Merah

1500 Words
Sampai disebuah rumah yang sangat besar. Ia memarkirkan motornya sembarangan. Setelah turun tangannya kembali menarikku ke dalam. Aku berusaha menahan tapi, tangan kuatnya semakin mencengkramku. Na mendorong pintu besar itu berwana coklat tua dengan gagang pintu dari kristal dengan sangat mudahnya. Rumah minimalis tapi, ukuran fantastis ini membuat aku merasa tercengang. Namun, tidak mengurangi perasaanku untuk meninggalkan tempat ini. “Na” bibirku terus memanggilnya berkali kali. Telinganya seperti tertutup oleh kedebogan pisang. Lenganku ku putar, tarik, dorong agar bisa terlepas dari genggamannya dan semua sia-sia. Seorang wanita paruh baya berlari keluar tiba-tiba mendengar teriakanku yang tidak ada henti-hentinya. Ia terlihat sangat kebingungan melihatku yang ditarik paksa oleh Na. “Udah pulang Non? Ada apa ini?” “Iya bi. Hari ini bibi boleh libur tenang aja gajinya gak akan di potong kok!” “Ah, baiklah” ia terdiam melihat kami. Tangga dari kayu ini membuat aku semakin sulit untuk menolaknya. Aku takut salah satu dari kita akan terjatuh jika terlalu banyak saling menarik. Kami memasuki sebuah kamar yang penuh dengan warna putih, besar, rapi. Tangannya melemparkan tubuhku keatas tempat tidur yang sangat lembut. Besarnya tempat tidurnya bahkan seluas kamarku. Belum sempat aku bangun dia sudah menaiki tubuhku. Mengunciku dengan tatapannya. Mencoba kabur darinya, dia menahanku dengan tubuhnya. Dengan sangat ganas ia menciumku habisa-habisan hingga aku tidak bisa bernafas. “Berhentiiiiiii” aku berusaha mendorongnya. Aku hanya diberi kesempatan mengambil nafas sedetik dan kembali menghujaniku dengan ciuman. Merasa sia-sia. Aku menyerah, membiarkan dia menciumku hingga nafasku tak beraturan. Ia memasukan lidahnya, menghilangkan kendali akan diriku. Aku membalasnya diakhir ciuman sebelum ia mengangkat kepalanya. Masih menginginkan ciuman itu lagi. Rasanya aku ingin menariknya. Senyuman jahatnya, nakal menggodaku membuat aku yang ada dibawahnya terengah-engah dengan ketidak pastian ini. Tanganku mengelap air mata yang keluar sambil mengatur nafasku yang tidak beraturan. Matanya menatapku seakan-akan menanyakan banyak hal “apa kamu merasa jijik kalo kamu bales ciumanku?” sayup-sayup mataku terus memandang bibir manisnya yg membuat aku ingin sekali menciumnya lagi. Air liur yang menempel pada bibirnya membuat dia semakin terlihat sexy. Pancaran cahaya yang mengenai bibirnya semakin terlihat indah “Aku ti…” Belum selesai aku berbicara ia menciumku lagi. “Don’t say no!” ucapnya sebelum lidahnya menjelajahi mulutku. Tanganku mendorongnya, mengelap bibirku dengan lenganku “Biarkan aku bernafas sedikit” ucapku ngos-ngosan. Aku bangun, duduk diatas kasur yang sangat besar ini. Ia menatapku tanpa henti. Walau kami sedang duduk berhadapan tapi, rasanya aku ketakutan. Ini terlihat lebih seperti di introgasi. Kedua tanganku memegang bahunya berjaga-jaga kalau dia melakukan serangan saat aku berbicara dengannya “Kenapa kamu menyukai perempuan?” tanyaku sambil menatapnya. “Aku menyukai kamu bukan perempuan. Aku tau kalau aku bukan yang pertama untukmu kan?” tanganya bermain dengan wajahku. Mengangguk berlahan, kepalaku memberikan jawaban yang diinginkannya. Wajahku tertunduk, menurunkan tanganku. Hatiku mulai terasa sakit mengingat kenangan yang pernah terjadi antara aku dan Tania. “Semua orang bilang disakiti oleh sesama lebih menyakitkan. Ya, itu yang aku alami dengannya. Jadi, biarkan aku pergi” aku menggenggam bedcover dengan sangat erat. Tiba-tiba air mataku jatuh sangat menginggat semua kenangan itu. Ia memelukku “aku gak peduli, aku gak peduli, aku gak akan ninggalin kamu, Vi” Aku berusaha mendorongnya “aku gak bisa menjalani