatannya.
“Pinjem ya, Pak,” kata Doni sambil cengengesan.
“Buat apa memangnya, Nak?” tanya petugas kebersihan bernama Seto yang tertera di name tag miliknya.
Doni menggaruk kepalanya lalu menjawab, “buku saya jatuh di atas genteng, Pak... hehe.”
Kepala pak Seto manggut-manggut. “Owalah, ya udah sanah ambil. Nanti kembaliin lagi ke sini ya?” pesannya.
“Siap, Pak. Pasti saya kembalikan dalam keadaan tidak kurang sedikit pun,” kata Doni sembari menunjukkan hormat. Hal itu membuat Pak Seto tertawa lalu keluar dari gudang lebih dulu.
Doni juga keluar kemudian, tapi dia langsung menghentikan langkahnya yang hampir saja menabrak seseorang yang berada di arah yang sama dengannya. Karena seorang itu hampir jatuh, Doni segera menangkap tubuh orang itu sembari mengatur napasnya yang memburu karena terkejut. Matanya sempat bertemu pandang dengan orang ini sampai beberapa saat karena jarak mereka yang dekat, tapi kemudian dia segera tersadar.
“Doni,” cicit orang itu memanggil namanya.
“Oh, hi, Ndin.” Doni langsung melepaskan pegangan tangannya dari pinggang seorang yang hampir saja bertabrakan dengannya ini.
Dia Andin yang masih memakai seragam olahraganya dan dengan rambutnya yang dikuncir satu.
“Sorry, gue hampir nabrak lo tadi,” kata Doni.
“Oh enggak, aku juga salah kok karena jalan nggak liat dengan betul,” ujar Andin yang ikut merasa bersalah.
“Lo mau ke gudang alat olahraga?” tanya Doni yang menebak arah tujuan kemana Andin saat ini.
Andin menganggukkan kepalanya mengiyakan. “Hm, mau ambil bola voli.”
“Oh gitu, ya udah... mmm gue duluan,” kata Doni.
Lalu dengan canggung, lagi-lagi mereka mengakhiri percakapan tiap berpapasan. Sungguh sangat tidak elis sekali bagi Doni yang memiliki lingkup pertemanan yang luas dan kepribadiannya yang supel. Namun dia selalu kewalahan tiap bertemu dengan Andin dan berbicara dengan cewek ini.
Doni melangkah bersama sapu panjang yang tak lupa dia bawa. Namun baru beberapa langkah dia meninggalkan gudang alat kebersihan, dia menyadari sesuatu. Kalau Andin tidak ditemani oleh siswa lain mengambil bola voli. Dan dia yakin, bola voli yang diambil tidaklah sedikit jumlahnya karena untuk praktek olahraga seperti yang dia lakukan hari Selasa pagi.
“Anjir banget lah temannya, masa dia suruh ngambil bola sendirian,” batin Doni ketika melihat Andin yang muncul di hadapannya dengan membawa dua jaring besar yang digunakan untuk menyimpan bola voli.
Mata mereka kembali bertemu saat itu dan segera saja Doni kembali memutusnya. Kini dia meletakkan sapu yang tadi dia pegang kemudian menghampiri Andin. Dia mengambil satu jaring yang ada di tangan kiri Andin tanpa persetujuan lebih dulu dari Andin.
“Eh, biar aku aja, Don,” kata Andin yang merasa tidak enak.
Tapi Doni hanya berjalan saja meninggalkannya lebih dulu menuju lapangan. Alhasil Andin pun segera mengjar Doni yang berada jauh di depannya karena langkah lebar dari kaki panjangnya. Lalu begitu dia dan Doni muncul di lapangan, pandangan semua orang terarah padanya. Mereka mejadi pusat perhatian, termasuk oleh cewek-cewek yang menyadari siapa yang baru saja membantu Andin untuk mengambil bola Voli.
Padahal harusnya salah satu di antara mereka yang membantu, tapi seperti biasa mereka memilih diam dan menghindar jika berkaitan dengan kegiatan berkeringat dan malah beralasan ke kamar mandi. Padahal Andin jika tidak dibantu oleh Doni pasti akan kesusahan membawa dua jaring berisi masing-masing 6 bola voli.
“Makasih, Don,” ucap Andin saat Doni sudah meletakkan jaring besar itu ke atas tanah lapangan yang diplester.
“Oke. Tapi lain kali lo minta bantuan ke orang lain karena ini kerja bersama bukan lo lagi diperbudak,” kata Doni yang ingin menyindir teman kelas Andin tapi ternyata karena pemilihan katanya agak kurang tepat, itu juga sedikit membuat hati Andin tersentil.
Soal kata ‘diperbudak’.
“I-iya, makasih sekali lagi.” Namun Andin memilih untuk mengiyakan saja, karena dia memang sering mengalami hal seperti ini.