hubungan seperti ini lagi Na~, aku gak mau menyakiti siapa pun!” “Aku gak akan menyakitimu” hanya itu yang ia ucapkan berkali-kali. Ia benar-benar tidak mendengar apa yang aku katakan, terus saja berfikir dengan caranya sendiri. Keinginanku untuk menjelaskan padanya terus saja berkurang mendengar suaranya yang penuh dengan harapan itu. Aku gak tau kamu kenapa dia bisa menyukaiaku sebegitunya padahal gak ada sesuatu dariku yang menarik. Tidak bisa menolaknya, juga menerimanya. Tidak tau apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar terpojok kali ini. Tangannya yang kecil meraih leherku, pinggangku; memelukku erat, mendekapku lebih dalam mencoba meyakinkan aku kalau dia adalah pilihan terbaik yang aku punya. Jika saja itu benar, pasti ini akan lebih mudah untukku, bukan? -o0o- Keesokan harinya, aku terbangun; melihat kaos putih tipis menempel di tubuh putih bersihnya. Tanganku semakin kuat memeluk si pemilik kaos tipis itu dengan erat. Ngusel seperti bayi. Ia memelukku lebih erat lagi bahkan kakinya mengunciku. Aku berusaha untuk mendorongnya tapi, dia malah mengendusku leherku. “Na~” ia tetap tidak melepaskanku malah mencium leherku “Jangan tandain aku, bodoh!” dia semakin menggulungku. Sekarang dia diatasku. Menahan tubuhku agar tidak bergerak. “Aaaaah, kamu enak sekali” suaranya mencium tubuhku terdengar sangat jelas. “Mmmmpft” aku terus melenguh karena dia terlalu berat “aku mau kerja Naaaa” aku terus mendorongnya. “Vi…” ia berhenti menciumku, menatapku “be nice with me ok!” wajahku pun berpaling darinya. Dengan kuat dia menarik wajahku hingga kami saling menatap wajahnya berubah jahat, serius “apa kamu sangat tidak menyukaiku?” “Na, bukannya seperti itu~” rengekku. “Vi, apa kamu gak suka sama aku?” tanyanya serius lagi. Aku menggigit bibir bawahku melihatnya sangat sexy seperti ini “jangan lakukan itu atau aku gak tahan dan menciummu lagi” “Na, aku udah mengatakan kamu berkali-kali sama_ mmmphf” dia menciumku lagi lebih dalam lagi  “Hah. Hah. Hah” “Kalau kamu gak suka aku kenapa tatapanmu benar-benar menginginkan aku?” aku syok “jangan pikir aku tidak tau” dia tersenyum mengoda. Tangannya mencubit dahuku menariknya mendekati bibirnya. Menyentuh bibirku lembut, memainkannya kekanan, kekiri dengan jempol kecilnya “aku sangat suka bibir kamu, kamu selalu menggodaku bahkan saat kamu tidak melakukan apa-apa” Aku tersenyum malu, menutup wajahnya dengan telapak tanganku namun saat aku melihat jam melingkar di pergelangan tanganku aku langsung terkejut karena sudah jam 6 pagi. “Narita! Aku harus kerja” terperanjatku, berlari menuju kamar mandi. Ia tersenyum dengan bahagia saat aku meninggalkan dia. - Setelah mandi tubuhku rasanya sangat nyaman sekali. Melihat bajunya yang terangkat menunjukan perutnya yang datar, juga sangat putih membuat aku ingin mendekatinya. Sebelum aku membangunkan Narita yang masih bermalas-malasan diatas tempat tidur. Aku mencium bajuku memastikan bajuku tidak bau yg menempel. “Narita ayo bangun!” aku menariknya keluar tempat tidur. “Kemari!” ia menarikku hingga aku jatuh ke pelukannya. Ia mengunciku dengan sangat erat. “Narita” “Pangggil aku Na aku menyukainya” ia menatapku. “Na jangan” aku terus mendorongnya berbanding terbalik dengannya yang menarikku, berusaha menciumku. Akhirnya dia mengigit leherku “aaaah, sakit” aku mengerang kesakitan. “Hi, kalian berisik sekali” ucap Kha yang tiba-tiba muncul. “Na, apa kamu bisa sedikit saja gak ganggu dia!” Aku sangat malu karena jelas sekali aku habis mengerang kesakitan, mungkin orang bisa memikirkan hal yang lain “lepaskan aku Na!” teriakku. “Baiklah baik. Kha kamu ganggu aja!” Na terlihat kesal. Aku langsung mengambil tasku “Kha boleh aku bareng sama kamu?” “Kenapa gak sama aku?” teriak Narita. “Ini udah jam 7 Na” ucapku kesal. Kha hanya tertawa ngakak kami pun pergi meninggalkannya. Sepanjang jalan ia hanya senyam-senyum sendiri seperti orang gila. Membuat aku kesal dan malu tapi, aku gak mau membuat alasan karena aku tau dia gak akan percaya. Hari ini supirnya yang mengantar kami bukan Nai. Khana bilang Nai sedang sibuk dengan perkerjaannya hari ini jadi dia tidak bisa mengantarnya. Sdah lama mengenal mereka tapi, aku sendiri tidak tau banyak tentang mereka terutama Nai. Aku bahkan tidak tau perkerjaannya. Bukannya aku mau kepo hanya saja apa jarak antara kita sangat jauh? -o0o- Kami sampai di kantor, berjalan bersama menuju tempat kerja sambil mengobrol. Sebenarnya bagiku ini tidak terdengar seperti obrolan karena aku hanya menimpali kata-katanya dengan kata-k********r. Ia tidak marah bahkan dia tertawa lepas padaku tidak seperti dulu. Aku beruntung bajuku tidak bau jadi aku masih bisa menggunakannya. Hanya dengan parfum semuanya bisa tertutupi. “Aw, kamu semakin hari semakin mirip dengan Nai!” “Hmmm,,, yea tapi, dia gak suka pedas” “Sama-sama kasar!” “Aw,,, kasar apanya yang jadiin dia pacarnya” “Ah, my falut” “Always your falut” “Savi!” “Baby Khaaaa…” aku meledeknya. “Oit, ini kator!” tegasnya. “Tunggu-tunggu” tanganku meraih pegangan pintu dan membukanya layaknya seorang penjaga pintu disebuah hotel “good morning Mr. Khana. Please enjoy your day” “Ah” ia mengusap kepalaku “That’s my secretary” ucapnya bangga. Ia berjalan melewatiku bener-bener seperti seorang Bos. Aku mengikuti dia dari belakang dengan wajah meledeknya terus menerus. Segera menyiapkan semua keperluannya lalu mengerjakan perkerjaanku. Na tidak terlihat dari tadi pagi membuat aku sedikit khawatir, entah dia datang apa tidak. Jam makan siang aku masih tidak melihat Na. Aku juga makan sendirian. Mungkin aku sudah terbiasa makan bersama orang lain sekarang aku merasa sedikit kesepian. Aku ingin menghubungi mereka tapi… kami punya perkerjaan masing-masing. -o0o- Kembali dari makan siang. Terlihat 3 orang ganteng beda generasi sedang ngobrol, mereka terlihat sangat bersinar. 3 orang cowok itu adalah entah siapa, Na dan juga Kha. Senyumku menyapa mereka. Na langsung memeluk bahuku dengan sangat bersemangat. Aku pun hanya bisa terdiam, senyum kecutku pun terpasang rapi di bibirku. “Siapa dia?” Ucap pria paruh baya tersebut. Aku hanya terdiam dan salaman dengannya “dia menggunakan gaya lama?” “Ah, dia sekretarisku namanya Savi” “Dia juga temanku Paman” ucap Na. “Salam kenal” “Dan dia Ayahku don’t be rude!” “Aw, kapan aku tidak sopan?” ucapku tiba-tiba emosi dengannya. “Hahaha” mereka semua tertawa tanpa sebab. Keluarga pecinta pembulian. “Aku senang kamu sudah mendapatkan sekretaris baru. Padahal aku suka sekertarismu dulu gak nyangka dia bisa melakukan hal itui. Ca, aku pergi dulu. Aku masih ada perkerjaan lainnya. Sampai jumpa” “Bye” ucap kami bertiga. “Aih, kenapa kalian gak ngasih tau?” “Kenapa malu ketemu camer?” Na meledekku. Mataku meliriknya tajam “Camer, kepala kamu!” aku memukul kepalanya. Kembali berkerja lebih baik daripada harus mengurusi 2 bayi besar yang sedang bahagia. Kha mengikutiku kembali ke tempat kerjaku, Na kembali ke mejanya. Ah, aku baru ingat setelah semua orang tau Na adalah keponakan dari perusahaan ini mereka jadi menghormatinya. Na juga menjadi pengawas bukan hanya bagian pemasaran namun, bagian lainnya. Bisa dibilang dia seperti kaki tangan Kha. Ayah Kha memindahkan Na karena kasus pencurian itu dan Kha sering keluar kantor. Aku mendapatkan gosip ini dari orang-orang disektar yang mulai bermuka dua dengan Na namun Na tidak perduli. Na, always awesome.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD